Search
Close this search box.

Menemukan Suara untuk Perubahan Bersama

Cerita

Perempuan pekerja kini mampu menyuarakan desakan untuk mendorong beragam perubahan. Mulai dari kebijakan perusahaan soal pencegahan kekerasan seksual, hingga perilaku yang lebih baik untuk kesehatan

Dicolek mekanik mesin jahit pernah jadi hal lumrah bagi Indriyani, 25 tahun, perempuan pekerja di sebuah pabrik garmen.

“Mereka bilang itu cuma bercanda. Saya dan para penjahit yang juga sering dicolek sebenarnya merasa tidak nyaman, tapi belum tahu itu pelecehan seksual,” ujar pengontrol kualitas di manufaktur garmen tersebut.

Perempuan yang tinggal di Pondokkaso Tonggoh, Kabupaten Sukabumi, itu mengaku dulu tergolong pemalu dan tak percaya diri untuk berbicara di depan publik. Maka, saat itu ia hanya diam saat mengalami pelecehan seksual.

Indriyani berubah selepas ikut berkegiatan dalam kelompok EKATA (Empowerment, Knowledge and Transformative Action/Pemberdayaan, Pengetahuan, dan Aksi Perubahan) bentukan CARE. EKATA adalah kelompok swadaya dan solidaritas perempuan pekerja garmen di komunitas tempat mereka tinggal. Anggota EKATA menjalin hubungan dengan rekan-rekan mereka, berbagi pengalaman, mengevaluasi dan memahami masalah yang dihadapi, serta bekerja sama menyelesaikan masalah. 47 EKATA telah terbentuk di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Purwakarta.

Materi bahasan EKATA cukup komprehensif. Anggotanya belajar tentang kepemimpinan, komunikasi, pemecahan masalah, dan negosiasi. Mereka diajak juga untuk paham soal air bersih, sanitasi, kesehatan, dan gizi. Kesehatan mental, pencegahan kekerasan berbasis gender, dan literasi keuangan pun didiskusikan. Ada pula materi tentang cara fasilitasi dan berbagi informasi, yang dipraktikkan Indriyani dengan menceritakan soal EKATA kepada keluarga, teman, serta atasan dan rekan penjahit di pabrik.

“Setelah ikut EKATA, saya berani bilang ke mekanik, jangan pegang-pegang lagi,” ucap Indriyani. Kalau tidak, ia akan melaporkannya ke Bagian Sumber Daya Manusia (SDM) di pabrik.

Tak cuma itu, dia bersama kelompoknya, EKATA Apel, menuliskan keluhan tentang pelecehan seksual dan memasukkannya ke  kotak saran pabrik. Kotak tersebut dibuka tiap bulan oleh SDM. Indriyani pun menyampaikan keluhan serupa kepada atasannya, yang kemudian menindaklanjutinya ke serikat pekerja dan manajemen pabrik.

Manajemen pabrik merespon baik masukan itu. Serangkaian sosialisasi kebijakan pabrik soal Pencegahan Pelecehan Seksual diadakan. Video tentang pelecehan seksual di pabrik garmen juga ditayangkan di televisi kantin, agar semua pekerja bisa menontonnya serta memahami cara melaporkan insiden serupa kepada manajemen.

Seperti Indriyani, Onih Kurniasih, 31 tahun, awalnya tak nyaman berbicara di hadapan orang banyak. Gugup, malu, dan takut bercampur jadi satu. Ketika mengikuti pelatihan untuk pelatih (Training of Trainers, ToT) EKATA, penjahit di pabrik garmen di Kabupaten Purwakarta, itu bahkan selalu merasa gemetar dan ingin menangis saat harus mengungkapkan pendapatnya.

“Tapi semua pelatih dan peserta sangat baik. Mereka bilang tidak ada jawaban yang salah, dan di sini kita semua sama-sama belajar. Saya jadi berani bersuara,” tutur perempuan yang telah bekerja sebagai buruh jahit sejak berusia 15 tahun itu.

Onih tak hanya berubah jadi bisa berpendapat, tapi juga lebih peduli pada kesehatan diri. Saat bekerja, dulu ia tak suka memakai masker, tidak pernah sarapan, dan jarang sekali minum karena mengejar target jahitan. EKATA menyadarkannya pada bahaya kebiasaan tak sehat itu, serta potensi dampak buruknya di masa depan.

“Saya tidak pernah berpikir soal efek buruk kebiasaan itu untuk kesehatan nanti. Setelah tahu, saya langsung mengubah kebiasaan sehari-hari,” paparnya.

Demi kesehatannya, Onih kini memastikan dirinya sarapan sebelum berangkat kerja. Ia berusaha makan lebih banyak sayur. Botol minum selalu menemaninya di pabrik, dan masker tak lupa dipakainya sepanjang waktu.

Selepas mengubah gaya hidupnya, Onih sekarang merasa benak dan badannya lebih segar. Ia malah jadi lebih produktif dan selalu mencapai target hariannya.

Dari EKATA, dia pun sadar soal pentingnya menabung, terutama untuk pendidikan anak perempuannya.

“Saya dulu tidak bisa masuk SMA (Sekolah Menengah Atas) karena keluarga berantakan dan tidak punya uang. Tapi saya sekarang menabung supaya anak bisa sekolah sampai universitas. Semua ini supaya hidupnya jadi lebih baik daripada saya,” ujarnya dengan bersemangat.

Baik Indriyani maupun Onih mengetahui EKATA dari kader desanya, yang efektif menjadi perekrut peserta. Para kader itu menjelaskan peserta pelatihan bisa belajar banyak hal, berkenalan dengan teman baru, serta bersama-sama memecahkan masalah di pabrik, rumah, dan lingkungan masyarakat.

Onih mengaku sempat tak yakin dan curiga bahwa program ini hanya tipuan. “Saya menanyakan banyak hal, apa manfaat bergabung? Apakah ini legal?” katanya bercerita.

Ia lantas mengikuti sosialisasi EKATA di tempat tinggalnya, Desa Cisaat, Kabupaten Sukabumi. Teryakinkan dengan penjelasan tim CARE Indonesia, Onih memutuskan ikut ToT. Sisanya adalah sejarah.

“Bergabung dengan kelompok EKATA membuat saya sangat senang. Saya bisa belajar macam-macam, juga punya teman baru untuk berbagi masalah dan mencari solusi. Saya juga tahu pentingnya mencintai diri sendiri,” ucap Onih.

Kini, EKATA di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Purwakarta telah mengambil langkah untuk memastikan keberlanjutan dan meningkatkan pengaruhnya bagi penetapan prioritas pembangunan desa. 13 kelompok EKATA di Sukabumi sedang bekerja sama dengan Dewan Koperasi Pimpinan Daerah (Dekopinda) untuk mendirikan koperasi simpan-pinjam dan dalam proses pendaftaran legal. 10 EKATA di Purwakarta telah terdaftar di desanya, sehingga mereka dapat ikut serta dalam musyawarah pembangunan desa dan menerima pendanaan kegiatan dari desa. Sementara itu, tiga kelompok EKATA di Sukabumi sedang dalam proses legalisasi pembuatan Surat Keputusan (SK) dari Kepala Desa. Proses ini akan meningkatkan pengaruh kelompok EKATA secara signifikan terhadap masyarakat, sekaligus mendukung program pemerintah daerah yang memenuhi kebutuhan perempuan pekerja garmen.

Di Sukabumi, kelompok EKATA telah merampungkan rencana kegiatan dan mulai beraksi mempromosikan hak-hak dan kesejahteraannya di rumah, masyarakat, dan tempat kerja. Aksi mereka ini sudah menimbulkan dampak, antara lain menyadarkan lingkungannya tentang pelecehan seksual di pabrik, serta mendorong aparat desa mengatasi masalah sampah dan memperbaiki penerangan jalan. Mereka pun bekerja sama dengan penyedia layanan lainnya, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), Dinas Tenaga Kerja, dan sebagainya. Bermitra dengan program CARE Indonesia lainnya, Bersama untuk Keadilan (BUKA), mereka juga bersiap membentuk Jejaring Belajar Perempuan Pekerja (JBPP). Adapun 23 EKATA di Purwakarta telah merampungkan ToT, dan akan membuat rencana kegiatannya pada 2020.

Peningkatan Kesejahteraan, Martabat, Kesehatan dan Kepemimpinan Pekerja Perempuan (Worker Dignity, Health and Leadership/WDHL)

Tujuan: meningkatkan martabat, kesejahteraan, kesehatan, kepemimpinan, serta kualitas hidup dan produktivitas pekerja garmen perempuan di Indonesia

Waktu: 2018-2020

Lokasi: Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat

Jumlah penerima manfaat per Desember 2019: 1.092 orang

Mitra pelaksana: Yayasan PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) dan Yayasan Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Pasoendan

Pendukung dana: TARGET Inc

Saat Para Ibu Jadi Pelopor Rekonstruksi

Cerita

Perempuan penyintas bencana di Sulawesi Tengah kini jadi makin tangguh dan mumpuni dalam mengawal rekonstruksi rumahnya.

Hidup Marlina, 42 tahun, berubah drastis saat gempa bumi menghantam rumahnya di Desa Soulowe, Kabupaten Sigi. Kediaman guru honorer Taman Kanak-kanak (TK) itu jadi satu di antara lebih dari 60 ribu rumah yang hancur akibat gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah pada 2018.

“Tanah terbelah dari belakang sampai ke badan rumah. Bagian tengah rumah amblas tanahnya. Rumah kami tidak layak dan aman untuk ditinggali lagi,” ujarnya lirih saat mengingat tragedi itu.

Hingga kini, ia dan keluarga besarnya masih tinggal di tenda pengungsian. Tak kurang dari 11 orang dari keluarga Marlina, adiknya, dan orang tuanya berkumpul di sana. Mereka bagian dari 170.000 orang yang kehilangan rumah akibat bencana tersebut.

Namun, titik terang hadir dalam situasi yang menantang Marlina. Pemerintah telah mendata keluarganya sebagai penerima dana stimulan untuk membangun rumah. Selain itu, bersama mitra-mitranya, CARE Indonesia memberikan pelatihan Ibu Pelopor Rekonstruksi.

Dalam pelatihan itu, para perempuan penyintas bencana belajar tentang konstruksi bangunan yang baik dan tahan gempa. Mereka jadi tahu kriteria material bangunan yang berkualitas, ukuran besi yang memenuh standar, juga komposisi campuran beton yang tepat.

Marlina mengatakan para lelaki di desanya sering heran mengapa perempuan yang mendapat pelatihan tentang rekonstruksi. “Kami cuma berikan pemahaman, kalau perempuan diberikan kesempatan sama dengan laki-laki untuk paham cara membangun rumah aman gempa, kami bisa membagikannya ke tukang bangunan. Akhirnya mereka bisa menerima bahwa perempuan juga bisa,” paparnya dengan bersemangat.

Ibu tiga anak itu melanjutkan kisahnya, “Dulu kalau membangun rumah, kami ini cuek dan serahkan sepenuhnya kepada tukang. Padahal rumah itu di dalamnya tinggal orang-orang yag kita sayangi. Setelah dilatih, kami bisa memantau tukang yang kerja agar rumah kami aman, kuat, dan bagus. Bahkan saya pernah berbagi ilmu dari pelatihan tentang komposisi campuran beton kepada tukang, dan dia puas mendapatkan penjelasan saya.”

Singkatnya, menurut Fatni, 44 tahun, yang juga warga Soulowe, “Kami sudah tidak bisa dibodoh-bodohi lagi sama tukang.”

Bersama Marlina, ia telah mengikuti pelatihan Ibu Pelopor Rekonstruksi. Dulu saat rumahnya dibangun, Fatni lazimnya hanya menyediakan makanan untuk tukang.

Jika nanti rumah barunya dibangun, ia bisa mengambil peran lebih aktif untuk memastikan huniannya lebih berkualitas dan tahan saat harus menghadapi gempa.

Lebih lanjut, ia berkomitmen menyebarkan pengetahuannya kepada para perempuan lain di sekitarnya. Antara lain, ibu-ibu di desa sebelah, yakni Desa Karawana, yang telah mengungkapkan keinginannya untuk ikut belajar jadi pelopor rekonstruksi.

Selain mengikuti pelatihan tersebut, Fatni pun telah menerima dua intervensi lain dari CARE Indonesia dan mitranya. Yakni, tenda darurat dan fasilitas kamar mandi komunal. Keduanya diakui sangat bermanfaat karena rumahnya, termasuk kamar mandi, rubuh diterjang gempa.

Selepas bencana, ia dan dua anak perempuannya terpaksa mandi di sungai. Mandi di ruang terbuka dan kurang higienis membuat Fatni dan pengungsi lainnya sangat tidak nyaman.

“Beberapa bulan setelahnya, CARE membangun kamar mandi sebanyak empat pintu. Akhirnya kami bisa mandi di ruang tertutup,” tutur guru honorer Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Karya Pertiwi itu.

Kamar mandi yang dipakai Fatni tersebut adalah bagian dari 494 unit fasilitas sanitasi sensitif gender yang dibangun CARE Indonesia untuk dapat melayani 6.459 orang penyintas bencana di Sulawesi Tengah. CARE Indonesia juga memberikan akses air minum bersih kepada 17.833 orang, mendistribusikan 2.040 filter air dan 5.550 perangkat higiene. Tak kurang dari 43.263 orang juga mendapatkan pengetahuan tentang kebersihan dan kesehatan.

Bantuan lain yang difasilitasi CARE Indonesia adalah distribusi perangkat kebersihan (hygiene kit) dan barang nonpangan bagi 28.471 orang, serta bahan untuk memperbaiki shelter bagi 1.888 keluarga. Selain itu, 6.444 orang penyintas pun didukung dengan program transfer tunai sebagai pengganti kerja mereka dalam penanganan pascabencana.

Belajar dari pengalaman gempa itu, Fatni berpendapat semua perempuan haruslah tangguh. Namun, ketangguhan itu perlu dipelajari.

“Kami harus belajar menjadi tangguh. Kalau kami ingin jadi tangguh tapi tidak memiliki pengetahuannya, ya tidak ada artinya,” kata dia.

Marlina berpendapat serupa. Perempuan perlu tangguh karena ia harus siap menghadapi segala perubahan tak terduga, termasuk bencana alam.

Setelah fase tanggap darurat berlalu, CARE Indonesia tetap bekerja di Sulawesi Tengah untuk memulihkan perikehidupan para penyintas bencana, terutama perempuan. Pengalaman CARE Indonesia menunjukkan fase pemulihan pascabencana membuka peluang bagi perempuan untuk mengubah ketimpangan struktural yang sebelumnya mereka hadapi. Bukti dan kajian menyatakan saat perempuan mendapatkan pemasukan, maka keluarga dan masyarakat ikut merasakan manfaatnya karena perempuan mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk pangan, kesehatan, dan pendidikan.

CARE Indonesia juga akan mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah yang turut berkontribusi terhadap pengurangan risiko bencana serta adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Setidaknya 5.400 keluarga ditargetkan akan mendapatkan manfaat dari dukungan ini.

Pemulihan Sulawesi Tengah

Tujuan: memulihkan perikehidupan penyintas bencana gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah

Waktu: 2018-2020

Lokasi: Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, Kota Palu

Jumlah penerima manfaat per September 2019: 60.454 orang

Mitra kerja: PKPU, Bina Swadaya, Solidaritas Perempuan, Dompet Dhuafa, IBU Foundation, Yayasan Penabulu, Karsa Institute

Pendukung dana: Australia Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT), Global Affairs Canada (GAC), Luxembourg Ministry of Foreign Affairs, Samenwerkende Hulporganisaties (SHO), Dutch Relief Alliance (DRA), Disaster Emergency Committee (DEC), Aktion Deutschland Hilft (ADH), Humanitarian Coalition, GATES Foundation, Margaret A. Cargill Philanthropies, UNICEF

Gesit Tanggap di Semua Tahap

Cerita

Perempuan Tangguh Bencana jadi penggerak aktif penanggulangan bencana banjir di Jakarta.

Ayam belum juga berkokok menandakan fajar tiba, ketika Nining Kartini mengirim pesan ke grup WhatsApp (WA) di ponselnya. Di wilayah Rukun Warga (RW) 02 Kelurahan Rawa Buaya, kata Nining, “Air sudah ada yang masuk rumah warga. Ketinggian air bervariasi dari 30-50 cm saat ini.”

Ia mengirimkan pesannya pukul 03.04 WIB, 25 Februari 2020. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta saat itu belum melansir peringatan apapun kepada publik terkait banjir keenam sepanjang 2020 tersebut.

Berselang tak sampai sejam, kawan Nining di grup WA itu, Triyanti, membalas. “Semoga cepat surut ya airnya, jangan nambah lagi.”

“Semoga. Warga sudah evakuasi motor. Dari jam 2 (dini hari) sudah ramai di RW 02. Sejak jam 3 sudah pada laporan, katanya air sudah merata. Baru saja saya koordinasi dengan Pak RW 02,” jawab Nining sembari mengirimkan sejumlah foto banjir di depan dan samping rumahnya, juga lokasi ungsian kendaraan bermotor warga.

Keduanya tergabung dalam grup WA “SinerGi-CARE”, yang berisi para peserta pelatihan Perempuan Tangguh Bencana (PTB), Lurah Rawa Buaya, Lurah Kapuk, personel BPBD DKI Jakarta, serta pendamping dari CARE Indonesia.

Perempuan Tangguh Bencana adalah para perempuan relawan yang mendapat peningkatan kapasitas untuk aktif dalam tiap tahap penanggulangan bencana, yaitu kesiapsiagaan (prabencana), tanggap darurat, dan pemulihan (pascabencana). Pelatihan ini bagian dari program Mendukung Pemerintah dan Masyarakat dalam Kesiapsiagaan Bencana (Supporting Disaster Preparedness of Government and Communities/SinerGi) yang dilaksanakan CARE Indonesia di dua kelurahan di Jakarta Barat, yakni Rawa Buaya dan Kapuk. Dua kelurahan itu terpilih akibat tingginya kerentanan terhadap banjir di Jakarta.

CARE Indonesia menganggap pendekatan khusus terhadap perempuan adalah penting karena mereka termasuk kelompok rentan saat bencana.

Perempuan kerap kali disibukkan dengan urusan domestik, sehingga biasanya berada di rumah ketika bala menerjang. Karena lazimnya perempuan punya akses kecil untuk berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat, mereka kurang mendapatkan manfaat dari sosialisasi informasi soal cara menghadapi bencana.

PTB mendorong pesertanya menjadi agen perubahan dan berperan dalam memimpin keluarga serta masyarakat saat menangani bencana. Pelatihan ini juga memberikan kesempatan pada perempuan untuk memimpin proses diseminasi informasi kesetaraan gender dan kesiapsiagaan bencana.

Ada lima langkah pembelajaran yang diterapkan CARE Indonesia dalam program PTB. Pertama-tama, peserta memperoleh penyadaran tentang pentingnya peran perempuan dan kesetaraan gender dalam penanggulangan bencana. Kedua, CARE Indonesia memberikan pelatihan dan pendampingan agar perempuan mampu serta berani bersuara dan berbagi pendapatnya. Setelah itu, peserta menyebarkan informasi tentang kesetaraan gender dan kesiapsiagaan bencana kepada lingkungannya. Pada langkah berikutnya, terjadi perubahan relasi, yakni perempuan mendapatkan kepercayaan dan pengakuan dari keluarga serta masyarakat atas kinerjanya. Kelima, perempuan dapat terlibat aktif dalam negosiasi kebijakan dan memastikan kebutuhan berbasis gender (gender checklist) terpenuhi.

Sekitar 30 orang perempuan mengikuti pelatihan PTB sepanjang 2019. Mereka terpilih karena sudah aktif di komunitasnya dan relatif mampu berkomunikasi dengan baik. Selepas pelatihan, mereka diharapkan mampu membagikan pengetahuan yang didapat kepada perempuan lain di lingkungannya serta mengelola koordinasi dengan pemangku kepentingan lain seperti Rukun Tetangga (RT), RW, Karang Taruna, dan Kelurahan. Mereka pun diharapkan bisa jadi perantara penyambung aspirasi kawan-kawan perempuannya yang belum dapat berpartisipasi di forum pengambilan keputusan seperti Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).

Saat banjir terjadi, terbukti para perempuan tangguh itu aktif dalam aksi tanggap darurat. Seperti Nining, mereka mampu mengumpulkan dan menyampaikan beragam data penting. Mulai dari posisi genangan, lokasi evakuasi, hingga jumlah pengungsi. Mereka juga terlibat dalam dapur umum dan distribusi logistik.

“Tim perempuan tangguh, ada yang siap untuk dapur umum di RW 01?” ujar Ujang Sungkawa, Lurah Kapuk, lewat grup WA “SinerGi-CARE” pada pukul 9.42 WIB.

“Siap, Pak Lurah,” jawab Sri Hartati, yang juga telah menjalani pelatihan PTB. Sejumlah peserta PTB lainnya pun menyampaikan respon positif terhadap pertanyaan Ujang tadi.

Menariknya, keluarga para perempuan tangguh itu tak keberatan mereka keluar dari rumah dan mengurusi warga lingkungannya. Artinya, peserta PTB telah mampu meyakinkan keluarga bahwa peran penting mereka diperlukan oleh publik.

Paralel dengan pelatihan Perempuan Tangguh Bencana, CARE Indonesia melaksanakan sejumlah kegiatan lain. Antara lain, kajian pengarusutamaan gender dalam dokumen penanggulangan bencana, pelatihan inklusi disabilitas dalam penanggulangan bencana, serta simulasi bencana dan evaluasi dokumen rencana kontijensi bencana di tingkat kelurahan. CARE Indonesia juga mengadakan pelatihan pencegahan kekerasan, pelecehan dan eksploitasi seksual (PSEA) dalam penanggulangan bencana, serta memperkenalkan pendekatan bantuan tunai dan nontunai (cash and voucher assistance).

Pemberdayaan perempuan, penguatan ketahanan keluarga dan masyarakat, serta penguatan kelembagaan yang berjalan selaras dalam SinerGi diharapkan efektif menguatkan ketangguhan warga pada semua tahap penanggulangan bencana. Mereka jadi bisa menyiapkan diri sebelum bencana, bertahan saat bala terjadi, dan lekas bangkit selepasnya.

Mendukung Pemerintah dan Masyarakat dalam Kesiapsiagaan Bencana (Supporting Disaster Preparedness of Government and Communities/SinerGi)

Tujuan: menguatkan ketangguhan masyarakat melalui peningkatan kapasitas dan pengelolaan risiko atau dampak bencana

Waktu: April 2019-April 2020

Lokasi: DKI Jakarta

Jumlah penerima manfaat per Februari 2020: XXXX orang

Konsorsium: CRS, Save the Children, Wahana Visi Indonesia

Pendukung dana: USAID

Agar Sekolah Tak Cuma Nyaman, Tapi Juga Aman

Cerita

Sekolah mitra kini punya Standar Operasional dan Prosedur untuk melindungi murid-muridnya dari kekerasan seksual.

Ini kenyataan yang menyedihkan: kekerasan seksual pada anak paling sering terjadi di lingkungan sekolah. Data pengaduan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan pada 2018 ada 177 kasus kekerasan seksual di sekolah. Lembaga yang sama dalam data Januari hingga April 2019 mencatat dari 35 pengaduan, 25 di antaranya terjadi di sekolah dasar (SD).

Pelaku kekerasan seksual pun biasanya adalah orang yang dikenal oleh anak, termasuk guru dan staf sekolah. Minimnya informasi dan pengetahuan bisa menghambat penanganan kasus-kasus tersebut karena orang tua, pendidik, maupun masyarakat tidak mengetahui caranya.

Melalui diskusi dan pelatihan yang dilaksanakan CARE Indonesia terhadap guru dan murid, banyak terungkap bahwa kekerasan belum jadi isu yang diperhatikan.

Anak-anak perempuan penyintas kekerasan seksual bahkan sering menjadi korban dua kali. Selain mengalami kekerasan, mereka juga seringkali dihakimi publik dan dikeluarkan dari sekolah karena dianggap mencemari nama baik sekolah.

Di sisi lain, perkembangan internet dan telepon seluler juga menambah risiko kekerasan seksual pada anak. Ada orang dewasa yang menjadi predator seksual anak-anak dan menjaring korbannya via internet. Sementara itu, gambar pelecehan anak makin sering dipertukarkan di dunia maya. Tak jarang anak-anak juga saling mengirim pesan dan gambar seksual melalui telepon seluler mereka, tanpa sadar membuat dirinya rentan terhadap risiko pelecehan lainnya.

Padahal, menurut Undang-undang tentang Perlindungan Anak, setiap anak berhak dilindungi dari kejahatan seksual. Artinya, sekolah sebagai ruang kegiatan anak sehari-hari seharusnya jadi tempat yang nyaman dan aman.

Maka, CARE Indonesia bersama sekolah mitranya mengembangkan Standar Operasional dan Prosedur (SOP) untuk melindungi siswa-siswinya dari kekerasan seksual. Dengan SOP ini, diharapkan para murid terlindung dari kekerasan seksual dan terpenuhi hak-haknya.

SOP ini memuat bagaimana sekolah dapat mencegah kekerasan seksual. Yakni, dengan cara mengidentifikasi kerentanan murid dan mengenali potensi ancaman di sekitar anak-anak. Selain itu, pendidik dan staf sekolah perlu peka dalam merespon kasus kekerasan seksual. Ini sangat penting agar sekolah bisa cepat mengambil tindakan penanganan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan anak didiknya.

Sekolah juga perlu menentukan langkah konkret saat anak didiknya menghadapi kekerasan seksual. Misal, siapa yang bakal mendampingi anak dalam proses pemulihan psikologis dan hukum, juga mekanisme yang perlu diterapkan jika ada pendidik yang terbukti melakukan kekerasan.

Inisiatif CARE Indonesia dan sekolah mitranya tersebut diapresiasi positif oleh para pemangku kepentingan. “Pengembangan SOP ini sangat bagus, karena memang selama ini tidak ada pendekatan khusus di sekolah untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di sekolah,” ujar Achi Soleman dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Makassar.

Sementara itu, menurut Asep Nugraha Jaya, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Serang, “Banyak kasus kekerasan dan pelecehan terhadap anak terjadi di Kabupaten Serang, bahkan di lingkungan sekolah. Mekanisme yang diatur dalam SOP ini memang kami butuhkan sekali, mengingat Kabupaten Serang adalah Kabupaten Ramah Anak. SOP ini jadi perangkat bagi sekolah dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak-anak.”

Kegiatan pembuatan SOP ini adalah bagian dari program Mempromosikan Dunia yang Berkelanjutan dan Tahan Pangan (Promoting a Sustainable and Food Secure World/PROSPER) yang dilaksanakan CARE Indonesia di Kabupaten Serang dan Kota Makassar pada tahun 2016-2019. Fokus program ialah peningkatan kesejahteraan anak melalui pengurangan kasus diare dan penyakit menular.

Dalam program ini, CARE Indonesia membangun fasilitas air bersih dan sanitasi serta membuat pelatihan dan acara tentang gizi di sekolah mitra. CARE juga mempromosikan perilaku hidup sehat dan bersih, seperti cara mencuci tangan yang baik dan pentingnya kebersihan organ reproduksi perempuan saat menstruasi.

Ada beberapa keunggulan program ini ketimbang kegiatan sejenis. Pertama, pemerintah daerah dilibatkan secara strategis sejak awal, sehingga prosesnya berjalan cukup lancar. Kedua, pembangunan piranti keras seperti konstruksi sarana sanitasi diiringi oleh pengembangan piranti lunaknya, yakni melalui serangkaian pelatihan untuk peningkatan pengetahuan terkait Pola Hidup Bersih Sehat (PHBS) dan gizi.

Selepas intervensi selama tiga tahun, cukup banyak perbaikan terjadi di sekolah-sekolah mitra. Siswa kini lebih mudah mengakses fasilitas sanitasi karena rasio siswa dan toilet sekolah fungsional menurun dari 125:1 ke 83:1. Siswa dan orang tuanya juga telah makin sadar soal praktik kebiasaan sehat. Siswa yang melaporkan mencuci tangan di sekolah meningkat 16%, sedangkan kesadaran orang tua terhadap waktu mencuci tangan yang paling kritis meningkat 40%.

Selain itu, persentase siswa yang tidak masuk sekolah karena diare telah menurun secara signifikan akibat meningkatnya fasilitas sanitasi dan praktik kebersihan. Persentase siswa yang melaporkan terkena diare dua minggu terakhir menurun dari 26% ke 14%, sedangkan persentase anak yang melaporkan absen sekolah karena diare turun pula dari 69% ke 50%.

Dalam hal peningkatan kapasitas pemerintah dan organisasi masyarakat sipil dalam program air bersih dan sanitasi di sekolah, tak kurang dari 102 pejabat pemerintah telah dilatih untuk memahaminya. 20 komite air bersih, sanitasi, dan gizi juga telah dibentuk.

Merespon dampak positif PROSPER, Kabupaten Serang mengalokasikan anggaran untuk replikasi program di 29 sekolah per tahun fiskal 2018 dan 2019, sehingga totalnya adalah 58 sekolah. Bersama Kabupaten Bone, Kabupaten Serang akan kembali jadi lokasi PROSPER pada fase kedua yang berlangsung pada 2019-2022.

Mempromosikan Dunia yang Berkelanjutan dan Tahan Pangan (Promoting a Sustainable and Food Secure World/PROSPER)

Tujuan: meningkatkan kesejahteraan anak melalui pengurangan kasus diare dan penyakit menular

Waktu: fase 1 September 2016-Agustus 2019, fase 2 September 2019-Agustus 2022

Lokasi: Kabupaten Serang, Kota Makassar, dan Kabupaten Bone

Jumlah penerima manfaat per Februari 2020: 14.221 orang (7.755 orang di antaranya perempuan)

Pendukung dana: Cargill

Ubi Ungu dan Suara Jernih untuk Maju

Cerita

Perempuan menjadi penggerak utama ketahanan pangan dan tak lagi ragu untuk aktif dalam sektor publik.

Mata Kause berbinar saat menunjukkan hasil panen ubi ungunya. “Tidak seperti umbi lainnya yang cuma tumbuh saat musim hujan, ubi ungu bisa tetap subur ketika musim kering,” ujar perempuan petani dari Desa Oekiu, Nusa Tenggara Timor (NTT), tersebut.

Perawatannya juga mudah berkat teknik irigasi tetes. Botol plastik bekas yang dibolongi di bagian bawah jadi kunci pengairan ubi ungu. Air mengalir perlahan ke tanah, dan botolnya cukup diisi sekali tiap tiga hingga empat hari. Ubi ungu mudah tumbuh di dataran tinggi maupun rendah, sehingga mampu menguatkan ketahanan pangan warga desa saat musim kemarau maupun sedang tak menentu. Kandungan gizinya pun tinggi.

Kause adalah anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) Moen Mese Desa Oekiu, salah satu lokasi program Mitra untuk Ketangguhan (Partners for Resilience/PfR) CARE Indonesia. Kegiatan pendampingan pertanian ubi ungu adalah bagian dari pendekatan pengelolaan risiko terpadu yang diusung PfR. Pendekatan ini dinilai tepat untuk menangani dampak krisis iklim, memperkuat manajemen dan restorasi ekosistem, serta mempromosikan investasi dan kebijakan tahan risiko dari sektor swasta, pemerintah, maupun organisasi multilateral.

NTT terpilih jadi lokasi program karena kondisinya yang sangat rentan terhadap krisis iklim. Iklim yang relatif kering membuat produktivitas tanah, ketersediaan air bersih, dan ketahanan pangan NTT rendah. Akibatnya, NTT jadi salah satu provinsi yang banyak penduduknya tergolong kurang gizi. Bahkan, lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun di NTT berat badannya di bawah standar sebayanya.

Perempuan di NTT menghadapi beragam tantangan, mulai dari masalah pangan, sanitasi, hingga terbatasnya layanan dan infrastruktur publik. Mereka juga biasanya kebagian tugas mengambil air dan bahan bakar untuk keluarga, yang memerlukan waktu dan tenaga signifikan untuk berjalan jauh. Karena waktu tersita untuk pekerjaan domestik, perempuan sangat jarang terlibat dalam kegiatan publik seperti pertemuan warga dan forum perencanaan pembangunan.

PfR berupaya mendorong perempuan petani untuk lebih berdaya, lebih bisa mengakses informasi, dan aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Terutama, dalam keputusan yang terkait ketahanan pangan dan gizi keluarga. 

“Ubi ungu ini bisa memenuhi kebutuhan makanan kami. Kelebihan panennya bisa dijual juga di pasar, jadi kami mendapat tambahan penghasilan,” kata Yunyulita Lakilaf, juga anggota KWT Moen Mese.

Kini, telah tumbuh sekitar 1.500 pohon ubi ungu di Desa Oekiu, yang pasokan airnya cenderung terbatas. Ubi ungu jadi unsur penting untuk memperkuat ketahanan pangan warga desa.

Selain teknik menanam ubi ungu yang tepat, pemberdayaan diri juga jadi materi yang disampaikan fasilitator PfR kepada perempuan peserta program. Perempuan didorong terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan setempat, termasuk dalam perencanaan pembangunan, penilaian risiko, dan manajemen informasi. Sebab, upaya mengakhiri kelaparan dan kemiskinan hanya bisa berdampak optimal jika melibatkan semua pihak, termasuk perempuan.

Berkat PfR, sekarang ada lebih banyak perempuan terlibat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang biasanya didominasi lelaki. Salah satunya adalah Regina, penduduk Desa Oelbiteno, Kabupaten Kupang. Dalam sesi tanya jawab Musrenbang Kabupaten Kupang, ia sigap berdiri dan mengacungkan tangan untuk bersuara.

“Saya ingin bertani, tapi desa kekurangan air saat musim tanam kedua. Saya harap pemerintah bisa membangun embung untuk menyediakan air. Selain itu, saya juga minta sekolah dasar dan jalan yang rusak di desa diperbaiki,” ucapnya.

Aspirasi Regina langsung ditanggapi oleh pemerintah, yang menyampaikan sejumlah rencana kerjanya. Embung akan dibangun dan sekolah dasar bakal diperbaiki. Dinas teknis terkait akan segera menyurvei jalan yang rusak, sedangkan pengerjaannya dilakukan bekerja sama dengan aparat desa.

Karena belum terbiasa berbicara di depan publik, perempuan tangguh yang mengikuti program PfR mengaku kadang masih canggung saat melakukannya. Ferderika Taimenas, Bendahara Kelompok Wanita Tani, misalnya. Tapi, kata Ferderika, yang penting keberanian itu sudah ada.

“Dulu kelompok ibu-ibu tidak berani berbicara begini. Biasanya kalau ada tamu, kami hanya sibuk-sibuk di dapur. Sekarang biar kaku-kaku juga sudah berani berbicara,” tuturnya sembari tersenyum.

Mitra untuk Ketangguhan (Partners for Resilience, PfR)

Tujuan: meningkatkan ketangguhan masyarakat rentan dan melindungi mata pencarian terhadap bahaya alam terkait perubahan iklim

Waktu: fase 1 2011-2015, fase 2 2016-2020

Lokasi: Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan

Jumlah penerima manfaat: 1.686 orang, 43% di antaranya perempuan

Mitra pelaksana: Circle of Imagine Society (CIS) Timor

Konsorsium: International Federation of Red Cross (IFRC)/ Palang Merah Indonesia (PMI), Red Cross-Climate Center (RCCC), Wetlands International Indonesia (Yayasan Lahan Basah), KARINA Indonesia

Pendukung dana: Kementerian Luar Negeri Belanda

Selamat Tinggal Minder, Selamat Datang Masa Depan

Cerita

Ribuan mojang Kabupaten Bandung jadi lebih bisa menghargai diri sendiri, serta bersemangat merancang masa depannya.

“Aku pendiam dan jarang bergaul. Tak banyak orang tahu kisah hidupku yang pilu,” ujar Alya Nurul Wijaya, siswi kelas VII SMP Pasundan 1, mengawali ceritanya.

Ia tidak bisa lupa kesedihannya empat tahun lalu, saat orang tuanya bercerai. Alya dan ibunya pindah ke rumah peninggalan kakek. Ibunya lantas menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT) untuk menghidupi keluarga dan membiayai pendidikan Alya.

“Sebenarnya aku bercita-cita jadi dokter,
tapi sering pesimis mengingat status keluargaku yang bukan
dari keluarga berada,” tuturnya.

Di sekolah, Alya cenderung minder, menarik diri, dan jarang bergaul. Ia menganggap banyak murid di sekolahnya tak suka padanya. Kecuali, satu orang yang kemudian menjadi sahabatnya, yakni Aida. Ia sering membantu Alya di saat-saat sulit. Aida juga yang mendorong Alya terus mengikuti program Pengembangan Diri dan Karir (Personal Advancement and Career Enhancement/PACE) yang diadakan di sekolah mereka.

PACE dirancang untuk menyiapkan anak perempuan tangguh di masa depan. Caranya, dengan meningkatkan kapasitas diri remaja perempuan berumur 12 sampai 18 tahun di Kabupaten Bandung. Lebih dari 3.000 orang, terdiri dari murid dan guru, ikut serta dalam PACE. Materi yang dibahas terentang dari pengenalan diri, pengelolaan emosi, pemahaman gender dan pubertas, perencanaan menggapai cita-cita, kepemimpinan, pemecahan masalah, hingga kelayakan kerja.

Menurut Alya, materi tentang cita-cita dan pengelolaan keuangan adalah yang paling menarik. Ia kemudian mendapat ide menjual makanan ringan di sekolah, yang cukup sukses sehingga keuntungannya bisa ditabung. “Aku berharap bisa terus konsisten berjuang meraih cita-citaku, agar kelak bisa membahagiakan ibu,” katanya.

Di sekolah lain, SMP PGRI, ada Fitriani, 14 tahun. Manfaat yang terasa dari materi PACE adalah ia jadi lebih menghargai diri sendiri. Fitriani tadinya sering malu akibat tubuhnya tergolong bongsor ketimbang sebayanya.

“Fasilitator PACE yang juga guru saya menjelaskan pada hakikatnya semua manusia dilahirkan sama. Tuhan memberikan kita tubuh yang sempurna. Kita sebagai manusia wajib memelihara dan merawatnya. Mulai saat itu saya bisa lebih menghargai dan mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan,” paparnya.

Fitriani juga lebih paham soal kesehatan reproduksi. Dulu ia hanya mengganti pembalut dua kali sehari saat menstruasi. PACE membuatnya mengerti bahwa alat reproduksi perempuan rentan penyakit, sehingga harus dijaga dan dirawat kebersihannya. Kini, saat menstruasi ia mengganti pembalut sebanyak hingga empat kali tiap harinya.

Sementara itu, di SMP Pemuda ada Anggia Nurlaila yang duduk di kelas VIII. Materi PACE yang paling membekas untuk Anggia adalah pengenalan soal tubuh. Terutama, tentang bagian tubuh mana yang tak boleh disentuh oleh siapapun.

“Sebelum ikut PACE, saya selalu bertanya-tanya pada diri sendiri. Bagian tubuh mana sih yang harus kita jaga? Soalnya saya pernah melihat teman perempuan diperlakukan tidak baik oleh laki-laki, yang mencolek dagu dan menyentuh payudaranya. Ternyata itu termasuk pelecehan dan tidak boleh dilakukan,” ucap Anggia.

Pelajaran yang ia petik dari topik bahasan itu adalah remaja perempuan harus tahu mana yang baik dan buruk dalam bergaul. Remaja harus menjaga diri sendiri, terutama ketika bergaul dengan teman-temannya.

Materi soal tubuh ternyata jadi salah satu yang memancing diskusi paling seru di sekolah, termasuk di SMPN 1 Banjaran. Diah Yuliah, fasilitator PACE, mengatakan banyak siswi awalnya menganggap citra tubuh cantik yang ideal adalah perempuan berkulit putih, berhidung mancung, dan bertubuh langsing seperti penyanyi girl band Korea.

Salah satu siswi yang diampu Diah tadinya paling enggan aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler karena takut kulitnya hitam dan tidak cantik. Padahal, sebetulnya si murid sangat berminat ikut ekstrakurikuler itu.

“Saat diskusi tentang tubuh yang sempurna, dia berani mengungkapkannya. Ini jadi bahan diskusi dan berlanjut sampai konseling individual. Siswi ini kemudian mengubah pikirannya soal kecantikan dan kesempurnaan. Dia jadi aktif lagi dalam kegiatan ekstrakurikuler, tanpa khawatir akan jadi kurang cantik,” tuturnya.

Bicara soal cita-cita, makin banyak peserta yang percaya diri bisa meraihnya. Salah satunya adalah Rizky Puri Ayuningtyas, murid SMP 1 Pasundan.

“Perempuan juga punya hak untuk bermimpi tinggi. Setelah mendapat penerangan tentang berbagai keistimewaan perempuan, entah mengapa aku menjadi percaya diri dan semakin bertekad kuat untuk meraih mimpiku. Akan kubuktikan aku bisa meraih impian itu,” kata Rizky bersemangat.

Pengembangan Diri dan Karir (Personal Advancement and Career Enhancement/PACE)

Tujuan: menyiapkan perempuan tangguh untuk masa depan melalui peningkatan kapasitas diri (soft skills) kepada remaja perempuan berusia 12- 18 tahun

Waktu: 2018-2019

Lokasi: Kabupaten Bandung

Jumlah penerima manfaat per Januari 2020: 3.269 orang

Mitra pelaksana:

Pendukung dana: Abercrombie

Harapan Baru untuk Perempuan Sukaluyu

Cerita

Perempuan Desa Sukaluyu dibekali beragam keterampilan untuk meningkatkan kualitas hidup dan masa depannya.

Sejak subuh hingga malam, hidup Susi Suhaeni, 29 tahun, disesaki dengan urusan rumah tangga dan pekerjaannya sebagai pemetik teh. Warga Kabupaten Bandung itu adalah satu dari sekitar 900 perempuan pemetik teh di Desa Sukaluyu yang menghabiskan rata-rata 15 jam sehari untuk bekerja di kebun teh dan mengurus keluarganya. Mereka cuma bisa beristirahat maksimal 6 jam, sedangkan waktu untuk diri sendiri tak lebih dari 3 jam setiap harinya.

Penghasilan dari memetik teh sebetulnya tak banyak, namun sangat penting untuk menopang perekonomian keluarga. Itu pun masih kurang, sehingga banyak keluarga gali lubang tutup lubang dengan terus-terusan berhutang pada rentenir.

“Sebagai buruh harian lepas, saya mendapat sekitar Rp400.000 sebulan, tergantung banyaknya daun teh yang bisa dipetik. Suami saya pengepul barang rongsokan yang penghasilannya rata-rata Rp700.000. Padahal pengeluaran sebulan bisa lebih dari Rp1 juta, belum cicilan hutang,” tutur Susi.

Ia lahir dan tumbuh dalam keluarga yang tergantung pada perkebunan teh. Kakeknya dulu jadi penjaga keamanan kebun, sedangkan ibu Susi adalah pemetik teh yang statusnya buruh tetap. Suaminya pun sempat jadi pemetik teh, tapi beralih jadi pengepul rongsokan karena saat kemarau hasil petikannya sedikit sekali. Menikah di usia dini, 13 tahun, Susi melahirkan anak pertamanya pada usia 14 tahun. Anaknya kini menjadi murid Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Penatnya hidup Susi perlahan berubah selepas ia mengikuti program pemberdayaan perempuan bertajuk Her Economic Empowerment, Our Pride Forever (HOPE) yang diadakan CARE. Program ini bermaksud berkontribusi mengatasi tiga tantangan besar bagi perempuan pekerja perkebunan teh di Sukaluyu. Pertama, rendahnya pendidikan yang membuat mereka kurang berdaya dalam pengambilan keputusan dan terkadang menjadi korban pelecehan seksual. Kedua, kurangnya literasi keuangan yang menyebabkan mereka sulit mengakses sumber daya di tingkat keluarga, masyarakat, maupun alternatif dari lembaga jasa keuangan. Ketiga, mereka pun kurang memiliki pengetahuan tentang air bersih dan sanitasi, sehingga mendatangkan dampak negatif bagi diri sendiri, terutama kesehatan reproduksi dan keluarganya.

Untuk mengatasinya, sejumlah intervensi diterapkan dalam program yang didanai oleh Starbucks Foundation itu. Peserta mendapatkan pelatihan tentang beragam topik, antara lain cara berkomunikasi, pembagian peran dan tugas dalam keluarga, mengelola stres dan waktu, memecahkan masalah, mengatur keuangan rumah tangga, merencanakan tabungan pribadi, serta menjadi aktif dalam perencanaan sanitasi air dan kebersihan maupun penerapannya. Saat kemampuannya telah terbangun, mereka diharapkan dapat terlibat aktif dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran dana desa, sehingga ikut merasakan manfaatnya.

Susi mengaku senang bisa ikut dalam rangkaian kegiatan HOPE. “Kayak sekolah lagi. Saya senang bisa menambah pengetahuan dan belajar bareng sama ibu-ibu yang lain,” tuturnya.

Ia mencoba mempraktikkan ilmu yang didapatnya di rumah. Misal, berupaya mengelola stresnya dengan lebih banyak mendengarkan musik. Susi pun membuat prioritas kegiatan sehingga waktu terbagi lebih efektif antara bekerja di kebun teh, merampungkan urusan rumah tangga, dan mengikuti kelas HOPE.

Untuk Yani Nurhaeni, 33 tahun, materi HOPE sangat bermanfaat bagi hidupnya. Mantan pemetik teh yang kini jadi ibu rumah tangga itu biasanya jadi satu-satunya orang yang melakukan berbagai pekerjaan domestik. Setelah kemampuan berkomunikasinya meningkat, ia jadi lebih bisa menyampaikan keinginannya kepada suami maupun kedua anaknya. Beban rumah tangga kini dibagi lebih merata kepada anggota keluarganya, sehingga Yani bisa bersosialisasi dengan teman-temannya dan mengikuti pelatihan HOPE.

“HOPE memberikan pengetahuan baru,
kekuatan baru yang bisa mengubah hidup kami.

Saya mencoba membagikan apa yang saya dapat dari
HOPE kepada teman-teman juga,” ucapnya.

Program ini juga berfungsi membentuk kelompok yang jadi sistem pendukung dan ruang aman bagi para pesertanya. Saat belajar bersama perempuan lainnya, mereka bisa bebas menceritakan apa saja di kelompoknya. Mulai dari kekerasan yang sering mereka dapatkan dari suami, belum cukupnya pendapatan dari memetik teh untuk menutupi pengeluaran keluarga, nasib anak-anak putus sekolah, sampai kekhawatiran diusir dari rumah perkebunan jika mereka tidak lagi bekerja di sana.

Dari pengalaman CARE Indonesia menjalankan program yang bermitra dengan sektor swasta, pendekatan pemberdayaan holistik lazimnya mendatangkan manfaat bagi semua pemangku kepentingan, baik masyarakat maupun perusahaan. Program HOPE yang berlangsung selama dua tahun hingga November 2020 diharapkan memberikan dampak positif seperti itu juga. Agar semakin banyak yang mendapat manfaat, CARE Indonesia berharap program serupa dapat diterapkan juga di perkebunan teh lainnya di Sukaluyu.

Pemberdayaan Perempuan Perkebunan Teh (Her Economic Empowerment, Our Pride Forever/HOPE)

Tujuan: membantu perempuan dan anak perempuan yang tinggal di sekitar perkebunan teh mendapatkan kualitas hidup yang baik melalui penguatan kapasitas diri, pemberdayaan ekonomi, serta peningkatan kualitas sanitasi air dan kebersihan

Waktu: November 2018-November 2020

Lokasi: Desa Sukaluyu, Kabupaten Bandung

Target jumlah penerima manfaat: 8.909 orang

Pendukung dana: Starbucks Foundation

Sadar Data Jadi Senjata Serikat Pekerja

Cerita

Sekolah Buruh membuat para pekerja sadar, pencatatan dan pengolahan data yang baik adalah bekal kuat dalam negosiasi perburuhan.

Ismarlina, pekerja di sebuah pabrik garmen, masih ingat betul soal kurangnya pengumpulan dan penggunaan data oleh serikat pekerjanya di masa lampau.

“Biasanya kami hanya menerima keluhan dari anggota serikat, lalu menggunakannya untuk negosiasi Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Kami tidak pernah mengumpulkan data dari luar serikat pekerja,” ujar Sekretaris Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) di pabrik tersebut.

Keadaan berubah setelah Ismarlina beserta kawan-kawannya di SPSI pabrik mengikuti Sekolah Buruh untuk perempuan. Sekolah ini adalah bagian dari program Bersama Menuju Keadilan (BUKA) yang dilaksanakan CARE Indonesia.

Mereka belajar tentang hal yang perlu disiapkan untuk negosiasi dengan perusahaan seperti mencari, mengumpulkan, memilih, dan menganalisis data yang dibutuhkan. Mereka juga mempelajari cara menggunakan komputer dan melakukan presentasi, serta pentingnya perspektif gender di dalam setiap isi perjanjian.

“Setelah ikut Sekolah Buruh, saya sadar data sangatlah penting karena bisa memperkuat permintaan kami dalam negosiasi. Saat kami punya data kuat, manajemen pabrik menyadari dan memahami isu yang dibahas sesuai dengan fakta di lapangan, hal nyata dan dialami pekerja,” tutur Ismarlina.

Sejumlah perubahan telah dicapai SPSI berkat data tersebut. Misalnya, keluhan tentang lembur tanpa bayaran dan hardikan dari penyelia pekerja didukung dengan data komplit mengenai waktu kejadian, nama orang-orang yang terlibat, serta tanggal keluhan disampaikan. Selain itu, kritik tentang kotornya bak air dalam toilet perempuan pekerja dilengkapi foto-foto. Manajemen pabrik merespon dengan positif dan memperbaiki sistemnya agar perubahan yang bermanfaat dirasakan oleh para pekerja.

Data juga membantu SPSI melakukan advokasi yang lebih tepat. Sesuai aturan ketenagakerjaan, perempuan pekerja berhak mendapat dua hari cuti haid. Namun, perusahaan mengganti cuti itu dengan tunjangan tambahan. SPSI merasa kebijakan perusahaan tak sesuai regulasi pemerintah, lalu mengumpulkan data soal cuti haid tersebut dengan bertanya kepada para pekerja. Ternyata, mayoritas memilih mendapat tunjangan ketimbang mengambil cuti haid.

Pengalaman serupa didapat Nur Rohmah, buruh dan anggota serikat pekerja di sebuah pabrik garmen lainnya di Sukabumi.

“Dalam negosiasi PKB sebelumnya, isunya adalah kontrak kerja, namun kami tidak tahu arah negosiasi yang ingin dicapai. Apakah kami ingin mendorong para pekerja mendapatkan posisi tetap, atau sebagai pekerja kontrak saja? Kami tidak punya data dari sekitar 1.300 pekerja, berapa banyak yang ingin jadi pekerja tetap atau kontrak,” ujar perempuan yang akrab disapa Iyoh itu.

Serikat pekerja ini lantas mengumpulkan data dari anggotanya. Ternyata, lebih dari 90% di antaranya tak tahu tentang status mereka, apakah pekerja tetap atau kontrak. Ada yang menandatangani satu kontrak untuk tiga tahun, ada juga yang mendapat dua kontrak terpisah sepanjang periode yang sama. Kebanyakan buruh kontrak pun diberhentikan setelah bekerja tiga tahun, kemudian dipekerjakan kembali dengan kontrak baru. Padahal, Undang-undang Ketenagakerjaan menyatakan buruh yang telah bekerja selama tiga tahun di perusahaan otomatis menjadi pekerja tetap.

Data itu menjadi bekal mereka untuk mendesak manajemen pabrik mengubah status pekerja kontrak yang telah memenuhi syarat menjadi pekerja tetap. “Kami telah bertemu manajemen dua kali, dan sekarang masih berproses,” kata Iyoh.

Pencatatan data juga sangat penting dalam menyelesaikan kasus pelecehan, eksploitasi, dan kekerasan seksual di pabrik.

Iyoh ingat pada 2018 ada penyintas pelecehan seksual melaporkan pengalamannya. Serikat pekerja bertemu dengan Departemen Sumber Daya Manusia (SDM), pelaku kekerasan, serta penyintasnya. Pelakunya lalu minta maaf dan berusaha memberi kompensasi, namun ditolak. Penyintasnya nyaris mengundurkan diri, namun berhasil dibujuk untuk mengurungkan niat.

“Masalah lalu dianggap selesai. Harusnya kejadian itu didokumentasikan dengan baik,” ucap Iyoh yang berkomitmen mencatat rapi proses penyelesaian kasus lain di masa mendatang.

Sekolah Buruh juga memberi manfaat lain bagi Iyoh.

“Setelah teman-teman tahu saya ikut Sekolah Buruh,
mereka lebih menghargai saya. Mereka lebih percaya bahwa serikat pekerja
bisa dipercaya untuk menyelesaikan masalah,” tuturnya.

Secara signifikan, peserta Sekolah Buruh merasa kepercayaan dirinya meningkat selepas menyelesaikan materi. Jika awalnya mayoritas merasa malu berbicara di depan publik, situasinya kini berubah. CARE Indonesia mengamati, lebih dari 50% peserta berani berbicara di depan banyak orang untuk mendukung hak buruh, termasuk saat ikut kegiatan peringatan Hari Buruh Sedunia. Rekan-rekan mereka yang lelaki kemudian meminta pula agar laki-laki pekerja bisa mengikuti Sekolah Buruh.

Sementara itu, sensitivitas gender para siswa Sekolah Buruh meningkat. Mereka sekarang bisa mengenali dan menganalisis ketidakadilan gender yang terjadi dalam keluarga, komunitas, serikat, dan pabrik. Sebelum Sekolah Buruh, hanya 30% peserta yakin peran lelaki perempuan dalam keluarga harus seimbang. Persentasenya kini meningkat jadi 60%.

Salah satu pembelajaran penting dalam proses ini ialah pelatihan sensitivitas gender telah tepat diberikan kepada perempuan dan laki-laki dengan pendekatan yang tak menggurui.

Ini menyadarkan para lelaki bahwa mereka punya andil menciptakan keadilan gender dalam lingkungannya. Dengan belajar bersama kawan-kawannya yang perempuan, mereka bisa saling berbagi dan lebih mengerti.

Meski proses belum berakhir, BUKA telah berhasil meningkatkan kapasitas, nalar kritis, dan perspektif gender para pekerja perempuan. Mereka pun dibekali kemampuan kepemimpinan yang memadai, sehingga bisa menjadi pengurus serikat pekerja, bahkan bergabung dalam tim negosiasi PKB yang berhadapan dengan perusahaan. Dengan begitu, isu perempuan diperhatikan dan diperjuangkan oleh serikat pekerja, sehingga manfaatnya dirasakan oleh para perempuan pekerja.

Bersama Menuju Keadilan (BUKA)

Tujuan: mendorong serikat pekerja agar mumpuni mengembangkan dan merundingkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang lebih adil berdasarkan data dan sensitif pada permasalah pekerja perempuan

Waktu: Juli 2018-Juni 2020

Lokasi: Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat

Jumlah penerima manfaat per Februari 2020: 43.548 perempuan pekerja (72%), 16.999 lelaki pekerja (28%)

Mitra Kerja: Trade Union Rights Centre (TURC)

Pendukung dana: Laudes Foundation

Kata Pengantar: Perempuan Tangguh untuk Indonesia Teguh

Cerita

Perempuan di Indonesia menghadapi beragam tantangan, mulai dari kerentanan terhadap bencana alam dan krisis iklim hingga belum memadainya literasi ekonomi. Perempuan juga mengalami kemiskinan serta keterbatasan akses pada layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan, sehingga partisipasi aktifnya dalam hal sosial, ekonomi, politik, dan ekologi menjadi terhambat.

Tinggal di Indonesia berarti harus bersiap menghadapi bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, dan longsor. Sementara itu, ada pula ancaman kekeringan dan banjir yang dipicu krisis iklim global. Perempuan biasanya termasuk golongan yang paling rentan dalam situasi tersebut, sehingga perlu punya kemampuan mengantisipasi dan beradaptasi saat harus menghadapinya.

Dari sisi pertumbuhan ekonomi, penerima manfaatnya belum setara di negeri ini. Agar perempuan bisa ikut merasakan ekonomi yang membaik, mereka pun butuh kemampuan memadai dalam mengelola penghidupannya secara mandiri.

Padahal, Indonesia membutuhkan peran perempuan untuk meneguhkan pembangunan. Pemerintah pun menyadari perempuan punya posisi penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi negara. Sehingga, paralel dengan pembuatan kebijakan yang lebih mendukung peran publik perempuan, kemampuan dan partisipasi perempuan dalam pembangunan harus ditingkatkan.

Hal ini sejalan dengan pendekatan CARE yang mempromosikan kesetaraan gender yang berkeadilan dan suara perempuan dalam semua programnya yang harus disertai perubahan transformatif untuk mencapai tujuan tersebut.

Melalui program-program yang berfokus pada keadilan sosial dan pengentasan kemiskinan, CARE Indonesia berusaha berkontribusi dalam upaya membangun kemampuan para perempuan Indonesia.

CARE Indonesia berupaya membangun agensi masyarakat dari semua lapisan — baik itu laki-laki, perempuan, maupun anak perempuan dan anak laki-laki; mengubah relasi di antara mereka, serta mentransformasi struktur agar mereka bisa mencapai potensi penuhnya dalam kehidupan. Dengan begitu, secara berkeadilan, mereka dapat berkontribusi dan mendapat manfaat dari pembangunan.

Dalam proses pelaksanaan program, banyak perempuan mengambil peran penting dan siap mendukung perempuan lain untuk juga menjadi lebih tangguh. Saat menyebut perempuan tangguh, karakter khas yang mereka miliki terentang dari tingginya kepercayaan diri, pengetahuan tentang kekuatan dirinya, hingga kemampuan mengelola prioritas dan pengambilan keputusan. Mereka mampu bersuara dan membuat pilihannya sendiri. Perempuan tangguh juga bisa mengakses sumber daya dan informasi serta membagikannya kepada orang lain. Mereka paham soal risiko, kerentanan, dan cara memitigasinya. Mereka pun mampu belajar dari pengalaman hidupnya.

Sekelumit cerita para perempuan tangguh yang CARE Indonesia temui dirangkum dalam rangkaian tulisan ini. Mulai dari pabrik garmen hingga ladang ubi ungu, Jawa Barat sampai Nusa Tenggara Timur, terbersit perubahan positif dalam hidup mereka. CARE Indonesia berharap kisah mereka menginspirasi beragam pihak untuk gotong royong membangun kemampuan lebih banyak lagi perempuan tangguh.

Kami percaya dengan makin banyaknya perempuan tangguh, Indonesia akan menjadi lebih kuat, lebih teguh.

Selamat membaca.

Tentang CARE Indonesia

Cerita

CARE telah berkiprah di Indonesia sejak tahun 1967, dimulai dengan kegiatan distribusi pangan dan pemberian makanan tambahan. Kegiatan CARE meluas hingga mencakup air bersih dan sanitasi, pemberdayaan masyarakat, lingkungan hidup, perubahan iklim, bantuan tanggap bencana, hingga pemberdayaan perempuan dan pemuda.

Seiring dengan waktu, pada tahun 2018 CARE International di Indonesia berubah menjadi Yayasan CARE Peduli, atau lebih dikenal dengan CARE Indonesia. Program CARE Indonesia difokuskan pada dua bidang, yaitu Manajemen Risiko Bencana serta Keadilan Gender & Inklusi Sosial