Sekolah mitra kini punya Standar Operasional dan Prosedur untuk melindungi murid-muridnya dari kekerasan seksual.
Ini kenyataan yang menyedihkan: kekerasan seksual pada anak paling sering terjadi di lingkungan sekolah. Data pengaduan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan pada 2018 ada 177 kasus kekerasan seksual di sekolah. Lembaga yang sama dalam data Januari hingga April 2019 mencatat dari 35 pengaduan, 25 di antaranya terjadi di sekolah dasar (SD).
Pelaku kekerasan seksual pun biasanya adalah orang yang dikenal oleh anak, termasuk guru dan staf sekolah. Minimnya informasi dan pengetahuan bisa menghambat penanganan kasus-kasus tersebut karena orang tua, pendidik, maupun masyarakat tidak mengetahui caranya.
Melalui diskusi dan pelatihan yang dilaksanakan CARE Indonesia terhadap guru dan murid, banyak terungkap bahwa kekerasan belum jadi isu yang diperhatikan.
Anak-anak perempuan penyintas kekerasan seksual bahkan sering menjadi korban dua kali. Selain mengalami kekerasan, mereka juga seringkali dihakimi publik dan dikeluarkan dari sekolah karena dianggap mencemari nama baik sekolah.
Di sisi lain, perkembangan internet dan telepon seluler juga menambah risiko kekerasan seksual pada anak. Ada orang dewasa yang menjadi predator seksual anak-anak dan menjaring korbannya via internet. Sementara itu, gambar pelecehan anak makin sering dipertukarkan di dunia maya. Tak jarang anak-anak juga saling mengirim pesan dan gambar seksual melalui telepon seluler mereka, tanpa sadar membuat dirinya rentan terhadap risiko pelecehan lainnya.
Padahal, menurut Undang-undang tentang Perlindungan Anak, setiap anak berhak dilindungi dari kejahatan seksual. Artinya, sekolah sebagai ruang kegiatan anak sehari-hari seharusnya jadi tempat yang nyaman dan aman.
Maka, CARE Indonesia bersama sekolah mitranya mengembangkan Standar Operasional dan Prosedur (SOP) untuk melindungi siswa-siswinya dari kekerasan seksual. Dengan SOP ini, diharapkan para murid terlindung dari kekerasan seksual dan terpenuhi hak-haknya.
SOP ini memuat bagaimana sekolah dapat mencegah kekerasan seksual. Yakni, dengan cara mengidentifikasi kerentanan murid dan mengenali potensi ancaman di sekitar anak-anak. Selain itu, pendidik dan staf sekolah perlu peka dalam merespon kasus kekerasan seksual. Ini sangat penting agar sekolah bisa cepat mengambil tindakan penanganan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan anak didiknya.
Sekolah juga perlu menentukan langkah konkret saat anak didiknya menghadapi kekerasan seksual. Misal, siapa yang bakal mendampingi anak dalam proses pemulihan psikologis dan hukum, juga mekanisme yang perlu diterapkan jika ada pendidik yang terbukti melakukan kekerasan.
Inisiatif CARE Indonesia dan sekolah mitranya tersebut diapresiasi positif oleh para pemangku kepentingan. “Pengembangan SOP ini sangat bagus, karena memang selama ini tidak ada pendekatan khusus di sekolah untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di sekolah,” ujar Achi Soleman dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Makassar.
Sementara itu, menurut Asep Nugraha Jaya, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Serang, “Banyak kasus kekerasan dan pelecehan terhadap anak terjadi di Kabupaten Serang, bahkan di lingkungan sekolah. Mekanisme yang diatur dalam SOP ini memang kami butuhkan sekali, mengingat Kabupaten Serang adalah Kabupaten Ramah Anak. SOP ini jadi perangkat bagi sekolah dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak-anak.”
Kegiatan pembuatan SOP ini adalah bagian dari program Mempromosikan Dunia yang Berkelanjutan dan Tahan Pangan (Promoting a Sustainable and Food Secure World/PROSPER) yang dilaksanakan CARE Indonesia di Kabupaten Serang dan Kota Makassar pada tahun 2016-2019. Fokus program ialah peningkatan kesejahteraan anak melalui pengurangan kasus diare dan penyakit menular.
Dalam program ini, CARE Indonesia membangun fasilitas air bersih dan sanitasi serta membuat pelatihan dan acara tentang gizi di sekolah mitra. CARE juga mempromosikan perilaku hidup sehat dan bersih, seperti cara mencuci tangan yang baik dan pentingnya kebersihan organ reproduksi perempuan saat menstruasi.
Ada beberapa keunggulan program ini ketimbang kegiatan sejenis. Pertama, pemerintah daerah dilibatkan secara strategis sejak awal, sehingga prosesnya berjalan cukup lancar. Kedua, pembangunan piranti keras seperti konstruksi sarana sanitasi diiringi oleh pengembangan piranti lunaknya, yakni melalui serangkaian pelatihan untuk peningkatan pengetahuan terkait Pola Hidup Bersih Sehat (PHBS) dan gizi.

Selepas intervensi selama tiga tahun, cukup banyak perbaikan terjadi di sekolah-sekolah mitra. Siswa kini lebih mudah mengakses fasilitas sanitasi karena rasio siswa dan toilet sekolah fungsional menurun dari 125:1 ke 83:1. Siswa dan orang tuanya juga telah makin sadar soal praktik kebiasaan sehat. Siswa yang melaporkan mencuci tangan di sekolah meningkat 16%, sedangkan kesadaran orang tua terhadap waktu mencuci tangan yang paling kritis meningkat 40%.
Selain itu, persentase siswa yang tidak masuk sekolah karena diare telah menurun secara signifikan akibat meningkatnya fasilitas sanitasi dan praktik kebersihan. Persentase siswa yang melaporkan terkena diare dua minggu terakhir menurun dari 26% ke 14%, sedangkan persentase anak yang melaporkan absen sekolah karena diare turun pula dari 69% ke 50%.
Dalam hal peningkatan kapasitas pemerintah dan organisasi masyarakat sipil dalam program air bersih dan sanitasi di sekolah, tak kurang dari 102 pejabat pemerintah telah dilatih untuk memahaminya. 20 komite air bersih, sanitasi, dan gizi juga telah dibentuk.
Merespon dampak positif PROSPER, Kabupaten Serang mengalokasikan anggaran untuk replikasi program di 29 sekolah per tahun fiskal 2018 dan 2019, sehingga totalnya adalah 58 sekolah. Bersama Kabupaten Bone, Kabupaten Serang akan kembali jadi lokasi PROSPER pada fase kedua yang berlangsung pada 2019-2022.
Mempromosikan Dunia yang Berkelanjutan dan Tahan Pangan (Promoting a Sustainable and Food Secure World/PROSPER)
Tujuan: meningkatkan kesejahteraan anak melalui pengurangan kasus diare dan penyakit menular
Waktu: fase 1 September 2016-Agustus 2019, fase 2 September 2019-Agustus 2022
Lokasi: Kabupaten Serang, Kota Makassar, dan Kabupaten Bone
Jumlah penerima manfaat per Februari 2020: 14.221 orang (7.755 orang di antaranya perempuan)
Pendukung dana: Cargill