Search
Close this search box.

Harapan Baru untuk Perempuan Sukaluyu

Share it with others

Perempuan Desa Sukaluyu dibekali beragam keterampilan untuk meningkatkan kualitas hidup dan masa depannya.

Sejak subuh hingga malam, hidup Susi Suhaeni, 29 tahun, disesaki dengan urusan rumah tangga dan pekerjaannya sebagai pemetik teh. Warga Kabupaten Bandung itu adalah satu dari sekitar 900 perempuan pemetik teh di Desa Sukaluyu yang menghabiskan rata-rata 15 jam sehari untuk bekerja di kebun teh dan mengurus keluarganya. Mereka cuma bisa beristirahat maksimal 6 jam, sedangkan waktu untuk diri sendiri tak lebih dari 3 jam setiap harinya.

Penghasilan dari memetik teh sebetulnya tak banyak, namun sangat penting untuk menopang perekonomian keluarga. Itu pun masih kurang, sehingga banyak keluarga gali lubang tutup lubang dengan terus-terusan berhutang pada rentenir.

“Sebagai buruh harian lepas, saya mendapat sekitar Rp400.000 sebulan, tergantung banyaknya daun teh yang bisa dipetik. Suami saya pengepul barang rongsokan yang penghasilannya rata-rata Rp700.000. Padahal pengeluaran sebulan bisa lebih dari Rp1 juta, belum cicilan hutang,” tutur Susi.

Ia lahir dan tumbuh dalam keluarga yang tergantung pada perkebunan teh. Kakeknya dulu jadi penjaga keamanan kebun, sedangkan ibu Susi adalah pemetik teh yang statusnya buruh tetap. Suaminya pun sempat jadi pemetik teh, tapi beralih jadi pengepul rongsokan karena saat kemarau hasil petikannya sedikit sekali. Menikah di usia dini, 13 tahun, Susi melahirkan anak pertamanya pada usia 14 tahun. Anaknya kini menjadi murid Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Penatnya hidup Susi perlahan berubah selepas ia mengikuti program pemberdayaan perempuan bertajuk Her Economic Empowerment, Our Pride Forever (HOPE) yang diadakan CARE. Program ini bermaksud berkontribusi mengatasi tiga tantangan besar bagi perempuan pekerja perkebunan teh di Sukaluyu. Pertama, rendahnya pendidikan yang membuat mereka kurang berdaya dalam pengambilan keputusan dan terkadang menjadi korban pelecehan seksual. Kedua, kurangnya literasi keuangan yang menyebabkan mereka sulit mengakses sumber daya di tingkat keluarga, masyarakat, maupun alternatif dari lembaga jasa keuangan. Ketiga, mereka pun kurang memiliki pengetahuan tentang air bersih dan sanitasi, sehingga mendatangkan dampak negatif bagi diri sendiri, terutama kesehatan reproduksi dan keluarganya.

Untuk mengatasinya, sejumlah intervensi diterapkan dalam program yang didanai oleh Starbucks Foundation itu. Peserta mendapatkan pelatihan tentang beragam topik, antara lain cara berkomunikasi, pembagian peran dan tugas dalam keluarga, mengelola stres dan waktu, memecahkan masalah, mengatur keuangan rumah tangga, merencanakan tabungan pribadi, serta menjadi aktif dalam perencanaan sanitasi air dan kebersihan maupun penerapannya. Saat kemampuannya telah terbangun, mereka diharapkan dapat terlibat aktif dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran dana desa, sehingga ikut merasakan manfaatnya.

Susi mengaku senang bisa ikut dalam rangkaian kegiatan HOPE. “Kayak sekolah lagi. Saya senang bisa menambah pengetahuan dan belajar bareng sama ibu-ibu yang lain,” tuturnya.

Ia mencoba mempraktikkan ilmu yang didapatnya di rumah. Misal, berupaya mengelola stresnya dengan lebih banyak mendengarkan musik. Susi pun membuat prioritas kegiatan sehingga waktu terbagi lebih efektif antara bekerja di kebun teh, merampungkan urusan rumah tangga, dan mengikuti kelas HOPE.

Untuk Yani Nurhaeni, 33 tahun, materi HOPE sangat bermanfaat bagi hidupnya. Mantan pemetik teh yang kini jadi ibu rumah tangga itu biasanya jadi satu-satunya orang yang melakukan berbagai pekerjaan domestik. Setelah kemampuan berkomunikasinya meningkat, ia jadi lebih bisa menyampaikan keinginannya kepada suami maupun kedua anaknya. Beban rumah tangga kini dibagi lebih merata kepada anggota keluarganya, sehingga Yani bisa bersosialisasi dengan teman-temannya dan mengikuti pelatihan HOPE.

“HOPE memberikan pengetahuan baru,
kekuatan baru yang bisa mengubah hidup kami.

Saya mencoba membagikan apa yang saya dapat dari
HOPE kepada teman-teman juga,” ucapnya.

Program ini juga berfungsi membentuk kelompok yang jadi sistem pendukung dan ruang aman bagi para pesertanya. Saat belajar bersama perempuan lainnya, mereka bisa bebas menceritakan apa saja di kelompoknya. Mulai dari kekerasan yang sering mereka dapatkan dari suami, belum cukupnya pendapatan dari memetik teh untuk menutupi pengeluaran keluarga, nasib anak-anak putus sekolah, sampai kekhawatiran diusir dari rumah perkebunan jika mereka tidak lagi bekerja di sana.

Dari pengalaman CARE Indonesia menjalankan program yang bermitra dengan sektor swasta, pendekatan pemberdayaan holistik lazimnya mendatangkan manfaat bagi semua pemangku kepentingan, baik masyarakat maupun perusahaan. Program HOPE yang berlangsung selama dua tahun hingga November 2020 diharapkan memberikan dampak positif seperti itu juga. Agar semakin banyak yang mendapat manfaat, CARE Indonesia berharap program serupa dapat diterapkan juga di perkebunan teh lainnya di Sukaluyu.

Pemberdayaan Perempuan Perkebunan Teh (Her Economic Empowerment, Our Pride Forever/HOPE)

Tujuan: membantu perempuan dan anak perempuan yang tinggal di sekitar perkebunan teh mendapatkan kualitas hidup yang baik melalui penguatan kapasitas diri, pemberdayaan ekonomi, serta peningkatan kualitas sanitasi air dan kebersihan

Waktu: November 2018-November 2020

Lokasi: Desa Sukaluyu, Kabupaten Bandung

Target jumlah penerima manfaat: 8.909 orang

Pendukung dana: Starbucks Foundation

Cerita Terkait Lainnya