Search
Close this search box.

Menemukan Suara untuk Perubahan Bersama

Share it with others

Perempuan pekerja kini mampu menyuarakan desakan untuk mendorong beragam perubahan. Mulai dari kebijakan perusahaan soal pencegahan kekerasan seksual, hingga perilaku yang lebih baik untuk kesehatan

Dicolek mekanik mesin jahit pernah jadi hal lumrah bagi Indriyani, 25 tahun, perempuan pekerja di sebuah pabrik garmen.

“Mereka bilang itu cuma bercanda. Saya dan para penjahit yang juga sering dicolek sebenarnya merasa tidak nyaman, tapi belum tahu itu pelecehan seksual,” ujar pengontrol kualitas di manufaktur garmen tersebut.

Perempuan yang tinggal di Pondokkaso Tonggoh, Kabupaten Sukabumi, itu mengaku dulu tergolong pemalu dan tak percaya diri untuk berbicara di depan publik. Maka, saat itu ia hanya diam saat mengalami pelecehan seksual.

Indriyani berubah selepas ikut berkegiatan dalam kelompok EKATA (Empowerment, Knowledge and Transformative Action/Pemberdayaan, Pengetahuan, dan Aksi Perubahan) bentukan CARE. EKATA adalah kelompok swadaya dan solidaritas perempuan pekerja garmen di komunitas tempat mereka tinggal. Anggota EKATA menjalin hubungan dengan rekan-rekan mereka, berbagi pengalaman, mengevaluasi dan memahami masalah yang dihadapi, serta bekerja sama menyelesaikan masalah. 47 EKATA telah terbentuk di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Purwakarta.

Materi bahasan EKATA cukup komprehensif. Anggotanya belajar tentang kepemimpinan, komunikasi, pemecahan masalah, dan negosiasi. Mereka diajak juga untuk paham soal air bersih, sanitasi, kesehatan, dan gizi. Kesehatan mental, pencegahan kekerasan berbasis gender, dan literasi keuangan pun didiskusikan. Ada pula materi tentang cara fasilitasi dan berbagi informasi, yang dipraktikkan Indriyani dengan menceritakan soal EKATA kepada keluarga, teman, serta atasan dan rekan penjahit di pabrik.

“Setelah ikut EKATA, saya berani bilang ke mekanik, jangan pegang-pegang lagi,” ucap Indriyani. Kalau tidak, ia akan melaporkannya ke Bagian Sumber Daya Manusia (SDM) di pabrik.

Tak cuma itu, dia bersama kelompoknya, EKATA Apel, menuliskan keluhan tentang pelecehan seksual dan memasukkannya ke  kotak saran pabrik. Kotak tersebut dibuka tiap bulan oleh SDM. Indriyani pun menyampaikan keluhan serupa kepada atasannya, yang kemudian menindaklanjutinya ke serikat pekerja dan manajemen pabrik.

Manajemen pabrik merespon baik masukan itu. Serangkaian sosialisasi kebijakan pabrik soal Pencegahan Pelecehan Seksual diadakan. Video tentang pelecehan seksual di pabrik garmen juga ditayangkan di televisi kantin, agar semua pekerja bisa menontonnya serta memahami cara melaporkan insiden serupa kepada manajemen.

Seperti Indriyani, Onih Kurniasih, 31 tahun, awalnya tak nyaman berbicara di hadapan orang banyak. Gugup, malu, dan takut bercampur jadi satu. Ketika mengikuti pelatihan untuk pelatih (Training of Trainers, ToT) EKATA, penjahit di pabrik garmen di Kabupaten Purwakarta, itu bahkan selalu merasa gemetar dan ingin menangis saat harus mengungkapkan pendapatnya.

“Tapi semua pelatih dan peserta sangat baik. Mereka bilang tidak ada jawaban yang salah, dan di sini kita semua sama-sama belajar. Saya jadi berani bersuara,” tutur perempuan yang telah bekerja sebagai buruh jahit sejak berusia 15 tahun itu.

Onih tak hanya berubah jadi bisa berpendapat, tapi juga lebih peduli pada kesehatan diri. Saat bekerja, dulu ia tak suka memakai masker, tidak pernah sarapan, dan jarang sekali minum karena mengejar target jahitan. EKATA menyadarkannya pada bahaya kebiasaan tak sehat itu, serta potensi dampak buruknya di masa depan.

“Saya tidak pernah berpikir soal efek buruk kebiasaan itu untuk kesehatan nanti. Setelah tahu, saya langsung mengubah kebiasaan sehari-hari,” paparnya.

Demi kesehatannya, Onih kini memastikan dirinya sarapan sebelum berangkat kerja. Ia berusaha makan lebih banyak sayur. Botol minum selalu menemaninya di pabrik, dan masker tak lupa dipakainya sepanjang waktu.

Selepas mengubah gaya hidupnya, Onih sekarang merasa benak dan badannya lebih segar. Ia malah jadi lebih produktif dan selalu mencapai target hariannya.

Dari EKATA, dia pun sadar soal pentingnya menabung, terutama untuk pendidikan anak perempuannya.

“Saya dulu tidak bisa masuk SMA (Sekolah Menengah Atas) karena keluarga berantakan dan tidak punya uang. Tapi saya sekarang menabung supaya anak bisa sekolah sampai universitas. Semua ini supaya hidupnya jadi lebih baik daripada saya,” ujarnya dengan bersemangat.

Baik Indriyani maupun Onih mengetahui EKATA dari kader desanya, yang efektif menjadi perekrut peserta. Para kader itu menjelaskan peserta pelatihan bisa belajar banyak hal, berkenalan dengan teman baru, serta bersama-sama memecahkan masalah di pabrik, rumah, dan lingkungan masyarakat.

Onih mengaku sempat tak yakin dan curiga bahwa program ini hanya tipuan. “Saya menanyakan banyak hal, apa manfaat bergabung? Apakah ini legal?” katanya bercerita.

Ia lantas mengikuti sosialisasi EKATA di tempat tinggalnya, Desa Cisaat, Kabupaten Sukabumi. Teryakinkan dengan penjelasan tim CARE Indonesia, Onih memutuskan ikut ToT. Sisanya adalah sejarah.

“Bergabung dengan kelompok EKATA membuat saya sangat senang. Saya bisa belajar macam-macam, juga punya teman baru untuk berbagi masalah dan mencari solusi. Saya juga tahu pentingnya mencintai diri sendiri,” ucap Onih.

Kini, EKATA di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Purwakarta telah mengambil langkah untuk memastikan keberlanjutan dan meningkatkan pengaruhnya bagi penetapan prioritas pembangunan desa. 13 kelompok EKATA di Sukabumi sedang bekerja sama dengan Dewan Koperasi Pimpinan Daerah (Dekopinda) untuk mendirikan koperasi simpan-pinjam dan dalam proses pendaftaran legal. 10 EKATA di Purwakarta telah terdaftar di desanya, sehingga mereka dapat ikut serta dalam musyawarah pembangunan desa dan menerima pendanaan kegiatan dari desa. Sementara itu, tiga kelompok EKATA di Sukabumi sedang dalam proses legalisasi pembuatan Surat Keputusan (SK) dari Kepala Desa. Proses ini akan meningkatkan pengaruh kelompok EKATA secara signifikan terhadap masyarakat, sekaligus mendukung program pemerintah daerah yang memenuhi kebutuhan perempuan pekerja garmen.

Di Sukabumi, kelompok EKATA telah merampungkan rencana kegiatan dan mulai beraksi mempromosikan hak-hak dan kesejahteraannya di rumah, masyarakat, dan tempat kerja. Aksi mereka ini sudah menimbulkan dampak, antara lain menyadarkan lingkungannya tentang pelecehan seksual di pabrik, serta mendorong aparat desa mengatasi masalah sampah dan memperbaiki penerangan jalan. Mereka pun bekerja sama dengan penyedia layanan lainnya, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), Dinas Tenaga Kerja, dan sebagainya. Bermitra dengan program CARE Indonesia lainnya, Bersama untuk Keadilan (BUKA), mereka juga bersiap membentuk Jejaring Belajar Perempuan Pekerja (JBPP). Adapun 23 EKATA di Purwakarta telah merampungkan ToT, dan akan membuat rencana kegiatannya pada 2020.

Peningkatan Kesejahteraan, Martabat, Kesehatan dan Kepemimpinan Pekerja Perempuan (Worker Dignity, Health and Leadership/WDHL)

Tujuan: meningkatkan martabat, kesejahteraan, kesehatan, kepemimpinan, serta kualitas hidup dan produktivitas pekerja garmen perempuan di Indonesia

Waktu: 2018-2020

Lokasi: Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat

Jumlah penerima manfaat per Desember 2019: 1.092 orang

Mitra pelaksana: Yayasan PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) dan Yayasan Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Pasoendan

Pendukung dana: TARGET Inc

Cerita Terkait Lainnya