Search
Close this search box.

Sadar Data Jadi Senjata Serikat Pekerja

Share it with others

Sekolah Buruh membuat para pekerja sadar, pencatatan dan pengolahan data yang baik adalah bekal kuat dalam negosiasi perburuhan.

Ismarlina, pekerja di sebuah pabrik garmen, masih ingat betul soal kurangnya pengumpulan dan penggunaan data oleh serikat pekerjanya di masa lampau.

“Biasanya kami hanya menerima keluhan dari anggota serikat, lalu menggunakannya untuk negosiasi Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Kami tidak pernah mengumpulkan data dari luar serikat pekerja,” ujar Sekretaris Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) di pabrik tersebut.

Keadaan berubah setelah Ismarlina beserta kawan-kawannya di SPSI pabrik mengikuti Sekolah Buruh untuk perempuan. Sekolah ini adalah bagian dari program Bersama Menuju Keadilan (BUKA) yang dilaksanakan CARE Indonesia.

Mereka belajar tentang hal yang perlu disiapkan untuk negosiasi dengan perusahaan seperti mencari, mengumpulkan, memilih, dan menganalisis data yang dibutuhkan. Mereka juga mempelajari cara menggunakan komputer dan melakukan presentasi, serta pentingnya perspektif gender di dalam setiap isi perjanjian.

“Setelah ikut Sekolah Buruh, saya sadar data sangatlah penting karena bisa memperkuat permintaan kami dalam negosiasi. Saat kami punya data kuat, manajemen pabrik menyadari dan memahami isu yang dibahas sesuai dengan fakta di lapangan, hal nyata dan dialami pekerja,” tutur Ismarlina.

Sejumlah perubahan telah dicapai SPSI berkat data tersebut. Misalnya, keluhan tentang lembur tanpa bayaran dan hardikan dari penyelia pekerja didukung dengan data komplit mengenai waktu kejadian, nama orang-orang yang terlibat, serta tanggal keluhan disampaikan. Selain itu, kritik tentang kotornya bak air dalam toilet perempuan pekerja dilengkapi foto-foto. Manajemen pabrik merespon dengan positif dan memperbaiki sistemnya agar perubahan yang bermanfaat dirasakan oleh para pekerja.

Data juga membantu SPSI melakukan advokasi yang lebih tepat. Sesuai aturan ketenagakerjaan, perempuan pekerja berhak mendapat dua hari cuti haid. Namun, perusahaan mengganti cuti itu dengan tunjangan tambahan. SPSI merasa kebijakan perusahaan tak sesuai regulasi pemerintah, lalu mengumpulkan data soal cuti haid tersebut dengan bertanya kepada para pekerja. Ternyata, mayoritas memilih mendapat tunjangan ketimbang mengambil cuti haid.

Pengalaman serupa didapat Nur Rohmah, buruh dan anggota serikat pekerja di sebuah pabrik garmen lainnya di Sukabumi.

“Dalam negosiasi PKB sebelumnya, isunya adalah kontrak kerja, namun kami tidak tahu arah negosiasi yang ingin dicapai. Apakah kami ingin mendorong para pekerja mendapatkan posisi tetap, atau sebagai pekerja kontrak saja? Kami tidak punya data dari sekitar 1.300 pekerja, berapa banyak yang ingin jadi pekerja tetap atau kontrak,” ujar perempuan yang akrab disapa Iyoh itu.

Serikat pekerja ini lantas mengumpulkan data dari anggotanya. Ternyata, lebih dari 90% di antaranya tak tahu tentang status mereka, apakah pekerja tetap atau kontrak. Ada yang menandatangani satu kontrak untuk tiga tahun, ada juga yang mendapat dua kontrak terpisah sepanjang periode yang sama. Kebanyakan buruh kontrak pun diberhentikan setelah bekerja tiga tahun, kemudian dipekerjakan kembali dengan kontrak baru. Padahal, Undang-undang Ketenagakerjaan menyatakan buruh yang telah bekerja selama tiga tahun di perusahaan otomatis menjadi pekerja tetap.

Data itu menjadi bekal mereka untuk mendesak manajemen pabrik mengubah status pekerja kontrak yang telah memenuhi syarat menjadi pekerja tetap. “Kami telah bertemu manajemen dua kali, dan sekarang masih berproses,” kata Iyoh.

Pencatatan data juga sangat penting dalam menyelesaikan kasus pelecehan, eksploitasi, dan kekerasan seksual di pabrik.

Iyoh ingat pada 2018 ada penyintas pelecehan seksual melaporkan pengalamannya. Serikat pekerja bertemu dengan Departemen Sumber Daya Manusia (SDM), pelaku kekerasan, serta penyintasnya. Pelakunya lalu minta maaf dan berusaha memberi kompensasi, namun ditolak. Penyintasnya nyaris mengundurkan diri, namun berhasil dibujuk untuk mengurungkan niat.

“Masalah lalu dianggap selesai. Harusnya kejadian itu didokumentasikan dengan baik,” ucap Iyoh yang berkomitmen mencatat rapi proses penyelesaian kasus lain di masa mendatang.

Sekolah Buruh juga memberi manfaat lain bagi Iyoh.

“Setelah teman-teman tahu saya ikut Sekolah Buruh,
mereka lebih menghargai saya. Mereka lebih percaya bahwa serikat pekerja
bisa dipercaya untuk menyelesaikan masalah,” tuturnya.

Secara signifikan, peserta Sekolah Buruh merasa kepercayaan dirinya meningkat selepas menyelesaikan materi. Jika awalnya mayoritas merasa malu berbicara di depan publik, situasinya kini berubah. CARE Indonesia mengamati, lebih dari 50% peserta berani berbicara di depan banyak orang untuk mendukung hak buruh, termasuk saat ikut kegiatan peringatan Hari Buruh Sedunia. Rekan-rekan mereka yang lelaki kemudian meminta pula agar laki-laki pekerja bisa mengikuti Sekolah Buruh.

Sementara itu, sensitivitas gender para siswa Sekolah Buruh meningkat. Mereka sekarang bisa mengenali dan menganalisis ketidakadilan gender yang terjadi dalam keluarga, komunitas, serikat, dan pabrik. Sebelum Sekolah Buruh, hanya 30% peserta yakin peran lelaki perempuan dalam keluarga harus seimbang. Persentasenya kini meningkat jadi 60%.

Salah satu pembelajaran penting dalam proses ini ialah pelatihan sensitivitas gender telah tepat diberikan kepada perempuan dan laki-laki dengan pendekatan yang tak menggurui.

Ini menyadarkan para lelaki bahwa mereka punya andil menciptakan keadilan gender dalam lingkungannya. Dengan belajar bersama kawan-kawannya yang perempuan, mereka bisa saling berbagi dan lebih mengerti.

Meski proses belum berakhir, BUKA telah berhasil meningkatkan kapasitas, nalar kritis, dan perspektif gender para pekerja perempuan. Mereka pun dibekali kemampuan kepemimpinan yang memadai, sehingga bisa menjadi pengurus serikat pekerja, bahkan bergabung dalam tim negosiasi PKB yang berhadapan dengan perusahaan. Dengan begitu, isu perempuan diperhatikan dan diperjuangkan oleh serikat pekerja, sehingga manfaatnya dirasakan oleh para perempuan pekerja.

Bersama Menuju Keadilan (BUKA)

Tujuan: mendorong serikat pekerja agar mumpuni mengembangkan dan merundingkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang lebih adil berdasarkan data dan sensitif pada permasalah pekerja perempuan

Waktu: Juli 2018-Juni 2020

Lokasi: Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat

Jumlah penerima manfaat per Februari 2020: 43.548 perempuan pekerja (72%), 16.999 lelaki pekerja (28%)

Mitra Kerja: Trade Union Rights Centre (TURC)

Pendukung dana: Laudes Foundation

Cerita Terkait Lainnya