Perempuan penyintas bencana di Sulawesi Tengah kini jadi makin tangguh dan mumpuni dalam mengawal rekonstruksi rumahnya.
Hidup Marlina, 42 tahun, berubah drastis saat gempa bumi menghantam rumahnya di Desa Soulowe, Kabupaten Sigi. Kediaman guru honorer Taman Kanak-kanak (TK) itu jadi satu di antara lebih dari 60 ribu rumah yang hancur akibat gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah pada 2018.
“Tanah terbelah dari belakang sampai ke badan rumah. Bagian tengah rumah amblas tanahnya. Rumah kami tidak layak dan aman untuk ditinggali lagi,” ujarnya lirih saat mengingat tragedi itu.
Hingga kini, ia dan keluarga besarnya masih tinggal di tenda pengungsian. Tak kurang dari 11 orang dari keluarga Marlina, adiknya, dan orang tuanya berkumpul di sana. Mereka bagian dari 170.000 orang yang kehilangan rumah akibat bencana tersebut.
Namun, titik terang hadir dalam situasi yang menantang Marlina. Pemerintah telah mendata keluarganya sebagai penerima dana stimulan untuk membangun rumah. Selain itu, bersama mitra-mitranya, CARE Indonesia memberikan pelatihan Ibu Pelopor Rekonstruksi.
Dalam pelatihan itu, para perempuan penyintas bencana belajar tentang konstruksi bangunan yang baik dan tahan gempa. Mereka jadi tahu kriteria material bangunan yang berkualitas, ukuran besi yang memenuh standar, juga komposisi campuran beton yang tepat.
Marlina mengatakan para lelaki di desanya sering heran mengapa perempuan yang mendapat pelatihan tentang rekonstruksi. “Kami cuma berikan pemahaman, kalau perempuan diberikan kesempatan sama dengan laki-laki untuk paham cara membangun rumah aman gempa, kami bisa membagikannya ke tukang bangunan. Akhirnya mereka bisa menerima bahwa perempuan juga bisa,” paparnya dengan bersemangat.
Ibu tiga anak itu melanjutkan kisahnya, “Dulu kalau membangun rumah, kami ini cuek dan serahkan sepenuhnya kepada tukang. Padahal rumah itu di dalamnya tinggal orang-orang yag kita sayangi. Setelah dilatih, kami bisa memantau tukang yang kerja agar rumah kami aman, kuat, dan bagus. Bahkan saya pernah berbagi ilmu dari pelatihan tentang komposisi campuran beton kepada tukang, dan dia puas mendapatkan penjelasan saya.”
Singkatnya, menurut Fatni, 44 tahun, yang juga warga Soulowe, “Kami sudah tidak bisa dibodoh-bodohi lagi sama tukang.”
Bersama Marlina, ia telah mengikuti pelatihan Ibu Pelopor Rekonstruksi. Dulu saat rumahnya dibangun, Fatni lazimnya hanya menyediakan makanan untuk tukang.
Jika nanti rumah barunya dibangun, ia bisa mengambil peran lebih aktif untuk memastikan huniannya lebih berkualitas dan tahan saat harus menghadapi gempa.
Lebih lanjut, ia berkomitmen menyebarkan pengetahuannya kepada para perempuan lain di sekitarnya. Antara lain, ibu-ibu di desa sebelah, yakni Desa Karawana, yang telah mengungkapkan keinginannya untuk ikut belajar jadi pelopor rekonstruksi.
Selain mengikuti pelatihan tersebut, Fatni pun telah menerima dua intervensi lain dari CARE Indonesia dan mitranya. Yakni, tenda darurat dan fasilitas kamar mandi komunal. Keduanya diakui sangat bermanfaat karena rumahnya, termasuk kamar mandi, rubuh diterjang gempa.
Selepas bencana, ia dan dua anak perempuannya terpaksa mandi di sungai. Mandi di ruang terbuka dan kurang higienis membuat Fatni dan pengungsi lainnya sangat tidak nyaman.
“Beberapa bulan setelahnya, CARE membangun kamar mandi sebanyak empat pintu. Akhirnya kami bisa mandi di ruang tertutup,” tutur guru honorer Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Karya Pertiwi itu.
Kamar mandi yang dipakai Fatni tersebut adalah bagian dari 494 unit fasilitas sanitasi sensitif gender yang dibangun CARE Indonesia untuk dapat melayani 6.459 orang penyintas bencana di Sulawesi Tengah. CARE Indonesia juga memberikan akses air minum bersih kepada 17.833 orang, mendistribusikan 2.040 filter air dan 5.550 perangkat higiene. Tak kurang dari 43.263 orang juga mendapatkan pengetahuan tentang kebersihan dan kesehatan.
Bantuan lain yang difasilitasi CARE Indonesia adalah distribusi perangkat kebersihan (hygiene kit) dan barang nonpangan bagi 28.471 orang, serta bahan untuk memperbaiki shelter bagi 1.888 keluarga. Selain itu, 6.444 orang penyintas pun didukung dengan program transfer tunai sebagai pengganti kerja mereka dalam penanganan pascabencana.
Belajar dari pengalaman gempa itu, Fatni berpendapat semua perempuan haruslah tangguh. Namun, ketangguhan itu perlu dipelajari.
“Kami harus belajar menjadi tangguh. Kalau kami ingin jadi tangguh tapi tidak memiliki pengetahuannya, ya tidak ada artinya,” kata dia.
Marlina berpendapat serupa. Perempuan perlu tangguh karena ia harus siap menghadapi segala perubahan tak terduga, termasuk bencana alam.
Setelah fase tanggap darurat berlalu, CARE Indonesia tetap bekerja di Sulawesi Tengah untuk memulihkan perikehidupan para penyintas bencana, terutama perempuan. Pengalaman CARE Indonesia menunjukkan fase pemulihan pascabencana membuka peluang bagi perempuan untuk mengubah ketimpangan struktural yang sebelumnya mereka hadapi. Bukti dan kajian menyatakan saat perempuan mendapatkan pemasukan, maka keluarga dan masyarakat ikut merasakan manfaatnya karena perempuan mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk pangan, kesehatan, dan pendidikan.
CARE Indonesia juga akan mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah yang turut berkontribusi terhadap pengurangan risiko bencana serta adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Setidaknya 5.400 keluarga ditargetkan akan mendapatkan manfaat dari dukungan ini.
Pemulihan Sulawesi Tengah
Tujuan: memulihkan perikehidupan penyintas bencana gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah
Waktu: 2018-2020
Lokasi: Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, Kota Palu
Jumlah penerima manfaat per September 2019: 60.454 orang
Mitra kerja: PKPU, Bina Swadaya, Solidaritas Perempuan, Dompet Dhuafa, IBU Foundation, Yayasan Penabulu, Karsa Institute
Pendukung dana: Australia Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT), Global Affairs Canada (GAC), Luxembourg Ministry of Foreign Affairs, Samenwerkende Hulporganisaties (SHO), Dutch Relief Alliance (DRA), Disaster Emergency Committee (DEC), Aktion Deutschland Hilft (ADH), Humanitarian Coalition, GATES Foundation, Margaret A. Cargill Philanthropies, UNICEF