Search
Close this search box.

Agar Sekolah Tak Cuma Nyaman, Tapi Juga Aman

Cerita

Sekolah mitra kini punya Standar Operasional dan Prosedur untuk melindungi murid-muridnya dari kekerasan seksual.

Ini kenyataan yang menyedihkan: kekerasan seksual pada anak paling sering terjadi di lingkungan sekolah. Data pengaduan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan pada 2018 ada 177 kasus kekerasan seksual di sekolah. Lembaga yang sama dalam data Januari hingga April 2019 mencatat dari 35 pengaduan, 25 di antaranya terjadi di sekolah dasar (SD).

Pelaku kekerasan seksual pun biasanya adalah orang yang dikenal oleh anak, termasuk guru dan staf sekolah. Minimnya informasi dan pengetahuan bisa menghambat penanganan kasus-kasus tersebut karena orang tua, pendidik, maupun masyarakat tidak mengetahui caranya.

Melalui diskusi dan pelatihan yang dilaksanakan CARE Indonesia terhadap guru dan murid, banyak terungkap bahwa kekerasan belum jadi isu yang diperhatikan.

Anak-anak perempuan penyintas kekerasan seksual bahkan sering menjadi korban dua kali. Selain mengalami kekerasan, mereka juga seringkali dihakimi publik dan dikeluarkan dari sekolah karena dianggap mencemari nama baik sekolah.

Di sisi lain, perkembangan internet dan telepon seluler juga menambah risiko kekerasan seksual pada anak. Ada orang dewasa yang menjadi predator seksual anak-anak dan menjaring korbannya via internet. Sementara itu, gambar pelecehan anak makin sering dipertukarkan di dunia maya. Tak jarang anak-anak juga saling mengirim pesan dan gambar seksual melalui telepon seluler mereka, tanpa sadar membuat dirinya rentan terhadap risiko pelecehan lainnya.

Padahal, menurut Undang-undang tentang Perlindungan Anak, setiap anak berhak dilindungi dari kejahatan seksual. Artinya, sekolah sebagai ruang kegiatan anak sehari-hari seharusnya jadi tempat yang nyaman dan aman.

Maka, CARE Indonesia bersama sekolah mitranya mengembangkan Standar Operasional dan Prosedur (SOP) untuk melindungi siswa-siswinya dari kekerasan seksual. Dengan SOP ini, diharapkan para murid terlindung dari kekerasan seksual dan terpenuhi hak-haknya.

SOP ini memuat bagaimana sekolah dapat mencegah kekerasan seksual. Yakni, dengan cara mengidentifikasi kerentanan murid dan mengenali potensi ancaman di sekitar anak-anak. Selain itu, pendidik dan staf sekolah perlu peka dalam merespon kasus kekerasan seksual. Ini sangat penting agar sekolah bisa cepat mengambil tindakan penanganan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan anak didiknya.

Sekolah juga perlu menentukan langkah konkret saat anak didiknya menghadapi kekerasan seksual. Misal, siapa yang bakal mendampingi anak dalam proses pemulihan psikologis dan hukum, juga mekanisme yang perlu diterapkan jika ada pendidik yang terbukti melakukan kekerasan.

Inisiatif CARE Indonesia dan sekolah mitranya tersebut diapresiasi positif oleh para pemangku kepentingan. “Pengembangan SOP ini sangat bagus, karena memang selama ini tidak ada pendekatan khusus di sekolah untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di sekolah,” ujar Achi Soleman dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Makassar.

Sementara itu, menurut Asep Nugraha Jaya, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Serang, “Banyak kasus kekerasan dan pelecehan terhadap anak terjadi di Kabupaten Serang, bahkan di lingkungan sekolah. Mekanisme yang diatur dalam SOP ini memang kami butuhkan sekali, mengingat Kabupaten Serang adalah Kabupaten Ramah Anak. SOP ini jadi perangkat bagi sekolah dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak-anak.”

Kegiatan pembuatan SOP ini adalah bagian dari program Mempromosikan Dunia yang Berkelanjutan dan Tahan Pangan (Promoting a Sustainable and Food Secure World/PROSPER) yang dilaksanakan CARE Indonesia di Kabupaten Serang dan Kota Makassar pada tahun 2016-2019. Fokus program ialah peningkatan kesejahteraan anak melalui pengurangan kasus diare dan penyakit menular.

Dalam program ini, CARE Indonesia membangun fasilitas air bersih dan sanitasi serta membuat pelatihan dan acara tentang gizi di sekolah mitra. CARE juga mempromosikan perilaku hidup sehat dan bersih, seperti cara mencuci tangan yang baik dan pentingnya kebersihan organ reproduksi perempuan saat menstruasi.

Ada beberapa keunggulan program ini ketimbang kegiatan sejenis. Pertama, pemerintah daerah dilibatkan secara strategis sejak awal, sehingga prosesnya berjalan cukup lancar. Kedua, pembangunan piranti keras seperti konstruksi sarana sanitasi diiringi oleh pengembangan piranti lunaknya, yakni melalui serangkaian pelatihan untuk peningkatan pengetahuan terkait Pola Hidup Bersih Sehat (PHBS) dan gizi.

Selepas intervensi selama tiga tahun, cukup banyak perbaikan terjadi di sekolah-sekolah mitra. Siswa kini lebih mudah mengakses fasilitas sanitasi karena rasio siswa dan toilet sekolah fungsional menurun dari 125:1 ke 83:1. Siswa dan orang tuanya juga telah makin sadar soal praktik kebiasaan sehat. Siswa yang melaporkan mencuci tangan di sekolah meningkat 16%, sedangkan kesadaran orang tua terhadap waktu mencuci tangan yang paling kritis meningkat 40%.

Selain itu, persentase siswa yang tidak masuk sekolah karena diare telah menurun secara signifikan akibat meningkatnya fasilitas sanitasi dan praktik kebersihan. Persentase siswa yang melaporkan terkena diare dua minggu terakhir menurun dari 26% ke 14%, sedangkan persentase anak yang melaporkan absen sekolah karena diare turun pula dari 69% ke 50%.

Dalam hal peningkatan kapasitas pemerintah dan organisasi masyarakat sipil dalam program air bersih dan sanitasi di sekolah, tak kurang dari 102 pejabat pemerintah telah dilatih untuk memahaminya. 20 komite air bersih, sanitasi, dan gizi juga telah dibentuk.

Merespon dampak positif PROSPER, Kabupaten Serang mengalokasikan anggaran untuk replikasi program di 29 sekolah per tahun fiskal 2018 dan 2019, sehingga totalnya adalah 58 sekolah. Bersama Kabupaten Bone, Kabupaten Serang akan kembali jadi lokasi PROSPER pada fase kedua yang berlangsung pada 2019-2022.

Mempromosikan Dunia yang Berkelanjutan dan Tahan Pangan (Promoting a Sustainable and Food Secure World/PROSPER)

Tujuan: meningkatkan kesejahteraan anak melalui pengurangan kasus diare dan penyakit menular

Waktu: fase 1 September 2016-Agustus 2019, fase 2 September 2019-Agustus 2022

Lokasi: Kabupaten Serang, Kota Makassar, dan Kabupaten Bone

Jumlah penerima manfaat per Februari 2020: 14.221 orang (7.755 orang di antaranya perempuan)

Pendukung dana: Cargill

Ubi Ungu dan Suara Jernih untuk Maju

Cerita

Perempuan menjadi penggerak utama ketahanan pangan dan tak lagi ragu untuk aktif dalam sektor publik.

Mata Kause berbinar saat menunjukkan hasil panen ubi ungunya. “Tidak seperti umbi lainnya yang cuma tumbuh saat musim hujan, ubi ungu bisa tetap subur ketika musim kering,” ujar perempuan petani dari Desa Oekiu, Nusa Tenggara Timor (NTT), tersebut.

Perawatannya juga mudah berkat teknik irigasi tetes. Botol plastik bekas yang dibolongi di bagian bawah jadi kunci pengairan ubi ungu. Air mengalir perlahan ke tanah, dan botolnya cukup diisi sekali tiap tiga hingga empat hari. Ubi ungu mudah tumbuh di dataran tinggi maupun rendah, sehingga mampu menguatkan ketahanan pangan warga desa saat musim kemarau maupun sedang tak menentu. Kandungan gizinya pun tinggi.

Kause adalah anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) Moen Mese Desa Oekiu, salah satu lokasi program Mitra untuk Ketangguhan (Partners for Resilience/PfR) CARE Indonesia. Kegiatan pendampingan pertanian ubi ungu adalah bagian dari pendekatan pengelolaan risiko terpadu yang diusung PfR. Pendekatan ini dinilai tepat untuk menangani dampak krisis iklim, memperkuat manajemen dan restorasi ekosistem, serta mempromosikan investasi dan kebijakan tahan risiko dari sektor swasta, pemerintah, maupun organisasi multilateral.

NTT terpilih jadi lokasi program karena kondisinya yang sangat rentan terhadap krisis iklim. Iklim yang relatif kering membuat produktivitas tanah, ketersediaan air bersih, dan ketahanan pangan NTT rendah. Akibatnya, NTT jadi salah satu provinsi yang banyak penduduknya tergolong kurang gizi. Bahkan, lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun di NTT berat badannya di bawah standar sebayanya.

Perempuan di NTT menghadapi beragam tantangan, mulai dari masalah pangan, sanitasi, hingga terbatasnya layanan dan infrastruktur publik. Mereka juga biasanya kebagian tugas mengambil air dan bahan bakar untuk keluarga, yang memerlukan waktu dan tenaga signifikan untuk berjalan jauh. Karena waktu tersita untuk pekerjaan domestik, perempuan sangat jarang terlibat dalam kegiatan publik seperti pertemuan warga dan forum perencanaan pembangunan.

PfR berupaya mendorong perempuan petani untuk lebih berdaya, lebih bisa mengakses informasi, dan aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Terutama, dalam keputusan yang terkait ketahanan pangan dan gizi keluarga. 

“Ubi ungu ini bisa memenuhi kebutuhan makanan kami. Kelebihan panennya bisa dijual juga di pasar, jadi kami mendapat tambahan penghasilan,” kata Yunyulita Lakilaf, juga anggota KWT Moen Mese.

Kini, telah tumbuh sekitar 1.500 pohon ubi ungu di Desa Oekiu, yang pasokan airnya cenderung terbatas. Ubi ungu jadi unsur penting untuk memperkuat ketahanan pangan warga desa.

Selain teknik menanam ubi ungu yang tepat, pemberdayaan diri juga jadi materi yang disampaikan fasilitator PfR kepada perempuan peserta program. Perempuan didorong terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan setempat, termasuk dalam perencanaan pembangunan, penilaian risiko, dan manajemen informasi. Sebab, upaya mengakhiri kelaparan dan kemiskinan hanya bisa berdampak optimal jika melibatkan semua pihak, termasuk perempuan.

Berkat PfR, sekarang ada lebih banyak perempuan terlibat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang biasanya didominasi lelaki. Salah satunya adalah Regina, penduduk Desa Oelbiteno, Kabupaten Kupang. Dalam sesi tanya jawab Musrenbang Kabupaten Kupang, ia sigap berdiri dan mengacungkan tangan untuk bersuara.

“Saya ingin bertani, tapi desa kekurangan air saat musim tanam kedua. Saya harap pemerintah bisa membangun embung untuk menyediakan air. Selain itu, saya juga minta sekolah dasar dan jalan yang rusak di desa diperbaiki,” ucapnya.

Aspirasi Regina langsung ditanggapi oleh pemerintah, yang menyampaikan sejumlah rencana kerjanya. Embung akan dibangun dan sekolah dasar bakal diperbaiki. Dinas teknis terkait akan segera menyurvei jalan yang rusak, sedangkan pengerjaannya dilakukan bekerja sama dengan aparat desa.

Karena belum terbiasa berbicara di depan publik, perempuan tangguh yang mengikuti program PfR mengaku kadang masih canggung saat melakukannya. Ferderika Taimenas, Bendahara Kelompok Wanita Tani, misalnya. Tapi, kata Ferderika, yang penting keberanian itu sudah ada.

“Dulu kelompok ibu-ibu tidak berani berbicara begini. Biasanya kalau ada tamu, kami hanya sibuk-sibuk di dapur. Sekarang biar kaku-kaku juga sudah berani berbicara,” tuturnya sembari tersenyum.

Mitra untuk Ketangguhan (Partners for Resilience, PfR)

Tujuan: meningkatkan ketangguhan masyarakat rentan dan melindungi mata pencarian terhadap bahaya alam terkait perubahan iklim

Waktu: fase 1 2011-2015, fase 2 2016-2020

Lokasi: Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan

Jumlah penerima manfaat: 1.686 orang, 43% di antaranya perempuan

Mitra pelaksana: Circle of Imagine Society (CIS) Timor

Konsorsium: International Federation of Red Cross (IFRC)/ Palang Merah Indonesia (PMI), Red Cross-Climate Center (RCCC), Wetlands International Indonesia (Yayasan Lahan Basah), KARINA Indonesia

Pendukung dana: Kementerian Luar Negeri Belanda

Selamat Tinggal Minder, Selamat Datang Masa Depan

Cerita

Ribuan mojang Kabupaten Bandung jadi lebih bisa menghargai diri sendiri, serta bersemangat merancang masa depannya.

“Aku pendiam dan jarang bergaul. Tak banyak orang tahu kisah hidupku yang pilu,” ujar Alya Nurul Wijaya, siswi kelas VII SMP Pasundan 1, mengawali ceritanya.

Ia tidak bisa lupa kesedihannya empat tahun lalu, saat orang tuanya bercerai. Alya dan ibunya pindah ke rumah peninggalan kakek. Ibunya lantas menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT) untuk menghidupi keluarga dan membiayai pendidikan Alya.

“Sebenarnya aku bercita-cita jadi dokter,
tapi sering pesimis mengingat status keluargaku yang bukan
dari keluarga berada,” tuturnya.

Di sekolah, Alya cenderung minder, menarik diri, dan jarang bergaul. Ia menganggap banyak murid di sekolahnya tak suka padanya. Kecuali, satu orang yang kemudian menjadi sahabatnya, yakni Aida. Ia sering membantu Alya di saat-saat sulit. Aida juga yang mendorong Alya terus mengikuti program Pengembangan Diri dan Karir (Personal Advancement and Career Enhancement/PACE) yang diadakan di sekolah mereka.

PACE dirancang untuk menyiapkan anak perempuan tangguh di masa depan. Caranya, dengan meningkatkan kapasitas diri remaja perempuan berumur 12 sampai 18 tahun di Kabupaten Bandung. Lebih dari 3.000 orang, terdiri dari murid dan guru, ikut serta dalam PACE. Materi yang dibahas terentang dari pengenalan diri, pengelolaan emosi, pemahaman gender dan pubertas, perencanaan menggapai cita-cita, kepemimpinan, pemecahan masalah, hingga kelayakan kerja.

Menurut Alya, materi tentang cita-cita dan pengelolaan keuangan adalah yang paling menarik. Ia kemudian mendapat ide menjual makanan ringan di sekolah, yang cukup sukses sehingga keuntungannya bisa ditabung. “Aku berharap bisa terus konsisten berjuang meraih cita-citaku, agar kelak bisa membahagiakan ibu,” katanya.

Di sekolah lain, SMP PGRI, ada Fitriani, 14 tahun. Manfaat yang terasa dari materi PACE adalah ia jadi lebih menghargai diri sendiri. Fitriani tadinya sering malu akibat tubuhnya tergolong bongsor ketimbang sebayanya.

“Fasilitator PACE yang juga guru saya menjelaskan pada hakikatnya semua manusia dilahirkan sama. Tuhan memberikan kita tubuh yang sempurna. Kita sebagai manusia wajib memelihara dan merawatnya. Mulai saat itu saya bisa lebih menghargai dan mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan,” paparnya.

Fitriani juga lebih paham soal kesehatan reproduksi. Dulu ia hanya mengganti pembalut dua kali sehari saat menstruasi. PACE membuatnya mengerti bahwa alat reproduksi perempuan rentan penyakit, sehingga harus dijaga dan dirawat kebersihannya. Kini, saat menstruasi ia mengganti pembalut sebanyak hingga empat kali tiap harinya.

Sementara itu, di SMP Pemuda ada Anggia Nurlaila yang duduk di kelas VIII. Materi PACE yang paling membekas untuk Anggia adalah pengenalan soal tubuh. Terutama, tentang bagian tubuh mana yang tak boleh disentuh oleh siapapun.

“Sebelum ikut PACE, saya selalu bertanya-tanya pada diri sendiri. Bagian tubuh mana sih yang harus kita jaga? Soalnya saya pernah melihat teman perempuan diperlakukan tidak baik oleh laki-laki, yang mencolek dagu dan menyentuh payudaranya. Ternyata itu termasuk pelecehan dan tidak boleh dilakukan,” ucap Anggia.

Pelajaran yang ia petik dari topik bahasan itu adalah remaja perempuan harus tahu mana yang baik dan buruk dalam bergaul. Remaja harus menjaga diri sendiri, terutama ketika bergaul dengan teman-temannya.

Materi soal tubuh ternyata jadi salah satu yang memancing diskusi paling seru di sekolah, termasuk di SMPN 1 Banjaran. Diah Yuliah, fasilitator PACE, mengatakan banyak siswi awalnya menganggap citra tubuh cantik yang ideal adalah perempuan berkulit putih, berhidung mancung, dan bertubuh langsing seperti penyanyi girl band Korea.

Salah satu siswi yang diampu Diah tadinya paling enggan aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler karena takut kulitnya hitam dan tidak cantik. Padahal, sebetulnya si murid sangat berminat ikut ekstrakurikuler itu.

“Saat diskusi tentang tubuh yang sempurna, dia berani mengungkapkannya. Ini jadi bahan diskusi dan berlanjut sampai konseling individual. Siswi ini kemudian mengubah pikirannya soal kecantikan dan kesempurnaan. Dia jadi aktif lagi dalam kegiatan ekstrakurikuler, tanpa khawatir akan jadi kurang cantik,” tuturnya.

Bicara soal cita-cita, makin banyak peserta yang percaya diri bisa meraihnya. Salah satunya adalah Rizky Puri Ayuningtyas, murid SMP 1 Pasundan.

“Perempuan juga punya hak untuk bermimpi tinggi. Setelah mendapat penerangan tentang berbagai keistimewaan perempuan, entah mengapa aku menjadi percaya diri dan semakin bertekad kuat untuk meraih mimpiku. Akan kubuktikan aku bisa meraih impian itu,” kata Rizky bersemangat.

Pengembangan Diri dan Karir (Personal Advancement and Career Enhancement/PACE)

Tujuan: menyiapkan perempuan tangguh untuk masa depan melalui peningkatan kapasitas diri (soft skills) kepada remaja perempuan berusia 12- 18 tahun

Waktu: 2018-2019

Lokasi: Kabupaten Bandung

Jumlah penerima manfaat per Januari 2020: 3.269 orang

Mitra pelaksana:

Pendukung dana: Abercrombie

Harapan Baru untuk Perempuan Sukaluyu

Cerita

Perempuan Desa Sukaluyu dibekali beragam keterampilan untuk meningkatkan kualitas hidup dan masa depannya.

Sejak subuh hingga malam, hidup Susi Suhaeni, 29 tahun, disesaki dengan urusan rumah tangga dan pekerjaannya sebagai pemetik teh. Warga Kabupaten Bandung itu adalah satu dari sekitar 900 perempuan pemetik teh di Desa Sukaluyu yang menghabiskan rata-rata 15 jam sehari untuk bekerja di kebun teh dan mengurus keluarganya. Mereka cuma bisa beristirahat maksimal 6 jam, sedangkan waktu untuk diri sendiri tak lebih dari 3 jam setiap harinya.

Penghasilan dari memetik teh sebetulnya tak banyak, namun sangat penting untuk menopang perekonomian keluarga. Itu pun masih kurang, sehingga banyak keluarga gali lubang tutup lubang dengan terus-terusan berhutang pada rentenir.

“Sebagai buruh harian lepas, saya mendapat sekitar Rp400.000 sebulan, tergantung banyaknya daun teh yang bisa dipetik. Suami saya pengepul barang rongsokan yang penghasilannya rata-rata Rp700.000. Padahal pengeluaran sebulan bisa lebih dari Rp1 juta, belum cicilan hutang,” tutur Susi.

Ia lahir dan tumbuh dalam keluarga yang tergantung pada perkebunan teh. Kakeknya dulu jadi penjaga keamanan kebun, sedangkan ibu Susi adalah pemetik teh yang statusnya buruh tetap. Suaminya pun sempat jadi pemetik teh, tapi beralih jadi pengepul rongsokan karena saat kemarau hasil petikannya sedikit sekali. Menikah di usia dini, 13 tahun, Susi melahirkan anak pertamanya pada usia 14 tahun. Anaknya kini menjadi murid Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Penatnya hidup Susi perlahan berubah selepas ia mengikuti program pemberdayaan perempuan bertajuk Her Economic Empowerment, Our Pride Forever (HOPE) yang diadakan CARE. Program ini bermaksud berkontribusi mengatasi tiga tantangan besar bagi perempuan pekerja perkebunan teh di Sukaluyu. Pertama, rendahnya pendidikan yang membuat mereka kurang berdaya dalam pengambilan keputusan dan terkadang menjadi korban pelecehan seksual. Kedua, kurangnya literasi keuangan yang menyebabkan mereka sulit mengakses sumber daya di tingkat keluarga, masyarakat, maupun alternatif dari lembaga jasa keuangan. Ketiga, mereka pun kurang memiliki pengetahuan tentang air bersih dan sanitasi, sehingga mendatangkan dampak negatif bagi diri sendiri, terutama kesehatan reproduksi dan keluarganya.

Untuk mengatasinya, sejumlah intervensi diterapkan dalam program yang didanai oleh Starbucks Foundation itu. Peserta mendapatkan pelatihan tentang beragam topik, antara lain cara berkomunikasi, pembagian peran dan tugas dalam keluarga, mengelola stres dan waktu, memecahkan masalah, mengatur keuangan rumah tangga, merencanakan tabungan pribadi, serta menjadi aktif dalam perencanaan sanitasi air dan kebersihan maupun penerapannya. Saat kemampuannya telah terbangun, mereka diharapkan dapat terlibat aktif dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran dana desa, sehingga ikut merasakan manfaatnya.

Susi mengaku senang bisa ikut dalam rangkaian kegiatan HOPE. “Kayak sekolah lagi. Saya senang bisa menambah pengetahuan dan belajar bareng sama ibu-ibu yang lain,” tuturnya.

Ia mencoba mempraktikkan ilmu yang didapatnya di rumah. Misal, berupaya mengelola stresnya dengan lebih banyak mendengarkan musik. Susi pun membuat prioritas kegiatan sehingga waktu terbagi lebih efektif antara bekerja di kebun teh, merampungkan urusan rumah tangga, dan mengikuti kelas HOPE.

Untuk Yani Nurhaeni, 33 tahun, materi HOPE sangat bermanfaat bagi hidupnya. Mantan pemetik teh yang kini jadi ibu rumah tangga itu biasanya jadi satu-satunya orang yang melakukan berbagai pekerjaan domestik. Setelah kemampuan berkomunikasinya meningkat, ia jadi lebih bisa menyampaikan keinginannya kepada suami maupun kedua anaknya. Beban rumah tangga kini dibagi lebih merata kepada anggota keluarganya, sehingga Yani bisa bersosialisasi dengan teman-temannya dan mengikuti pelatihan HOPE.

“HOPE memberikan pengetahuan baru,
kekuatan baru yang bisa mengubah hidup kami.

Saya mencoba membagikan apa yang saya dapat dari
HOPE kepada teman-teman juga,” ucapnya.

Program ini juga berfungsi membentuk kelompok yang jadi sistem pendukung dan ruang aman bagi para pesertanya. Saat belajar bersama perempuan lainnya, mereka bisa bebas menceritakan apa saja di kelompoknya. Mulai dari kekerasan yang sering mereka dapatkan dari suami, belum cukupnya pendapatan dari memetik teh untuk menutupi pengeluaran keluarga, nasib anak-anak putus sekolah, sampai kekhawatiran diusir dari rumah perkebunan jika mereka tidak lagi bekerja di sana.

Dari pengalaman CARE Indonesia menjalankan program yang bermitra dengan sektor swasta, pendekatan pemberdayaan holistik lazimnya mendatangkan manfaat bagi semua pemangku kepentingan, baik masyarakat maupun perusahaan. Program HOPE yang berlangsung selama dua tahun hingga November 2020 diharapkan memberikan dampak positif seperti itu juga. Agar semakin banyak yang mendapat manfaat, CARE Indonesia berharap program serupa dapat diterapkan juga di perkebunan teh lainnya di Sukaluyu.

Pemberdayaan Perempuan Perkebunan Teh (Her Economic Empowerment, Our Pride Forever/HOPE)

Tujuan: membantu perempuan dan anak perempuan yang tinggal di sekitar perkebunan teh mendapatkan kualitas hidup yang baik melalui penguatan kapasitas diri, pemberdayaan ekonomi, serta peningkatan kualitas sanitasi air dan kebersihan

Waktu: November 2018-November 2020

Lokasi: Desa Sukaluyu, Kabupaten Bandung

Target jumlah penerima manfaat: 8.909 orang

Pendukung dana: Starbucks Foundation

Sadar Data Jadi Senjata Serikat Pekerja

Cerita

Sekolah Buruh membuat para pekerja sadar, pencatatan dan pengolahan data yang baik adalah bekal kuat dalam negosiasi perburuhan.

Ismarlina, pekerja di sebuah pabrik garmen, masih ingat betul soal kurangnya pengumpulan dan penggunaan data oleh serikat pekerjanya di masa lampau.

“Biasanya kami hanya menerima keluhan dari anggota serikat, lalu menggunakannya untuk negosiasi Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Kami tidak pernah mengumpulkan data dari luar serikat pekerja,” ujar Sekretaris Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) di pabrik tersebut.

Keadaan berubah setelah Ismarlina beserta kawan-kawannya di SPSI pabrik mengikuti Sekolah Buruh untuk perempuan. Sekolah ini adalah bagian dari program Bersama Menuju Keadilan (BUKA) yang dilaksanakan CARE Indonesia.

Mereka belajar tentang hal yang perlu disiapkan untuk negosiasi dengan perusahaan seperti mencari, mengumpulkan, memilih, dan menganalisis data yang dibutuhkan. Mereka juga mempelajari cara menggunakan komputer dan melakukan presentasi, serta pentingnya perspektif gender di dalam setiap isi perjanjian.

“Setelah ikut Sekolah Buruh, saya sadar data sangatlah penting karena bisa memperkuat permintaan kami dalam negosiasi. Saat kami punya data kuat, manajemen pabrik menyadari dan memahami isu yang dibahas sesuai dengan fakta di lapangan, hal nyata dan dialami pekerja,” tutur Ismarlina.

Sejumlah perubahan telah dicapai SPSI berkat data tersebut. Misalnya, keluhan tentang lembur tanpa bayaran dan hardikan dari penyelia pekerja didukung dengan data komplit mengenai waktu kejadian, nama orang-orang yang terlibat, serta tanggal keluhan disampaikan. Selain itu, kritik tentang kotornya bak air dalam toilet perempuan pekerja dilengkapi foto-foto. Manajemen pabrik merespon dengan positif dan memperbaiki sistemnya agar perubahan yang bermanfaat dirasakan oleh para pekerja.

Data juga membantu SPSI melakukan advokasi yang lebih tepat. Sesuai aturan ketenagakerjaan, perempuan pekerja berhak mendapat dua hari cuti haid. Namun, perusahaan mengganti cuti itu dengan tunjangan tambahan. SPSI merasa kebijakan perusahaan tak sesuai regulasi pemerintah, lalu mengumpulkan data soal cuti haid tersebut dengan bertanya kepada para pekerja. Ternyata, mayoritas memilih mendapat tunjangan ketimbang mengambil cuti haid.

Pengalaman serupa didapat Nur Rohmah, buruh dan anggota serikat pekerja di sebuah pabrik garmen lainnya di Sukabumi.

“Dalam negosiasi PKB sebelumnya, isunya adalah kontrak kerja, namun kami tidak tahu arah negosiasi yang ingin dicapai. Apakah kami ingin mendorong para pekerja mendapatkan posisi tetap, atau sebagai pekerja kontrak saja? Kami tidak punya data dari sekitar 1.300 pekerja, berapa banyak yang ingin jadi pekerja tetap atau kontrak,” ujar perempuan yang akrab disapa Iyoh itu.

Serikat pekerja ini lantas mengumpulkan data dari anggotanya. Ternyata, lebih dari 90% di antaranya tak tahu tentang status mereka, apakah pekerja tetap atau kontrak. Ada yang menandatangani satu kontrak untuk tiga tahun, ada juga yang mendapat dua kontrak terpisah sepanjang periode yang sama. Kebanyakan buruh kontrak pun diberhentikan setelah bekerja tiga tahun, kemudian dipekerjakan kembali dengan kontrak baru. Padahal, Undang-undang Ketenagakerjaan menyatakan buruh yang telah bekerja selama tiga tahun di perusahaan otomatis menjadi pekerja tetap.

Data itu menjadi bekal mereka untuk mendesak manajemen pabrik mengubah status pekerja kontrak yang telah memenuhi syarat menjadi pekerja tetap. “Kami telah bertemu manajemen dua kali, dan sekarang masih berproses,” kata Iyoh.

Pencatatan data juga sangat penting dalam menyelesaikan kasus pelecehan, eksploitasi, dan kekerasan seksual di pabrik.

Iyoh ingat pada 2018 ada penyintas pelecehan seksual melaporkan pengalamannya. Serikat pekerja bertemu dengan Departemen Sumber Daya Manusia (SDM), pelaku kekerasan, serta penyintasnya. Pelakunya lalu minta maaf dan berusaha memberi kompensasi, namun ditolak. Penyintasnya nyaris mengundurkan diri, namun berhasil dibujuk untuk mengurungkan niat.

“Masalah lalu dianggap selesai. Harusnya kejadian itu didokumentasikan dengan baik,” ucap Iyoh yang berkomitmen mencatat rapi proses penyelesaian kasus lain di masa mendatang.

Sekolah Buruh juga memberi manfaat lain bagi Iyoh.

“Setelah teman-teman tahu saya ikut Sekolah Buruh,
mereka lebih menghargai saya. Mereka lebih percaya bahwa serikat pekerja
bisa dipercaya untuk menyelesaikan masalah,” tuturnya.

Secara signifikan, peserta Sekolah Buruh merasa kepercayaan dirinya meningkat selepas menyelesaikan materi. Jika awalnya mayoritas merasa malu berbicara di depan publik, situasinya kini berubah. CARE Indonesia mengamati, lebih dari 50% peserta berani berbicara di depan banyak orang untuk mendukung hak buruh, termasuk saat ikut kegiatan peringatan Hari Buruh Sedunia. Rekan-rekan mereka yang lelaki kemudian meminta pula agar laki-laki pekerja bisa mengikuti Sekolah Buruh.

Sementara itu, sensitivitas gender para siswa Sekolah Buruh meningkat. Mereka sekarang bisa mengenali dan menganalisis ketidakadilan gender yang terjadi dalam keluarga, komunitas, serikat, dan pabrik. Sebelum Sekolah Buruh, hanya 30% peserta yakin peran lelaki perempuan dalam keluarga harus seimbang. Persentasenya kini meningkat jadi 60%.

Salah satu pembelajaran penting dalam proses ini ialah pelatihan sensitivitas gender telah tepat diberikan kepada perempuan dan laki-laki dengan pendekatan yang tak menggurui.

Ini menyadarkan para lelaki bahwa mereka punya andil menciptakan keadilan gender dalam lingkungannya. Dengan belajar bersama kawan-kawannya yang perempuan, mereka bisa saling berbagi dan lebih mengerti.

Meski proses belum berakhir, BUKA telah berhasil meningkatkan kapasitas, nalar kritis, dan perspektif gender para pekerja perempuan. Mereka pun dibekali kemampuan kepemimpinan yang memadai, sehingga bisa menjadi pengurus serikat pekerja, bahkan bergabung dalam tim negosiasi PKB yang berhadapan dengan perusahaan. Dengan begitu, isu perempuan diperhatikan dan diperjuangkan oleh serikat pekerja, sehingga manfaatnya dirasakan oleh para perempuan pekerja.

Bersama Menuju Keadilan (BUKA)

Tujuan: mendorong serikat pekerja agar mumpuni mengembangkan dan merundingkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang lebih adil berdasarkan data dan sensitif pada permasalah pekerja perempuan

Waktu: Juli 2018-Juni 2020

Lokasi: Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat

Jumlah penerima manfaat per Februari 2020: 43.548 perempuan pekerja (72%), 16.999 lelaki pekerja (28%)

Mitra Kerja: Trade Union Rights Centre (TURC)

Pendukung dana: Laudes Foundation

Kata Pengantar: Perempuan Tangguh untuk Indonesia Teguh

Cerita

Perempuan di Indonesia menghadapi beragam tantangan, mulai dari kerentanan terhadap bencana alam dan krisis iklim hingga belum memadainya literasi ekonomi. Perempuan juga mengalami kemiskinan serta keterbatasan akses pada layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan, sehingga partisipasi aktifnya dalam hal sosial, ekonomi, politik, dan ekologi menjadi terhambat.

Tinggal di Indonesia berarti harus bersiap menghadapi bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, dan longsor. Sementara itu, ada pula ancaman kekeringan dan banjir yang dipicu krisis iklim global. Perempuan biasanya termasuk golongan yang paling rentan dalam situasi tersebut, sehingga perlu punya kemampuan mengantisipasi dan beradaptasi saat harus menghadapinya.

Dari sisi pertumbuhan ekonomi, penerima manfaatnya belum setara di negeri ini. Agar perempuan bisa ikut merasakan ekonomi yang membaik, mereka pun butuh kemampuan memadai dalam mengelola penghidupannya secara mandiri.

Padahal, Indonesia membutuhkan peran perempuan untuk meneguhkan pembangunan. Pemerintah pun menyadari perempuan punya posisi penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi negara. Sehingga, paralel dengan pembuatan kebijakan yang lebih mendukung peran publik perempuan, kemampuan dan partisipasi perempuan dalam pembangunan harus ditingkatkan.

Hal ini sejalan dengan pendekatan CARE yang mempromosikan kesetaraan gender yang berkeadilan dan suara perempuan dalam semua programnya yang harus disertai perubahan transformatif untuk mencapai tujuan tersebut.

Melalui program-program yang berfokus pada keadilan sosial dan pengentasan kemiskinan, CARE Indonesia berusaha berkontribusi dalam upaya membangun kemampuan para perempuan Indonesia.

CARE Indonesia berupaya membangun agensi masyarakat dari semua lapisan — baik itu laki-laki, perempuan, maupun anak perempuan dan anak laki-laki; mengubah relasi di antara mereka, serta mentransformasi struktur agar mereka bisa mencapai potensi penuhnya dalam kehidupan. Dengan begitu, secara berkeadilan, mereka dapat berkontribusi dan mendapat manfaat dari pembangunan.

Dalam proses pelaksanaan program, banyak perempuan mengambil peran penting dan siap mendukung perempuan lain untuk juga menjadi lebih tangguh. Saat menyebut perempuan tangguh, karakter khas yang mereka miliki terentang dari tingginya kepercayaan diri, pengetahuan tentang kekuatan dirinya, hingga kemampuan mengelola prioritas dan pengambilan keputusan. Mereka mampu bersuara dan membuat pilihannya sendiri. Perempuan tangguh juga bisa mengakses sumber daya dan informasi serta membagikannya kepada orang lain. Mereka paham soal risiko, kerentanan, dan cara memitigasinya. Mereka pun mampu belajar dari pengalaman hidupnya.

Sekelumit cerita para perempuan tangguh yang CARE Indonesia temui dirangkum dalam rangkaian tulisan ini. Mulai dari pabrik garmen hingga ladang ubi ungu, Jawa Barat sampai Nusa Tenggara Timur, terbersit perubahan positif dalam hidup mereka. CARE Indonesia berharap kisah mereka menginspirasi beragam pihak untuk gotong royong membangun kemampuan lebih banyak lagi perempuan tangguh.

Kami percaya dengan makin banyaknya perempuan tangguh, Indonesia akan menjadi lebih kuat, lebih teguh.

Selamat membaca.

Tentang CARE Indonesia

Cerita

CARE telah berkiprah di Indonesia sejak tahun 1967, dimulai dengan kegiatan distribusi pangan dan pemberian makanan tambahan. Kegiatan CARE meluas hingga mencakup air bersih dan sanitasi, pemberdayaan masyarakat, lingkungan hidup, perubahan iklim, bantuan tanggap bencana, hingga pemberdayaan perempuan dan pemuda.

Seiring dengan waktu, pada tahun 2018 CARE International di Indonesia berubah menjadi Yayasan CARE Peduli, atau lebih dikenal dengan CARE Indonesia. Program CARE Indonesia difokuskan pada dua bidang, yaitu Manajemen Risiko Bencana serta Keadilan Gender & Inklusi Sosial

Race to Rise: Berlari untuk Akses Sanitasi dan Air Bersih untuk Perempuan Sulawesi Barat

Berita

Pada tanggal 13-14 Maret 2021, sebanyak 767 perlari berhasil menyelesaikan tantangan #RacetoRISE untuk mewujudkan fasilitas sanitasi dan air bersih yang layak di 3 Desa di Mamuju dan Majene, Sulawesi Barat, yang telah terdampak oleh gempa bumi pada bulan Januari 2021 lalu. Gempa bumi yang terjadi di Mamuju dan Majene, Sulawesi Barat telah membuat puluhan ribu orang terpaksa harus mengungsi. Ribuan rumah, fasilitas infrastruktur, dan bangunan lainnya banyak yang mengalami kerusakan.Para pelari bersama-sama mendedikasikan langkahnya sejauh 8KM dan 8 Miles untuk meringankan beban perempuan, lansia, dan difabel di wilayah terdampak bencana. Hasil penggalangan dana akan digunakan untuk membangun fasilitas berupa 52 unit toilet, 26 unit fasilitas mencuci pakaian, dan perbaikan dan instalasi waterline pendukung fasilitas tersebut, di Desa Kayu Angin dan Desa Mekatta Selatan, Majene, dan Desa Takkandeang, Mamuju.

Acara ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia.

RESPONSE GEMPA MAMUJU DAN MAJENE

Berita

Rangkaian gempa yang melanda Mamuju dan Majene pada tanggal 14 hingga 16 Januari, 2021 telah berdampak pada 203.920 orang. Arfandy dari tim Sulawesi Tengah telah melakukan penilaian kebutuhan, dan telah mendistribusikan hygiene kit, ember air, perlengkapan bayi & balita, serta shelter kit kepada 2.353 orang di Mamuju dan Majene bersama Japri Wallacea, jejaring LSM yang berkomitmen untuk bekerja sama dalam aktivitas kesiapsiagaan dan tanggap bencana, berbagi informasi dan pengalaman.

PERSIAPAN PEMBANGUNAN TOILET SEKOLAH PROGRAM PROSPER II KABUPATEN SERANG DAN BONE

Berita

Tim PROSPER II saat ini tengah mempersiapkan pelaksanaan pembangunan toilet dengan melakukan beberapa rangkaian kegiatan. Mulai dari assessment teknis ke 10 sekolah mitra program, penyiapan desain detail, Pelatihan Pemahaman Dasar Konstruksi dan Pelatihan Detail Konstruksi kepada Komite Sanitasi dan Nutrisi yang sudah dibentuk sebelumnya di masing-masing sekolah mitra. Dalam pelaksanaan pembangunan toilet sekolah ini akan melibatkan pihak sekolah melalui Komite Sanitasi dan Nutrisi Sekolah yang anggotanya adalah guru dan kepala sekolah serta Dinas Pendidikan Kabupaten masing-masing selaku, mitra utama program PROSPER II di kedua wilayah. Bersama dengan Tim PROSPER II Kabupaten Serang dan Bone mereka terlibat dari awal mulai dari survey teknis, perencanaan dan pengawasan. Untuk meningkatkan kapasitas dan pengetahuan anggota Komite Sanitasi dan Nutrisi Sekolah, program PROSPER II memberikan Pelatihan Pemahaman Dasar Konstruksi (7&8 Desember 2020) dan Pelatihan Detail Konstruksi (23&24 Februari 2021). Dengan adanya pelatihan ini diharapkan Komite Sanitasi dan Nutrisi Sekolah bersama dengan Tim PROSPER II dapat melaksanakan perencanaan dan pengawasan dengan benar dan tepat.