Search
Close this search box.
Journalist Fellowship

Beasiswa Jurnalis: Serukan Penguatan Ketangguhan Kelompok Perempuan dan Anak Muda di Kabupaten Sigi

Galeri

Sebanyak 12 jurnalis yang berasal dari Provinsi Sulawesi Tengah dari berbagai media massa lokal dan kontributor media nasional mengikuti program journalist fellowship yang diselenggarakan oleh UN Women yang berkolaborasi dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), didukung CARE Indonesia dan KARSA Institute pada 19-21 Februari 2025. Program ini menjadi salah satu kegiatan yang diadakan untuk memperkuat pemahaman jurnalis tentang isu-isu gender, pencegahan kekerasan berbasis gender, serta dampak perubahan iklim. Harapannya, upaya kelompok perempuan dan anak muda agar lebih berdaya secara ekonomi, peningkatan pemahaman mereka terkait kesetaraan gender serta upaya mereka menciptakan perdamaian di desa mereka, dengan dampingan CARE Indonesia bersama KARSA Institute, dapat diamplifikasi melalui cerita dari para jurnalis.

The Active Role of Women's Groups

Peran Aktif Kelompok Perempuan dalam Pengelolaan Sampah Organik Rumah Tangga Dorong Pendapatan Tambahan

Cerita

Dilansir melalui Kompas.id, kelompok perempuan menjadi salah satu pihak yang paling terdampak atas perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Meski begitu, perempuan jarang mendapatkan tempat dalam forum pengambilan keputusan, termasuk dalam upaya penyelamatan lingkungan. Pengelolaan sampah organik rumah tangga di Indonesia menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan dengan seksama dalam perlindungan lingkungan. Menurut data yang dikeluarkan oleh Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), pada tahun 2023, jumlah timbunan sampah di Indonesia berjumlah sekitar 40 juta ton per tahun.
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Depok, pada tahun 2023 setiap hari terdapat 900 hingga 1.000 ton sampah dibuang di TPA Cipayung, Depok. Kemudian, merujuk pada data dari SIPNS, Kabupaten Musi Banyuasin menghasilkan sekitar 103.000 ton sampah pada tahun 2024 dengan sampah yang terkelola berjumlah sekitar 43 ribu ton.
Agus Tri Wahyono, Program Manager Yayasan CARE Peduli (YCP) memandang, perempuan dapat memiliki peran penting dalam keterlibatan pengelolaan sampah organik rumah tangga. Menurutnya, pemberdayaan pada kelompok perempuan seperti yang sudah dilakukan YCP di Kota Depok dan Kabupaten Musi Banyuasin berdampak baik. “Dengan memberikan pendampingan dan pelatihan mengelola sampah organik rumah tangga dengan budi daya manggot dari lalat Black Soldier Fly (BSF), kelompok perempuan di Musi Banyuasin dan Depok jadi lebih berdaya. Terlebih lagi, keterlibatan perempuan dalam pengelolaan sampah organik rumah tangga bisa memberikan tambahan pemasukan bagi keluarga,” ujar Agus.
Lebih lanjut Agus menjelaskan, pelatihan pengelolaan sampah organik rumah tangga yang dilakukan di Kota Depok menekankan pada penguatan pelibatan kelompok mayoritas perempuan di tingkat RT dan RW. “Pelatihan pengelolaan sampah organik pada rumah tangga dengan maggot dilaksanakan dalam 10 kali. Tiap pelatihan mempunyai dua sesi yang tiap sesinya diberikan pelatihan terkait literasi keuangan keluarga yang melibatkan perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga, pengenalan gender secara umum serta penjelasan budidaya maggot dan manfaatnya,” katanya.
Agus menambahkan, partisipasi aktif kelompok ditekankan pada pengelolaan sampah organik rumah tangga serta peningkatan kapasitas terkait literasi keuangan rumah tangga yang responsif gender, dilihat dari adanya potensi ekonomi yang bisa dihasilkan dari budidaya maggot). “Sejak Desember 2024 sampai Januari 2025, peserta dampingan YCP telah mengelola sebanyak 29.772 kg sampah organik rumah tangga. Dengan rata-rata peserta berhasil mengolah satu sampai dua kilogram sampah untuk dijadikan pakan maggot. Melalui budidaya tersebut, total uang yang berhasil dikumpulkan oleh seluruh peserta sebanyak Rp6.025.000 yang berasal dari hasil penjualan maggot,” ujarnya.
Arniah Purwanti, salah satu peserta pelatihan asal Kecamatan Tapos, Kota Depok mengatakan tertarik untuk mengikuti pelatihan pengelolaan maggot karena bisa mendatangkan keuntungan secara ekonomi. Sebelumnya ia menemui kesulitan untuk menjual maggot yang dikembangkannya. Menurutnya, dengan adanya program pengelolaan sampah organik yang dilaksanakan oleh YCP, ia dapat mengetahui tempat untuk menjual maggot yang dipeliharanya. “Saya lihat di media sosial kalau maggot bisa dijual. Tapi ternyata pemasarannya itu susah banget. Nah kalau sekarang kan sudah tahu tempat untuk jual maggotnya. Jadi ya lebih mudah,” ujar Arin.
Nursinaini, anggota Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP) Perempuan Mandiri yang ada di Desa Sido Mulyo, Musi Banyuasin mengatakan kelompoknya terlibat aktif dalam pengelolaan sampah organik rumah tangga menggunakan maggot. “Kami melakukan pengelolaan sampah organik rumah tangga yang berasal dari enam keluarga. Sampah yang dikelola terdiri dari sisa makanan, buah, dan sayuran,” jelasnya.
Menurut Nursinaini, KUEP Perempuan Mandiri juga aktif memberikan edukasi kepada masyarakat yang tinggal di sekitarnya. “Masyarakat sekitar juga diajarkan untuk membiasakan diri memilah sampah sampah organik dan anorganik. Sampah rumah tangga yang dikumpulkan diolah untuk pengembangan budi daya maggot BSF. Sebagian maggot juga digunakan sebagai pakan ternak ayam KUB yang dikelola anggota KUEP,” pungkasnya.

Penulis: Kukuh A. Tohari
Editor: Swiny Adestika

Violence Against Women

Benarkah Filisida Terjadi Karena Adanya Kekerasan Terhadap Perempuan?

Cerita

Dilansir dari Kompas.id yang terbit pada 18 Januari 2025, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Diyah Puspitarini menyebutkan, Indonesia sedang mengalami darurat filisida. Sepanjang tahun itu, KPAI mencatat telah terjadi 60 kasus pembunuhan anak oleh orang tuanya. Menurutnya, filisida yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial, dan kurangnya pemahaman orang tua dalam mengasuh. Merujuk pada data SIMFONI-PPA milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) per Januari 2025, kasus kekerasan yang pelakunya orang tua menempati urutan ketiga, yakni sebanyak 299 kasus.

Laporan ilmiah berjudul Filicide: A Literature Review yang diterbitkan The University of Manchester menyatakan filisida mengacu pada pembunuhan anak hingga usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang tua biologis, wali, dan orang tua tiri.

Novita Anggraeni, Gender and Social Inclusion Specialist Yayasan CARE Peduli (YCP) menyebutkan, filisida merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang terjadi pada anak. Pasalnya dalam relasi keluarga, anak menjadi kelompok paling rentan. “Dalam setiap keluarga yang mengalami permasalahan seperti ekonomi maupun konflik lainnya, anak sering menjadi pelampiasan kemarahan ketika tidak bisa membalas kepada pasangan, dengan alasan relasi kuasa atau alat untuk menunjukkan kontrol,” katanya Senin (10/2).  

Lebih lanjut, Novita menyebutkan kekerasan terhadap anak menjadi salah satu turunan dari kekerasan berbasis gender yang terjadi pada perempuan di dalam keluarga dan norma yang bias gender pada masyarakat.

“Dalam kasus altruistic filicide atau pembunuhan terhadap anak dengan motif mencegah penderitaan buah hati banyak dilakukan oleh perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Rasa tidak berdaya karena relasi kuasa yang timpang dalam keluarga dan putus asa karena merasa tidak memiliki pilihan lain sering kali mendorong perempuan, khususnya perempuan korban kekerasan menjadi pelaku,” lanjutnya.

Ia juga menjelaskan, rasa superioritas laki-laki turut menjadi alasan terjadinya filisida. Toxic masculinity mendorong laki-laki memaknai kepemimpinan keluarga sebagai kepemilikan. Sehingga juga menjadi penyebab laki laki melakukan berbagai kekerasan untuk melakukan kontrol pada keluarganya.

Pada penelitian berjudul Analisis Faktor-faktor dan Upaya Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga oleh Suami Terhadap Istri Maupun Terhadap Anak (2024) menyebutkan, keterbukaan dan komunikasi menjadi salah satu upaya terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. “Kesataraan gender dalam keluarga perlu untuk didorong, karena penghormatan yang setara kepada perempuan dan anak-anak akan membuat budaya kekerasan di dalam rumah perlahan-lahan akan berubah. Kemudian, pada keluarga yang setara akan terbangun pola komunikasi yang sehat dan saling menguatkan, sehingga meminimalisir rasa frustasi dan emosi negatif yang berujung pada kekerasan sampai berujung pada filisida,” jelas Novita.  

Lebih lanjut ia menyampaikan, kasus filisida dapat dicegah jika kesadaran masyarakat tumbuh secara kolektif untuk mampu melihat tanda-tanda tindak kekerasan pada perempuan ataupun anak-anak. “Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah urusan pribadi, semua pihak bertanggung jawab untuk mencegah ketika sudah terlihat tanda-tandanya. Karena pada beberapa kasus, filisida adalah puncak dari serangkaian kekerasan yang diterima oleh anak. Termasuk ketika melihat kekerasan baik kekerasan fisik, verbal, dan ekonomi yang menimpa perempuan,” imbuhnya.

Menurutnya, jika seseorang menjadi korban kekerasan dalam kurun waktu yang lama dan merasa tidak mendapatkan dukungan dari siapapun, maka akan putus asa tidak bisa melindungi anaknya dan berujung pada filisida. “Kematangan mental dan kemampuan memahami kebutuhan diri dan emosi diri akan membuat orang menakar resiko dan menghindari terjadinya filisida. Anak yang tumbuh pada keluarga dengan kekerasan memiliki kecenderungan untuk meniru atau permisif terhadap perilaku tersebut. Ketika dewasa dia bisa berpotensi menjadi pelaku atau memaklumi berbagai ekspresi kekerasan dan melihat kekerasan sebagai salah satu solusi,” pungkas Novita.

Penulis: Kukuh A. Tohari
Editor: Swiny Adestika

 
Youth in KSB

Anak Muda KSB Diajak Cegah Pernikahan Anak dan Stunting

Cerita

Pada tahun 2023, UNICEF menyebutkan Indonesia menempati urutan keempat di dunia dengan jumlah anak perempuan yang dinikahkan di bawah umur 18 tahun, yakni 25,53 juta jiwa. Jumlah ini sekaligus menempatkan Indonesia pada urutan pertama sebagai negara yang memiliki kasus perkawinan anak terbersar di Asia Tenggara. Studi yang dilakukan WHO Indonesia menyatakan salah satu penyebab masalah stunting di Indonesia adalah maraknya pernikahan dini.

Menurut kabar yang disampaikan oleh rri.co.id, angka perkawinan anak di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) masih terbilang tinggi. Sehingga, keterlibatan anak muda dalam aktivitas sosialisasi mengenai kesehatan alat reproduksi dan bahaya perkawinan anak menjadi cara untuk membangun kesadaran dan pola pikir bagi masyarakat, khususnya anak

Muhammad Ikraman, Project Manager CARE Indonesia mengatakan, melibatkan anak muda melalui Forum Anak pada kampanye mencegah perkawinan anak menjadi hal yang sangat penting. “Pelibatan remaja dalam pencegahan perkawinan anak diharapkan mampu menyampaikan informasi dengan baik kepada teman sebayanya sesuai dengan bahasa gaul anak muda. Sehingga akan memicu semangat anak lain untuk mencontoh yang baik. Bulan Desember tahun lalu dilaksanakan kelas remaja di SMPN 1 Jeraweh dan SMPN 1 Sekongkang dengan total peserta mencapai 100 siswa,” katanya pada Rabu (15/1).

Ikraman menjelaskan, forum anak dibentuk karena tingginya stunting di desa dan ada beberapa anak yang hamil mengalami kekurangan energi kronis (KEK) dan mendapatkan pemberian makanan tambahan (PMT) di KSB. “Dibentuklah forum anak sebagai wadah mereka beraktifitas dan berkreasi positif untuk pencegahan stunting. Kemudian, dari Forum Anak ini dipilih anak-anak yang menjadi fasilitator anak untuk menyampaikan edukasi dan kampanye tentang kesehatan reproduksi dan bahaya pernikahan anak pada teman sebayanya,” jelasnya.

“Sampai saat ini sudah ada lima desa yang memiliki Forum Anak, yakni Desa Maluk, Pasir Putih, Mantun, Benete, dan Bukit Damai. Rencananya forum tersebut juga akan dibentuk di berbagai desa lain di Kecamatan Maluk. Untuk saat ini Forum Anak memiliki total anggota sebanyak 104 anak, dengan rincian 63 perempuan dan 41 laki-laki,” imbuh Ikraman.

Beliau mengatakan, perkawinan anak yang terjadi di KSB disebabkan karena kurangnya pemahaman remaja tentang kesehatan reproduksi dan dampak akibat perkawinan anak usia dini. “Selain itu faktor ekonomi juga mendorong masyarakat untuk mengawinkan anaknya lebih cepat. Terdapat juga anak yang menikah karena ingin keluar dari keluarganya karena tidak nyaman berada dalam keluarga,” imbuhnya.

Meiry Nasution, Health & Nutrition Specialist CARE Indonesia mejelaskan, kasus stunting yang terjadi akibat perkawinan anak bisa terjadi. “Jika anak hamil, maka alat reproduksinya belum siap untuk dibuahi dan berkembang. Sehingga akan terjadi komplikasi kehamilan, seperti pendarahan karena pinggul belum berkembang, pre-eklamsia, anemia, keguguran, lahir premature, dan berat badan lahir rendah (BBLR). Anak yang lahir BBLR, perlu perawatan dan perhatian khusus, biasanya anak remaja yang sudah memilki anak belum mengerti cara untuk perawatan bayi. Hal ini merupakan awal mula terjadinya stunting karena tidak mendapatkan asupan gizi yang baik,” jelasnya.

Lebih lanjut, beliau juga menuturkan, dampak perkawinan anak sangat buruk untuk masa depan anak-anak. “Dengan perkawinan anak, sebagian besar mereka tidak bisa meneruskan sekolahnya, tidak bisa meneruskan cita-citanya, dan harus mencari kerja untuk kebutuhan rumah tangganya. Faktor psikologi juga bisa terjadi pada anak seperti tertekan, malu, kecemasan, dan sebagainya karena punya anak di usia sekolah,” imbuh Meiry.

Meiry menjelaskan, untuk memperkuat upaya pencegahan pernikahan anak, saat ini sudah ada dua desa di Kecamatan Maluk yang mengeluarkan peraturan desa (Perdes) tentang perlindungan anak. “Saat ini Desa Pasir Putih dan Maluk telah memiliki Perdes Perlindungan Anak. Perdes ini terbit karena tingginya perkawinan anak di Maluk dan terdapat anak yang rentan, seperti bekerja di usia anak, anak yang hamil, dan tingginya kasus stunting. Keberadaan perdes itu memiliki dampak seperti perkawinan anak bisa dibatalkan, tidak ada pekerja anak yang bekerja di kafe-kafe pinggir pantai, tidak ada lagi perkawinan anak di kedua desa itu, dan orang tua membatalkan perkawinan anak,” jelasnya.

Upaya pencegahan pernikahan anak yang ada di Kabupaten Sumbawa Barat merupakan upaya multi pihak yang terdiri dari Yayasan CARE Peduli, PT Amman Mineral, dan Pemerintah Kabupaten KSB.

Rina Kartika, Bidan Pendamping Program Peduli Kesehatan Remaja mengapresiasi keterlibatan anak muda dalam upaya pencegahan pernikahan anak. Menurutnya para peserta Kelas Remaja antusias mengikuti materi dan diskusi tentang informasi dan pengetahuan yang tidak didapatkan di ruang kelas. “Kegiatan kelas remaja tentang edukasi kesehatan reproduksi untuk pencegahan pernikahan usia dini sangat bermanfaat untuk remaja. Mereka bisa mendapatkan ilmu di luar jam sekolah dan membuka berbagai wawasan baru untuk anak-anak. Saya harap ini bisa bisa berlanjut dan kita bisa berkolaborasi lagi kedepannya,” pungkas Rina.

Penulis: Kukuh A. Tohari
Editor: Swiny Adestika

Pelatihan Pencegahan dan Pengendalian KARHUTLA

Masyarakat Musi Banyuasin Ikuti Pelatihan Pencegahan dan Pengendalian KARHUTLA

Galeri

23 peserta perwakilan dari Desa Cipta Praja, Dawas, Sukadamai, Sri Gunung, Bumi Kencana, dan Panca Tunggal, di Kabupaten Musi Banyuasin mengikuti pelatihan Masyarakat Peduli Api (MPA), diselenggarakan CARE Indonesia bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Musi Banyuasin (20-23/01).

Pencegahan dan penanggulangan kebencanaan khususnya kebakaran serta penyusunan rencana evakuasi didapatkan peserta melalui sesi diskusi dan praktik. Setelah pelatihan, seluruh desa akan dibentuk menjadi Desa Tangguh Bencana oleh BPBD.

COVER VSLA

Village Savings & Loan Association Annual Report 2024

Publikasi
kebun gizi

Penuhi Gizi dan Nutrisi Keluarga, KUMP Bariri dan Tim DASHAT Panen Sayur di Kebun Gizi

Galeri

Kelompok Usaha Mikro Perempuan (KUMP) Bariri dan tim Dapur Sehat Atasi Stunting (DASHAT) Desa Talonang Baru, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) berhasil memanen sayuran berupa lima kilogram kacang panjang dan dua kilogram gambas yang ditanam di kebun gizi (9/1). Selain dua jenis sayuran itu, kebun gizi ini juga menanam sawi, kangkong, terung, cabai, labu, ubi jalar, jahe, kunyit, dan tomat. Dengan adanya kebun gizi yang dikelola oleh KUMP Bariri dan tim DASHAT memudahkan anggota kedua kelompok tersebut untuk mendapatkan sayur yang segar di sekitar mereka. Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) merupakan kolaborasi antara Amman Mineral, CARE Indonesia, dan Pemerintah KSB yang bertujuan untuk percepatan penurunan stunting.

Hasil panen ini dijual untuk menambah pendapatan anggota kelompok dan sebagian ada yang diolah menjadi menu PMT. Kemudian, keuntungan hasil penjualan juga dikelola untuk biaya perawatan kebun seperti membeli pupuk, pestisida, dan alat berkebun.

tsunami

20 Tahun Pascabencana Tsunami di Aceh, Bantuan Program Beudoh CARE Indonesia Masih Tegap Berdiri

Cerita

Sekitar pukul 07:58 WIB, gempa sekuat 9,1 skala richter mengguncang Samudra Hindia yang berada di bagian barat Pulau Sumatra yang diikuti gelombang tsunami yang menewaskan ratusan ribu jiwa. Provinsi Nangro Aceh Darusallam menjadi daerah yang paling banyak menelan korban jiwa, diperkirakan sebanyak 170.000 orang meninggal dunia. Tak ayal, peristiwa ini meninggalkan luka mendalam bagi korban yang berhasil selamat.

Meski telah kehilangan banyak hal, namun masyarakat Aceh tidak pernah kehalangan semangat untuk kembali bangkit. Yayasan CARE Peduli (CARE Indonesia) yang pada waktu itu bernama CARE International Indonesia turut membantu para korban tsunami dengan program Beudoh yang dalam bahasa lokal berarti “bangkit”. Di sana, CARE Indonesia bersama masyarakat setempat bahu membahu untuk memperbaiki kondisi yang ada, salah satunya untuk program rekonstruksi rumah tinggal yang hingga hari ini masih tegap berdiri dan ditinggali warga.

Bertugas di Tanah yang Luluh Lantak

Marthen Malo, menjadi salah seorang staf CARE Indonesia yang terlibat dalam penanganan bencana tsunami Aceh pada tahun 2004. “Setelah bencana tsunami melanda Aceh, sekitar bulan Februari 2005 saya ditugaskan ke Pulau Simeuleu yang ada di barat Sumatra. Pulau ini lokasinya sangat jauh dengan Kota Banda Aceh, tapi salah satu yang terdampak,” katanya.

Ia mengatakan, program Beudoh yang dilakukan CARE Indonesia di Aceh berfokus pada pemenuhan nutrisi, rekonstruksi, keperluan air bersih, sanitasi, dan juga kesehatan. “Gelombang tsunami turut menghancurkan berbagai bangunan, sehingga korban yang berhasil selamat membutuhkan suplai berbagai hal untuk menunjang kesehatannya. Sehingga CARE Indonesia di awal kedatangannya berfokus untuk menyalurkan persediaan air bersih, fasilitas sanitasi, dan nutrisi untuk menunjang kesehatan masyarakat pada waktu itu,” katanya.

“Awalnya saya ditugasnya di Pulau Simeuleu untuk melakukan implementasi program pasca bencana. Tapi berselang beberapa bulan kemudian saya ditugaskan ke Aceh Besar untuk melaksanakan program rekonstruksi yakni membangun rumah bagi sekitar 1,500 kepala keluarga (KK) yang kehilangan rumah akibat gelombang tsunami. Program pembangunan rumah untuk korban tsunami tersebar di lima lokasi yang ada di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar,” jelas Marthen.

“Program bantuan untuk korban bencana yang dilakukan oleh CARE Indonesia pada waktu itu mendapatkan dukungan dari CARE International Member seperti CARE Australia, CARE United Kingdom, CARE Amerika Serikat, CARE Canada, CARE Belanda, CARE Jerman. Ada juga pihak swasta yang turut membantu, seperti The Boeing Company,” jelas Marthen.

Usaha untuk Bangkit

Marthen bercerita, ia menyaksikan masyarakat yang terdampak tsunami hidup dengan keterbatasan. Banyak yang kehilangan anggota keluarga dan tidak sedikit yang kehilangan tempat tinggalnya. “Yang membuat saya kagum kepada orang-orang Aceh adalah semangat mereka untuk kembali bangkit. Saya ingat, orang Aceh itu pekerja keras. Kami bersama-sama berupaya memulihkan keadaan. Bergotong royong dan saling membantu, semuanya kooperatif. Orang Aceh kuat dan mau berjuang,” tegasnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Wiwik Widyastuti, staf CARE Indonesia yang bertugas di Aceh pada tahun 2005. Ia pun terkesima dengan semangat yang dimiliki oleh masyarakat Aceh. “Saya melihat ketangguhan masyarakat Aceh kembali bangkit setelah kehilangan banyak hal. Masyarakat di sana saling membantu untuk tegar dan melanjutkan hidup,” imbuh Wiwik.

Wiwik mengatakan, program konstruksi rumah tinggal yang dilakukan CARE Indonesia salah satunya berada di Kecamatan Kota Jantho, Aceh Besar. “Lokasi itu dipilih karena minim risiko bencana seperti gempa bumi dan tsunami, serta masih banyak lahan yang kosong untuk dipakai sebagai pemukiman. Lokasi tersebut merupakan milik pemerintah, sehingga memudahkan untuk melakukan kerja sama dan perizinan kepada lembaga-lembaga terkait,” jelasnya.

Ia menjelaskan, prosedur pemberian bantuan rumah tersebut memiliki tantangan tersendiri akibat hilangnya dokumen-dokumen penting warga saat gelombang menerjang. “Pada waktu itu kami bekerja sama dengan berbagai lembaga negara dan organisasi kemanusiaan lain yang bertugas di Aceh untuk melakukan verifikasi data agar bantuan jatuh ke tangan yang tepat. Banyak korban tsunami yang tidak lagi memiliki dokumen-dokumen penting karena telah tersapu ombak. Sehingga kami berkoordinasi dan bertanya dengan tetangga atau kerabat calon penerima bantuan,” jelasnya.

Berhasil Bangkit

Tsunami terjadi 20 tahun yang lalu. Menurut Wiwik kini masyarakat Aceh sudah berhasil bangkit dan menjadi lebih baik lagi. “Sekarang pembangunan fisik dan kualitas masyarakatnya menjadi semakin baik. Perempuan di Aceh saat ini juga sudah bisa mendapatkan kesempatan yang lebih baik. Sehingga mereka bisa mengakses pendidikan dan memiliki karir yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya,” katanya.

Marthen mengingat 20 tahun yang lalu, penerima bantuan rumah yang didominasi oleh masyarakat pesisir harus berjuang di tempat yang baru dan jauh dari lautan. “Perumahan diberikan kepada orang yang sudah berkomitmen untuk menjadi penerima manfaat dan mau bertani. Jadi ini menjadi tantangan tersendiri bagi mereka untuk beradaptasi di tempat yang baru,” jelasnya.

Dilansir dari laman acehprov.go.id, saat ini lokasi yang terdapat pemukiman yang bernama Perumahan Care di Kecamatan Kota Jantho, Aceh Besar yang dulunya merupakan salah satu lokasi relokasi korban tsunami dari CARE Indonesia. Saat ini Perumahan Care dihuni oleh 189 KK yang yang 70 persen masyarakatnya berprofesi sebagai petani dan sisanya menjadi PNS, TNI, Polisi, dan profesi lainnya. “Jika ada kesempatan, saya ingin menginjakkan kaki lagi di Aceh. Saya ingin melihat masyarakat yang telah bangkit,” pungkas Marthen.

 

Penulis: Kukuh A. Tohari

Editor: Swiny Adestika

Foto: Renee Picasso Manoppo/May 2005

ycp

Pentingnya Keterlibatan Publik untuk Lawan Kekerasan Terhadap Perempuan

Berita

Kampanye menyuarakan anti kekerasan terhadap perempuan dilakukan CARE Indonesia di ruang publik. Bersama jejaring PERISAI (Pejuang Resiliensi Solidaritas Anti Kekerasan), publik dilibatkan untuk ikut menyuarakan penolakan kekerasan terhadap perempuan baik secara daring dan luring, yang merupakan bagian dari kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) sekaligus memperingati Hari Pergerakan Perempuan pada 22 Desember.

Dr. Abdul Wahib Situmorang, CEO CARE Indonesia mengatakan, dalam mewujudkan ruang aman yang bebas kekerasan terhadap perempuan dibutuhkan usaha dan kesadaran kolektif. “Untuk mendorong dan melindungi kelompok perempuan dari berbagai macam bentuk kekerasan dan pelecehan seksual tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi dilakukan oleh berbagai pihak,” katanya saat mengikuti agenda jalan santai Minggu, (22/12) di Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) Jalan Sudirman-Thamrin Jakarta.

Lebih lanjut, Abdul menjelaskan kolaborasi antar kelompok, organisasi, dan lembaga juga menjadi upaya untuk memperkuat perjuangan dalam menyampaikan aspirasi. “Kami turut melibatkan para aktivis perempuan dari Purwakarta dan Sukabumi untuk bergerak bersama untuk berjuang dan menyuarakan aspirasi. Salah satunya melalui jalan santai suarakan anti kekerasan terhadap perempuan dan sebelumnya juga dilakukan webinar dengan tema #SayaBerani Suarakan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,” imbuhnya.

Kampanye dengan jalan santai di area HBKB Jakarta berlangsung dengan lancar dan tertib. Yel-yel dan pembacaan puisi yang disuarakan dengan lantang oleh 40 anggota PERISAI menarik perhatian orang yang sedang beraktivitas di lokasi. Aksi teatrikal yang dimainkan di trotoar oleh anggota PERISAI tak luput menarik perhatian ratusan pasang mata yang melintas. Ada lebih dari 100 orang yang ikut menuliskan dukungannya untuk melawan kekerasan terhadap perempuan di pohon harapan.

Misrawati, anggota Jekata Purwakarta yang turut dalam kegiatan jalan santai dan menjadi salah satu narasumber dalam webinar menegaskan, perempuan harus bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Meski begitu, menurutnya perempuan masih rawan untuk mendapatkan ancaman kekerasan. “Banyak tempat yang masih berpotensi terjadi kekerasan terhadap perempuan, termasuk dalam rumah tangga. Maka dari itu, sosialisasi kepada masyarakat sangat penting dilakukan guna menghentikan tindak kekerasan terhadap perempuan,” tegasnya.

Misrawati juga menyampaikan jika kekerasan terhadap perempuan bisa hilang jika masyarakat semakin sadar tentang bahayanya tindakan tersebut. “Adanya kesadaran semua pihak, baik laki-laki atau perempuan di dalam keluarga atau ruang komunitas untuk menolak tindakan kekerasan terhadap perempuan,” tutur Misrawati.

Mimi menjadi salah satu orang yang memberikan dukungan pada saat kampanye turut mendorong korban kekerasan untuk berani terbuka secara perlahan atas kejadian yang menimpanya. “Siapapun yang mengalami atau mengetahuinya, kita sebagai perempuan harus melawan dan melaporkan ke pihak yang berwajib agar mendapatkan hukuman yang sepadan,” katanya.

Pada kesempatan lain, Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan menyampaikan jika kekerasan berbasis gender terhadap perempuan didominasi oleh kekerasan psikis, kemudian diikuti oleh kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan yang paling sedikit adalah kekerasan ekonomi. Menurutnya, kecilnya data jumlah kekerasan ekonomi yang ada karena masyarakat belum mengetahui bentuk-bentuk kekerasan dalam kategori tersebut. “Kekerasan ekonomi di bawah sepuluh persen, menurut saya karena masih banyak dari masyarakat kita yang belum mengenali apa saja bentuk kekerasan ekonomi,” jelasnya saat mengisi webinar peringatan 16 HAKTP dengan tema #SayaBerani Suarakan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (19/12).

Kepada lebih dari 60 peserta webinar, Siti mengajak tidak hanya masyarakat tapi juga lembaga untuk memperkuat edukasi dan kampanye menyuarakan kasus kekerasan ekonomi agar semakin diketahui oleh publik yang lebih luas. “Kekerasan ekonomi terhadap perempuan penting juga menjadi fokus perhatian. Sepanjang pengetahuan saya, isu kekerasan ekonomi belum banyak lembaga yang memberikan perhatian yang cukup intensif,” imbuhnya.

Pada sesi webinar yang sama, Herawati, anggota Kelompok Pendamping Korban Kekerasan Berbasis Gender di Kabupaten Musi Banyuasin menyampaikan, kampanye terbuka untuk menolak kekerasan terhadap perempuan kepada masyarakat menjadi penting untuk mengantisipasi jatuhnya korban. “Agar tindak kekerasan terhadap perempuan berkurang, saya dan rekan-rekan di tim penanganan kasus mengadakan kampanye ke publik di sekitar wilayah kami, agar semakin banyak orang yang sadar dan tergerak untuk mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan,” tuturnya.

Senada dengan Herawati, pada kesempatan yang sama, Istiqomah yang merupakan anggota Kelompok Pendamping Korban Kekerasan Berbasis Gender di Kabupaten Sumbawa Barat menegaskan, perempuan yang menjadi korban kekerasan harus berani untuk berbicara dan melaporkan. Tentunya, hal ini bisa terjadi jika korban mendapatkan dukungan dan pendampingan dan masyarakat sekitarnya. “Kami melakukan pendampingan agar perempuan berani menyampaikan kekerasan yang didapatkan dalam rumah tangga. Harapannya, korban dan orang yang mengetahui kasus kekerasan yang menimpa perempuan berani melaporkan dan bersuara agar dapat ditangani secara tepat dan tidak terjadi lagi kedepannya,” pungkas Istiqomah.

 

Penulis: Kukuh. A. Tohari.

Editor: Swiny Adestika

Campaign

Kampanye Suarakan Tolak Kekerasan Terhadap Perempuan

Galeri

Memperingati Hari Pergerakan Perempuan Indonesia yang jatuh pada 22 Desember, Komunitas Pejuang Resiliensi Solidaritas Anti Kekerasan (Perisai) bersama Jaringan Pemberdayaan untuk Perempuan Tangguh (Jekata) Sukabumi dan Purwakarta didampingi CARE Indonesia melakukan jalan santai di Car Free Day Sudirman-Thamrin, Jakarta yang diikuti 40 peserta.

Asprasi juga disampaikan dengan pembacaan puisi, teatrikal, dan yel-yel yang bertema anti kekerasan terhadap perempuan. Lebih dari 100 aspirasi dan dukungan dari masyarakat ditulis di pohon harapan. Pada kesempatan ini, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi pun turut menyampaikan dukungannya.