Kampanye menyuarakan anti kekerasan terhadap perempuan dilakukan CARE Indonesia di ruang publik. Bersama jejaring PERISAI (Pejuang Resiliensi Solidaritas Anti Kekerasan), publik dilibatkan untuk ikut menyuarakan penolakan kekerasan terhadap perempuan baik secara daring dan luring, yang merupakan bagian dari kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) sekaligus memperingati Hari Pergerakan Perempuan pada 22 Desember.
Dr. Abdul Wahib Situmorang, CEO CARE Indonesia mengatakan, dalam mewujudkan ruang aman yang bebas kekerasan terhadap perempuan dibutuhkan usaha dan kesadaran kolektif. “Untuk mendorong dan melindungi kelompok perempuan dari berbagai macam bentuk kekerasan dan pelecehan seksual tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi dilakukan oleh berbagai pihak,” katanya saat mengikuti agenda jalan santai Minggu, (22/12) di Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) Jalan Sudirman-Thamrin Jakarta.
Lebih lanjut, Abdul menjelaskan kolaborasi antar kelompok, organisasi, dan lembaga juga menjadi upaya untuk memperkuat perjuangan dalam menyampaikan aspirasi. “Kami turut melibatkan para aktivis perempuan dari Purwakarta dan Sukabumi untuk bergerak bersama untuk berjuang dan menyuarakan aspirasi. Salah satunya melalui jalan santai suarakan anti kekerasan terhadap perempuan dan sebelumnya juga dilakukan webinar dengan tema #SayaBerani Suarakan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,” imbuhnya.
Kampanye dengan jalan santai di area HBKB Jakarta berlangsung dengan lancar dan tertib. Yel-yel dan pembacaan puisi yang disuarakan dengan lantang oleh 40 anggota PERISAI menarik perhatian orang yang sedang beraktivitas di lokasi. Aksi teatrikal yang dimainkan di trotoar oleh anggota PERISAI tak luput menarik perhatian ratusan pasang mata yang melintas. Ada lebih dari 100 orang yang ikut menuliskan dukungannya untuk melawan kekerasan terhadap perempuan di pohon harapan.
Misrawati, anggota Jekata Purwakarta yang turut dalam kegiatan jalan santai dan menjadi salah satu narasumber dalam webinar menegaskan, perempuan harus bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Meski begitu, menurutnya perempuan masih rawan untuk mendapatkan ancaman kekerasan. “Banyak tempat yang masih berpotensi terjadi kekerasan terhadap perempuan, termasuk dalam rumah tangga. Maka dari itu, sosialisasi kepada masyarakat sangat penting dilakukan guna menghentikan tindak kekerasan terhadap perempuan,” tegasnya.
Misrawati juga menyampaikan jika kekerasan terhadap perempuan bisa hilang jika masyarakat semakin sadar tentang bahayanya tindakan tersebut. “Adanya kesadaran semua pihak, baik laki-laki atau perempuan di dalam keluarga atau ruang komunitas untuk menolak tindakan kekerasan terhadap perempuan,” tutur Misrawati.
Mimi menjadi salah satu orang yang memberikan dukungan pada saat kampanye turut mendorong korban kekerasan untuk berani terbuka secara perlahan atas kejadian yang menimpanya. “Siapapun yang mengalami atau mengetahuinya, kita sebagai perempuan harus melawan dan melaporkan ke pihak yang berwajib agar mendapatkan hukuman yang sepadan,” katanya.
Pada kesempatan lain, Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan menyampaikan jika kekerasan berbasis gender terhadap perempuan didominasi oleh kekerasan psikis, kemudian diikuti oleh kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan yang paling sedikit adalah kekerasan ekonomi. Menurutnya, kecilnya data jumlah kekerasan ekonomi yang ada karena masyarakat belum mengetahui bentuk-bentuk kekerasan dalam kategori tersebut. “Kekerasan ekonomi di bawah sepuluh persen, menurut saya karena masih banyak dari masyarakat kita yang belum mengenali apa saja bentuk kekerasan ekonomi,” jelasnya saat mengisi webinar peringatan 16 HAKTP dengan tema #SayaBerani Suarakan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (19/12).
Kepada lebih dari 60 peserta webinar, Siti mengajak tidak hanya masyarakat tapi juga lembaga untuk memperkuat edukasi dan kampanye menyuarakan kasus kekerasan ekonomi agar semakin diketahui oleh publik yang lebih luas. “Kekerasan ekonomi terhadap perempuan penting juga menjadi fokus perhatian. Sepanjang pengetahuan saya, isu kekerasan ekonomi belum banyak lembaga yang memberikan perhatian yang cukup intensif,” imbuhnya.
Pada sesi webinar yang sama, Herawati, anggota Kelompok Pendamping Korban Kekerasan Berbasis Gender di Kabupaten Musi Banyuasin menyampaikan, kampanye terbuka untuk menolak kekerasan terhadap perempuan kepada masyarakat menjadi penting untuk mengantisipasi jatuhnya korban. “Agar tindak kekerasan terhadap perempuan berkurang, saya dan rekan-rekan di tim penanganan kasus mengadakan kampanye ke publik di sekitar wilayah kami, agar semakin banyak orang yang sadar dan tergerak untuk mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan,” tuturnya.
Senada dengan Herawati, pada kesempatan yang sama, Istiqomah yang merupakan anggota Kelompok Pendamping Korban Kekerasan Berbasis Gender di Kabupaten Sumbawa Barat menegaskan, perempuan yang menjadi korban kekerasan harus berani untuk berbicara dan melaporkan. Tentunya, hal ini bisa terjadi jika korban mendapatkan dukungan dan pendampingan dan masyarakat sekitarnya. “Kami melakukan pendampingan agar perempuan berani menyampaikan kekerasan yang didapatkan dalam rumah tangga. Harapannya, korban dan orang yang mengetahui kasus kekerasan yang menimpa perempuan berani melaporkan dan bersuara agar dapat ditangani secara tepat dan tidak terjadi lagi kedepannya,” pungkas Istiqomah.
Penulis: Kukuh. A. Tohari.
Editor: Swiny Adestika