Search
Close this search box.
Violence Against Women

Benarkah Filisida Terjadi Karena Adanya Kekerasan Terhadap Perempuan?

Share it with others

Dilansir dari Kompas.id yang terbit pada 18 Januari 2025, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Diyah Puspitarini menyebutkan, Indonesia sedang mengalami darurat filisida. Sepanjang tahun itu, KPAI mencatat telah terjadi 60 kasus pembunuhan anak oleh orang tuanya. Menurutnya, filisida yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial, dan kurangnya pemahaman orang tua dalam mengasuh. Merujuk pada data SIMFONI-PPA milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) per Januari 2025, kasus kekerasan yang pelakunya orang tua menempati urutan ketiga, yakni sebanyak 299 kasus.

Laporan ilmiah berjudul Filicide: A Literature Review yang diterbitkan The University of Manchester menyatakan filisida mengacu pada pembunuhan anak hingga usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang tua biologis, wali, dan orang tua tiri.

Novita Anggraeni, Gender and Social Inclusion Specialist Yayasan CARE Peduli (YCP) menyebutkan, filisida merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang terjadi pada anak. Pasalnya dalam relasi keluarga, anak menjadi kelompok paling rentan. “Dalam setiap keluarga yang mengalami permasalahan seperti ekonomi maupun konflik lainnya, anak sering menjadi pelampiasan kemarahan ketika tidak bisa membalas kepada pasangan, dengan alasan relasi kuasa atau alat untuk menunjukkan kontrol,” katanya Senin (10/2).  

Lebih lanjut, Novita menyebutkan kekerasan terhadap anak menjadi salah satu turunan dari kekerasan berbasis gender yang terjadi pada perempuan di dalam keluarga dan norma yang bias gender pada masyarakat.

“Dalam kasus altruistic filicide atau pembunuhan terhadap anak dengan motif mencegah penderitaan buah hati banyak dilakukan oleh perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Rasa tidak berdaya karena relasi kuasa yang timpang dalam keluarga dan putus asa karena merasa tidak memiliki pilihan lain sering kali mendorong perempuan, khususnya perempuan korban kekerasan menjadi pelaku,” lanjutnya.

Ia juga menjelaskan, rasa superioritas laki-laki turut menjadi alasan terjadinya filisida. Toxic masculinity mendorong laki-laki memaknai kepemimpinan keluarga sebagai kepemilikan. Sehingga juga menjadi penyebab laki laki melakukan berbagai kekerasan untuk melakukan kontrol pada keluarganya.

Pada penelitian berjudul Analisis Faktor-faktor dan Upaya Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga oleh Suami Terhadap Istri Maupun Terhadap Anak (2024) menyebutkan, keterbukaan dan komunikasi menjadi salah satu upaya terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. “Kesataraan gender dalam keluarga perlu untuk didorong, karena penghormatan yang setara kepada perempuan dan anak-anak akan membuat budaya kekerasan di dalam rumah perlahan-lahan akan berubah. Kemudian, pada keluarga yang setara akan terbangun pola komunikasi yang sehat dan saling menguatkan, sehingga meminimalisir rasa frustasi dan emosi negatif yang berujung pada kekerasan sampai berujung pada filisida,” jelas Novita.  

Lebih lanjut ia menyampaikan, kasus filisida dapat dicegah jika kesadaran masyarakat tumbuh secara kolektif untuk mampu melihat tanda-tanda tindak kekerasan pada perempuan ataupun anak-anak. “Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah urusan pribadi, semua pihak bertanggung jawab untuk mencegah ketika sudah terlihat tanda-tandanya. Karena pada beberapa kasus, filisida adalah puncak dari serangkaian kekerasan yang diterima oleh anak. Termasuk ketika melihat kekerasan baik kekerasan fisik, verbal, dan ekonomi yang menimpa perempuan,” imbuhnya.

Menurutnya, jika seseorang menjadi korban kekerasan dalam kurun waktu yang lama dan merasa tidak mendapatkan dukungan dari siapapun, maka akan putus asa tidak bisa melindungi anaknya dan berujung pada filisida. “Kematangan mental dan kemampuan memahami kebutuhan diri dan emosi diri akan membuat orang menakar resiko dan menghindari terjadinya filisida. Anak yang tumbuh pada keluarga dengan kekerasan memiliki kecenderungan untuk meniru atau permisif terhadap perilaku tersebut. Ketika dewasa dia bisa berpotensi menjadi pelaku atau memaklumi berbagai ekspresi kekerasan dan melihat kekerasan sebagai salah satu solusi,” pungkas Novita.

Penulis: Kukuh A. Tohari
Editor: Swiny Adestika

 

Cerita Terkait Lainnya