Dilansir dari Republika.id, 77 persen perkebunan teh di Indonesia berada di Provinsi Jawa Barat. Kecamatan Pangalengan di Kabupaten Bandung menjadi salah satu area penghasil teh, sejak abad ke-19, saat pemerintahan kolonial Belanda mendirikan perkebunan dan pabrik teh. Hingga saat ini, Pangalengan menjadi salah satu daerah penghasil teh berkualitas tinggi di Indonesia. Meski begitu, dampak positif dari komoditas tersebut belum dirasakan secara merata. Menurut data Badan Pusat Statistika (BPS), pada tahun 2023 terdapat 245,50 ribu penduduk Kabupaten Bandung yang masuk ke dalam kategori miskin.
Irwan Herdiawan, Asisten SDM dan Umum Perkebunan Malabar PTPN 1 Regional 2 mengatakan, kurangnya komunikasi yang intens antara masyarakat, pemerintah desa, dan perusahaan menjadi salah satu penyebab terhambatnya peningkatan sumber daya manusia dan infrastruktur di desa yang masuk dalam area perkebunan teh. “Saya berharap masyarakat dan pekerja perkebunan teh benar-benar terlibat dalam Forum Pengembangan Masyarakat agar tercapai kesetaraan gender. Biasanya para pekerja tidak ragu dan lebih cair saat menyampaikan harapan dan keinginannya kepada tim manajemen,” kata Irwan di pertemuan sosialisasi pembentukan Community Development Forum (CDF) pada Kamis (3/10), yang diselenggarakan Yayasan CARE Peduli (YCP), menjadi bagian dari Program Pemberdayaan Komunitas Teh di Indonesia. Menurut Irwan, forum kolaborasi dan komunikasi antara perusahaan, pemerintah desa, dan masyarakat perlu ada untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja perkebunan teh.
Diskusi yang dihadiri 21 orang peserta, merupakan perwakilan dari PTPN 1 Regional 2, PT. Kabepe Chakra Bersama serta perwakilan Pemerintah Desa Banjarsari, Desa Margaluyu, dan Desa Indragiri guna membahas pembentukan Forum Pengembangan Masyarakat atau Community Development Forum (CDF).
Silvia Dewi, Project Manager YCP di Pangalengan menjelaskan, dari pengamatan yang dilakukan YCP, salah satu permasalahan yang terjadi selama ini belum bisa diselesaikan dengan baik karena masing-masing pihak belum saling bertukar pikiran. “Upaya mempertemukan manajemen perkebunan, pemerintah desa, dan masyarakat bisa jadi sarana menemukan solusi dari permasalahan yang ada. Seluruh peserta yang hadir pada pertemuan itu juga menyampaikan komitmennya untuk berperan aktif di CDF,” ungkap Silvia.
Senada dengan Silvia, Deni Sahidin, Kepala Desa Banjarsari menjelaskan, upaya kolaborasi dan komunikasi yang baik dapat menjadi salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Kolaborasi yang sudah berjalan antara Pemerintah Desa Banjarsari dengan YCP dalam penanganan stunting menjadi salah satu bentuk kolaborasi yang kami rasa tepat. Harapannya, kolaborasi multi pihak seperti ini terus terlaksana. CDF harapannya juga menjadi salah satu wadah kita untuk berkolaborasi menangani masalah-masalah yang ada di masyarakat,” ujar Deni.
Pada sosialisasi yang sudah berjalan, menurut Silvia, semua pihak yang hadir sepakat untuk berkomitmen dan berperan aktif dalam upaya pembentukan CDF di tiga desa. “Para peserta yang hadir dalam sosialisasi ingin forum itu bisa menjadi wadah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan juga terwujudnya kesetaraan gender. CDF juga akan menjadi wadah kolaborasi pemberdayaan perempuan dan memanfaatkan potensi-potensi yang ada di tiga desa,” kata Silvia.
Silvia menjelaskan, tahapan selanjutnya adalah melakukan sosialisasi kepada masyarakat di tingkat perkebunan dan desa untuk melakukan pemilihan panitia pembentukan CDF. Ia menyampaikan, akan juga dilaksanakan perekrutan calon anggota dan pengurus CDF di tiap desa. “Target besarnya adalah CDF bisa menjadi wadah bagi para pemangku kepentingan di area perkebunan teh, seperti manajemen perkebunan, pemerintah desa, dan penduduk bisa duduk bersama untuk mengatasi masalah sosial dan ekonomi di wilayah mereka,” pungkas Silvia.