Di sebuah dusun terpencil di Kabupaten Musi Banyuasin, bernama Sungai Petai, berdirilah sebuah kelompok ekonomi perempuan yang merupakan cabang dari Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP) Persatuan Kaum Sukses Desa Dawas yang menjadi harapan baru bagi perempuan di sana. Jauh dari akses jalan layak, listrik yang terbatas, dan kehidupan serba sederhana, sekelompok perempuan yang dipimpin oleh Sutilah menunjukkan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk mandiri dan saling menguatkan.
Sutilah memulai cerita, KUEP Desa Dawas membuka cabang di Dusun Sungai Petai sejak awal tahun 2024. Akses yang jauh dan sulit bagi para anggota KUEP yang berdomisili di Dusun Sungai Petai untuk bepergian ke Desa Dawas menjadi faktor utama Sutilah berinisiatif membuka cabang KUEP di dusunnya. Menurut Sutilah, perjalanan dari Sungai Petai ke pusat Desa Dawas bisa memakan waktu dua sampai tiga jam, bahkan bisa sampai empat atau lima jam jika hujan mengguyur area tersebut dan membuat jalanan berlumpur.
“Kami punya 17 anggota di KUEP Dusun Sungai Petai, yang benar-benar aktif dan bisa dipercaya kami seleksi lagi. Saat ini hanya ada empat orang yang juga menjadi anggota KUEP Desa Dawas, karena mayoritas warga tidak memiliki kendaraan ataupun kemampuan untuk mengendarainya dari Sungai Petai ke Desa Dawas. Namun, semangat warga, terutama para perempuan di Sungai Petai, sangat tinggi,” cerita Sutilah, yang kini menjadi penanggung jawab KUEP cabang Sungai Petai.
Empat orang dari Sungai Petai—termasuk Sutilah—menjadi anggota resmi di KUEP Dawas. Mereka dipercaya karena bisa berkendara dan memiliki waktu luang untuk bepergian. Mewakili anggota lain di KUEP Sungai Petai, Sutilah dan 3 orang anggota KUEP Desa Dawas lainnya berinisiatif mengajukan pinjaman total Rp. 20 juta ke KUEP Persatuan Kaum Sukses Dawas. Menurut Sutilah, pinjaman yang mereka dapatkan digunakan untuk mulai mengembangkan usaha simpan pinjam dan tabungan sembako yang bisa dimanfaatkan 17 anggota KUEP Sungai Petai.
“Dari uang modal ini kami memutarnya untuk pinjaman produktif seperti bertanam ubi, potong karet, hingga produksi makanan tradisional seperti tiwul dan eyek-eyek,” jelasnya.
KUEP Sungai Petai memang masih fokus pada simpan pinjam karena kondisi geografis tidak memungkinkan untuk membuat usaha besar. Meski demikian, sistem simpan pinjam tertata baik. Untuk meminjam, anggota harus mendaftar satu bulan sebelumnya, kecuali ada kebutuhan mendesak seperti pengobatan. “Menjual barang dari sini itu sulit, bisa rusak di jalan. Sistem simpan pinjam yang dikelola dengan jujur dan tertib menjadi tulang punggung kegiatan ekonomi di sini,” ujar Sutilah.
Kisah Bu Sutilah bukan hanya soal ekonomi, tapi juga tentang bagaimana perempuan bisa jadi motor penggerak perubahan di sekitarnya. “Kami harus kreatif, perempuan harus kuat. Saya juga turut terdaftar sebagai relawan di Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Dawas dan setiap dapat pelatihan dari Yayasan CARE Peduli, pasti saya sampikan ke ibu-ibu yang lain di kampung,” ujarnya.
Kiprah Sutilah tak berhenti di ekonomi. Ia juga menjadi pendamping KBG (Kekerasan Berbasis Gender) di desanya. Dengan cara yang hati-hati dan pendekatan sosial yang akrab, ia dan tiga pendamping lain menyelipkan edukasi gender saat pengajian, hajatan, hingga obrolan santai antar ibu. “Saya bilang ke bapak-bapak, di rumah saya itu suami yang masak kalau saya sibuk. Mereka awalnya kaget, tapi akhirnya mikir juga,” katanya sambil tertawa kecil. Perubahan kecil seperti ini ternyata berdampak besar. Ia juga mengedukasi warga tentang cara membuka lahan tanpa membakar yang ia pelajari dari pelatihan bersama CARE.
Bu Sutilah juga menjadi penghubung warga dengan pemerintah desa. Urusan kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), akta kelahiran hingga menghadirkan Disdukcapil ke Sungai Petai, semua ia perjuangkan sendiri. Dengan wajah sumringah Sutilah brcerita pernah ditawari oleh Camat Kecamata Keluang untuk menjadi Kepala Dusun. “Pernah saya ditawarkan menjadi kepala dusun (kadus) Sungai Petai, tetapi saya tolak karena merasa tidak bisa menemban tugas tersebut. Jadi urusan seperti itu terlalu berat untuk saya,” katanya rendah hati.
Kini, KUEP Sungai Petai sudah mulai berjalan mandiri. Tabungan sembako saat Ramadan membuat anggota bisa menyambut Lebaran dengan lebih tenang dan berkecukupan. Uang pinjaman dari KUEP Desa Dawas sudah bisa dikembalikan sepenuhnya dan mereka mulai dari nol lagi. Namun semangat tak pernah pudar.
Dengan segala keterbatasan, Bu Sutilah tetap percaya bahwa perubahan dimulai dari langkah kecil. Dari rumah yang jadi tempat mengaji, dari kebun pekarangan yang ditanami cabai, hingga dari pengajian yang bisa juga menjadi tempat berdiskusi membahas pemenuhan ekonomi dan kesetaraan gender. “Kalau diniati ibadah, semua ada pahalanya,” tutupnya sambil tersenyum.
Di Sungai Petai, perempuan tak sekadar bertahan. Mereka melangkah maju, pelan tapi pasti. Dan di barisan terdepan, berdirilah Bu Sutilah—seorang perempuan luar biasa yang menyemai harapan dari tengah hutan.
Penulis: Kukuh A. Tohari
Editor: Swiny Adestika