Indonesia menjadi salah satu negara dengan risiko terjadi bencana alam tertinggi di dunia. Menurut data yang dikeluarkan oleh World Risk Report (WRI) tahun 2023 menyebutkan indeks risiko bencana sebesar 43,4 persen yang menempatkan Indonesia sebagai negara paling berisiko bencana nomor dua di dunia. Indonesia yang berada di Cincin Api Pasifik sehingga rentan terhadap gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi. Komnas Perempuan pada 2024 menyebutkan, perempuan menjadi salah satu kelompok yang rentan mengalami kekerasan berbasis gender saat bencana. Bahkan, menurut studi yang dilakukan UNDP pada 2010 menunjukkan perempuan lebih berisiko menjadi korban bencana dibandingkan laki-laki.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sepanjang tahun 2024 terjadi 2.107 bencana yang terjadi di Indonesia. Pada 2018, BNPB mengemukakan perempuan memiliki risiko 14 kali lebih tinggi menjadi korban bencana dibandingkan laki-laki dewasa. Hal ini disebabkan insting perempuan untuk menyelamatkan keluarga serta anak-anaknya dan mengabaikan keselamatan dirinya sendiri.
Perempuan rentan mendapatkan tindak kekerasan berbasis gender saat bencana bencana. Menurut Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Andy Yentriyanin, perempuan menjadi kelompok yang mengalami kerentanan berlapis seperti pelecehan seksual, kekerasan seksual, ketidaksetaraan saat mengkases bantuan, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di lokasi bencana. Dilansir melalui News.republika.co.id, terjadi setidaknya 12 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di tenda pengungsian korban gempa Palu pada tahun 2019. Kekerasan berbasis gender bisa terjadi karena faktor-faktor di antaranya lokasi tidur yang tidak tertutup, tempat untuk mandi cuci kakus (MCK) yang terbuka dan tidak memadai, serta terputusnya akses ekonomi bagi korban bencana. Sehingga, hal-hal ini imanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan tindak kekerasa kepada perempuan.
Sejatinya, Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan aturan yang mengatur untuk melindungi perempuan dan anak saat bencana terjadi melalui Peraturan Menteri PPPA Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Situasi Bencana. Selain itu, pemberdayaan perempuan harus menjadi prioritas utama dalam program pengurangan risiko bencana. Pelibatan aktif perempuan dalam proses perencanaan dan pelatihan kebencanaan akan memperkuat kapasitas mereka dalam merespons bencana, sekaligus menjadikan mereka sebagai agen perubahan di komunitas masing-masing.
Data dari UNDRR (United Nations Office for Disaster Risk Reduction) menyatakan bahwa pelibatan perempuan dalam perencanaan kebencanaan meningkatkan efektivitas respons hingga 30%. Sayangnya, menurut laporan BNPB 2022, hanya sekitar 20% perempuan terlibat aktif dalam struktur relawan kebencanaan di tingkat desa. Peningkatan kapasitas bagi perempuan melalui pelatihan untuk menghadapi jika nantinya bencana datang menjadi aspek yang penting.
Penguatan ekonomi dan kepemimpinan perempuan adalah strategi vital dalam upaya mengurangi kerentanan perempuan terhadap bencana serta memperkuat ketahanan masyarakat secara menyeluruh. Perempuan yang memiliki kemandirian ekonomi dan kepercayaan diri lebih siap menghadapi situasi darurat.
Pada 2021, laporan World Bank yang berjudul Gender Dimensions of Disaster Risk and Resilience – Existing Evidence mengemukakan, perempuan dengan keadaan ekonomi yang tidak kuat memiliki tingkat risiko kematian yang lebih tinggi akibat bencana alam. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan akses mereka terhadap informasi, sumber daya, dan dukungan sosial yang diperlukan untuk mempersiapkan, merespons, dan pulih dari bencana. Ketika perempuan memiliki sumber daya ekonomi dan suara dalam pengambilan keputusan, ketahanan komunitas meningkat secara signifikan. Keterlibatan perempuan dalam hal ini bisa membangun jejaring usaha mikro tangguh bencana, lalu dapat mengelola dana darurat komunitas, dan menjadi pelatih atau pendamping komunitas lain. Laporan UNDRR menyebutkan, partisipasi aktif perempuan dalam manajemen risiko bencana dapat mengurangi dampak kerugian hingga 20–30%.
Meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan perempan dalam penanggulangan bencana tidak hanya melindungi perempuan, tetapi juga mengurangi risiko kekerasan berbasis gender yang sering meningkat dalam situasi krisis. Dengan memperkuat kapasitas perempuan melalui pelatihan, penguatan ekonomi, dan kepemimpinan, mereka tidak hanya mampu menghadapi bencana, tetapi juga mencegah kekerasan dan menciptakan lingkungan yang lebih aman.
Bencana yang kita ketahui terjadi di Kabupaten Sigi dan Kota Palu di Sulawesi Tengah pada tahun 2018. Tahap pemulihan dan penguatan masyarakat terutama perempuan terus dilakukan. Upaya nyata salah satunya dilakukan Yayasan CARE Peduli (YCP) bersama Karsa Institute, didukung oleh UN Women dengan pendanaan melalui KOICA, untuk penguatan ketangguhan bagi kelompok perempuan dan pemuda di Kabupaten Sigi. Pemberdayaan ekonomi perempuan, peningkatan kapasitas dan partisipasi perempuan di tingkat desa dilakukan. Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP) diinisiasi sebagai wadah pemberdayaan disamping penguatan pemahaman terkait kesetaraan gender yang dilakukan di Desa Ngata Baru, Pesaku, Rarampadende, Pombewe, Ramba, dan Wisolo. Pelibatan berbagai pihak termasuk instansi pemerintah terkait menjadi faktor penting dalam implementasi di Kabupaten Sigi.
Upaya kerja bersama perlu terus dilakukan untuk memastikan perempuan mendapat kesempatan, dukungan dan akses setara dalam segala kondisi, termasuk saat kondisi krisis dan bencana. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga kemanusiaan, masyarakat serta pihak terkait lain sangat penting untuk memperkuat peran aktif perempuan sebagai agen perubahan dalam sistem kebencanaan yang lebih adil dan bebas kekerasan.
Penulis: Kukuh A. Tohari
Editor: Swiny Adestika