Search
Close this search box.

Pelatihan Kepemimpinan Bagi Anggota Forum Pemberdayaan Masyarakat di 3 Desa di Kabupaten Bandung

Galeri

49 anggota Community Development Forum (CDF) yang merupakan perwakilan pemerintah desa, manajemen perkebunan teh dan masyarakat di Desa Margaluyu, Desa Banjarsari, dan Desa Indragiri, Kabupaten Bandung ikuti pelatihan kepemimpinan dan komunikasi (11-14/04 & 30/04-01/05).

Pelatihan yang diselenggarakan Yayasan CARE Peduli dengan dukungan para mitra untuk dukung ketangguhan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar perkebunan teh, khususnya di Kabupaten Bandung. Melalui studi kasus, peserta diajak untuk penyelesaian masalah di lingkungan sekitar hingga pelibatan masyarakat, termasuk perempuan dan anggota lainnya dalam membuat keputusan.

Perempuan Jadi Salah Satu Kelompok Paling Rentan Saat Bencana. Lalu Apa yang Seharusnya Kita Lakukan?

Cerita

Indonesia menjadi salah satu negara dengan risiko terjadi bencana alam tertinggi di dunia. Menurut data yang dikeluarkan oleh World Risk Report (WRI) tahun 2023 menyebutkan indeks risiko bencana sebesar 43,4 persen yang menempatkan Indonesia sebagai negara paling berisiko bencana nomor dua di dunia. Indonesia yang berada di Cincin Api Pasifik sehingga rentan terhadap gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi. Komnas Perempuan pada 2024 menyebutkan, perempuan menjadi salah satu kelompok yang rentan mengalami kekerasan berbasis gender saat bencana. Bahkan, menurut studi yang dilakukan UNDP pada 2010 menunjukkan perempuan lebih berisiko menjadi korban bencana dibandingkan laki-laki.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sepanjang tahun 2024 terjadi 2.107 bencana yang terjadi di Indonesia. Pada 2018, BNPB mengemukakan perempuan memiliki risiko 14 kali lebih tinggi menjadi korban bencana dibandingkan laki-laki dewasa. Hal ini disebabkan insting perempuan untuk menyelamatkan keluarga serta anak-anaknya dan mengabaikan keselamatan dirinya sendiri.

Perempuan rentan mendapatkan tindak kekerasan berbasis gender saat bencana bencana. Menurut Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Andy Yentriyanin, perempuan menjadi kelompok yang mengalami kerentanan berlapis seperti pelecehan seksual, kekerasan seksual, ketidaksetaraan saat mengkases bantuan, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di lokasi bencana. Dilansir melalui News.republika.co.id, terjadi setidaknya 12 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di tenda pengungsian korban gempa Palu pada tahun 2019. Kekerasan berbasis gender bisa terjadi karena faktor-faktor di antaranya lokasi tidur yang tidak tertutup, tempat untuk mandi cuci kakus (MCK) yang terbuka dan tidak memadai, serta terputusnya akses ekonomi bagi korban bencana. Sehingga, hal-hal ini imanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan tindak kekerasa kepada perempuan.

Sejatinya, Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan aturan yang mengatur untuk melindungi perempuan dan anak saat bencana terjadi melalui Peraturan Menteri PPPA Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Situasi Bencana. Selain itu, pemberdayaan perempuan harus menjadi prioritas utama dalam program pengurangan risiko bencana. Pelibatan aktif perempuan dalam proses perencanaan dan pelatihan kebencanaan akan memperkuat kapasitas mereka dalam merespons bencana, sekaligus menjadikan mereka sebagai agen perubahan di komunitas masing-masing.

Data dari UNDRR (United Nations Office for Disaster Risk Reduction) menyatakan bahwa pelibatan perempuan dalam perencanaan kebencanaan meningkatkan efektivitas respons hingga 30%. Sayangnya, menurut laporan BNPB 2022, hanya sekitar 20% perempuan terlibat aktif dalam struktur relawan kebencanaan di tingkat desa. Peningkatan kapasitas bagi perempuan melalui pelatihan untuk menghadapi jika nantinya bencana datang menjadi aspek yang penting.

Penguatan ekonomi dan kepemimpinan perempuan adalah strategi vital dalam upaya mengurangi kerentanan perempuan terhadap bencana serta memperkuat ketahanan masyarakat secara menyeluruh. Perempuan yang memiliki kemandirian ekonomi dan kepercayaan diri lebih siap menghadapi situasi darurat.

Pada 2021, laporan World Bank yang berjudul Gender Dimensions of Disaster Risk and Resilience – Existing Evidence mengemukakan, perempuan dengan keadaan ekonomi yang tidak kuat memiliki tingkat risiko kematian yang lebih tinggi akibat bencana alam. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan akses mereka terhadap informasi, sumber daya, dan dukungan sosial yang diperlukan untuk mempersiapkan, merespons, dan pulih dari bencana. Ketika perempuan memiliki sumber daya ekonomi dan suara dalam pengambilan keputusan, ketahanan komunitas meningkat secara signifikan. Keterlibatan perempuan dalam hal ini bisa membangun jejaring usaha mikro tangguh bencana, lalu dapat mengelola dana darurat komunitas, dan menjadi pelatih atau pendamping komunitas lain. Laporan UNDRR menyebutkan, partisipasi aktif perempuan dalam manajemen risiko bencana dapat mengurangi dampak kerugian hingga 20–30%.

Meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan perempan dalam penanggulangan bencana tidak hanya melindungi perempuan, tetapi juga mengurangi risiko kekerasan berbasis gender yang sering meningkat dalam situasi krisis. Dengan memperkuat kapasitas perempuan melalui pelatihan, penguatan ekonomi, dan kepemimpinan, mereka tidak hanya mampu menghadapi bencana, tetapi juga mencegah kekerasan dan menciptakan lingkungan yang lebih aman.

Bencana yang kita ketahui terjadi di Kabupaten Sigi dan Kota Palu di Sulawesi Tengah pada tahun 2018. Tahap pemulihan dan penguatan masyarakat terutama perempuan terus dilakukan. Upaya nyata salah satunya dilakukan Yayasan CARE Peduli (YCP) bersama Karsa Institute, didukung oleh UN Women dengan pendanaan melalui KOICA, untuk penguatan ketangguhan bagi kelompok perempuan dan pemuda di Kabupaten Sigi. Pemberdayaan ekonomi perempuan, peningkatan kapasitas dan partisipasi perempuan di tingkat desa dilakukan. Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP) diinisiasi sebagai wadah pemberdayaan disamping penguatan pemahaman terkait kesetaraan gender yang dilakukan di Desa Ngata Baru, Pesaku, Rarampadende, Pombewe, Ramba, dan Wisolo. Pelibatan berbagai pihak termasuk instansi pemerintah terkait menjadi faktor penting dalam implementasi di Kabupaten Sigi.

Upaya kerja bersama perlu terus dilakukan untuk memastikan perempuan mendapat kesempatan, dukungan dan akses setara dalam segala kondisi, termasuk saat kondisi krisis dan bencana. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga kemanusiaan, masyarakat serta pihak terkait lain sangat penting untuk memperkuat peran aktif perempuan sebagai agen perubahan dalam sistem kebencanaan yang lebih adil dan bebas kekerasan.

Penulis: Kukuh A. Tohari
Editor: Swiny Adestika

Sinergi Percepatan Penurunan Stunting di Sumbawa Barat: Dari PMT hingga Kebun Gizi

Cerita

Pemerintah Indonesia terus berupaya mengatasi stunting. Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukan pada bulan Januari 2025, prevalensi stunting masih berada di angka 21,5 persen. BKKBN menargetkan prevalensi stunting sebesar 18 persen pada tahun 2025.

Sejalan dengan itu, di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), upaya penurunan prevalansi stunting menuju arah yang baik. Dikutip melalui Antaranews.com, Dinas Kesehatan KSB menyampaikan, angka stunting di KSB pada tahun 2024 berada di 7,37 persen. Jumlah ini menurun jika dibandingkan tahun 2023 sebesar 10,3 persen. Masih dari Antaranews.com, Pj. Bupati Kabupaten Sumbawa Barat Julmansyah mengatakan, perempuan menjadi salah satu faktor menurunnya angka stunting di daerah tersebut. Menurutnya, program DASHAT (dapur sehat atasi stunting) yang dipelopori oleh perempuan tangguh dan terintegrasi dengan ekonomi, ketahanan pangan, dan usaha mandiri perempuan menjadi salah satu upaya untuk melindungi perempuan dan anak.

Hal yang disampaikan oleh Julmansyah menjadi komponen program yang dilakukan oleh Yayasan CARE Peduli (YCP) dalam program percepatan penanganan stunting di KSB. Muhammad Ikraman, Project Manager Yayasan CARE Peduli di KSB menjelaskan program percepatan penurunan stunting dilakukan YCP secara holistik. “Program ini tidak hanya menyentuh aspek nutrisi, tetapi juga menyasar perubahan perilaku, edukasi orang tua, dan ketahanan pangan berbasis lokal. Secara umum, semua orang tua anak yang diintervensi mengikuti kelas parenting agar mereka mampu memberikan penilaian tentang tumbuh kembang anak mereka. Termasuk juga dengan memberikan pemahaman kepada remaja tentang risiko menikah muda,” ujar Ikraman.

Ikraman menjelaskan, pemberian makanan tambahan (PMT) pemulihan menjadi komponen utama dalam penanganan stunting. Sejak 2023 hingga 2024, sebanyak 372 anak dengan kondisi stunting, 47 anak dengan kondisi wasting, dan 17 anak dengan kondisi underweight telah menerima PMT pemulihan selama 90 hari tiap periodenya tanpa jeda yang berjalan pada bulan Desember 2023 sampai Maret 2024 dan Juni sampai September 2024. Tidak hanya menyasar anak, PMT pemulihan juga diberikan pada 85 ibu hamil dengan kondisi Kekurangan Energi Kronis (KEK) selama 30 hari dalam dua periode. “Hasilnya cukup signifikan. Sebanyak 30% anak yang mendapatkan intervensi PMT pemulihan keluar dari status stunting, dan 87% lainnya mengalami peningkatan berat badan lebih dari 200 gram per bulan. Untuk ibu hamil dengan kondisi KEK, 70% berhasil keluar dari status KEK dan melahirkan bayi dengan berat badan normal,” jelas Ikraman.

Yang menarik, PMT pemulihan yang diberikan bukan makanan instan atau mahal. Justru sebaliknya, menu yang digunakan mengikuti panduan Kementerian Kesehatan dan berbahan baku lokal, sehingga bisa penyiapan menu bisa ditiru oleh keluarga. “Keterlibatan kader dapur sehat atasi stunting (DASHAT) dalam program ini sangat penting. Tidak hanya menyiapkan menu PMT pemulihan, tetapi juga mengantarkan makanan dan memonitoring menu tersebut kepada anak yang mendapatkan PMT pemulihan. Saat makanan diberikan, orang tua dari sang anak juga diberi pemahaman tentang menyipkan menu bergizi seimbang dari sumber lokal. Menu dari lokal ini menjadi pendekatan edukatif yang dilakukan YCP, bahwa makanan sehat itu terjangkau dan mudah disiapkan di rumah,” tambah Ikraman.

Perubahan Sikap Orang Tua dan Peran Kader DASHAT

Perubahan kondisi anak yang signifikan membawa dampak psikologis yang positif pada orang tua. Antusiasme mereka tumbuh seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya gizi dan pola asuh. Memang, ada sebagian orang tua yang semula ragu menerima PMT pemulihan karena merasa bisa menyediakan sendiri. Namun melalui pendekatan edukatif dan kelas parenting, mereka akhirnya menerima pentingnya makanan dengan komposisi gizi seimbang. “Semua orang tua yang anaknya diintervensi mengikuti kelas parenting. Mereka belajar mengenai tumbuh kembang anak, pola asuh, dan menu makanan bergizi. Belajar pun dilakukan secara partisipatif, dengan pendekatan berbasis kasus nyata yang mereka alami,” tutur Ikraman.

Hayatun, orang tua dari Anugrah Wilka yang berusia 4 tahun dari Desa Bukit Damai yang menerima PMT pemulihan mengatakan ia cukup kesulitan dalam membuat dan memberikan makanan pada anaknya yang mengalami disabilitas down syndrome. “Dengan adanya PMT, bisa membantu anak saya makan. Saya sangat berterima kasih. Biasanya dia sulit sekali makan, sekarang dia minta makan terus. Kalau sebelumnya dia tidak bisa duduk atau berdiri tegak, dan lesu, sekarang sudah mulai lincah dan bisa duduk dengan baik,” katanya.

Perempuan berusia 44 tahun itu juga menuturkan, dirinya senang belajar bersama kader DASHAT yang berada tak jauh dari rumahnya untuk membuat menu makanan dengan gizi seimbang. “Sekarang saya sudah bisa membuat makanan seperti yang diberikan oleh DASHAT. Sekarang berat dan tinggi badan anak saya sudah sesuai dengan anak seusiannya,” ujarnya.

Kebun Gizi: Solusi Penanganan Stunting Berbasis Komunitas

Lebih lanjut, Ikraman menjelaskan, dalam rangka memastikan keberlanjutan PMT pemulihan, pelaksanaan kebun gizi yang dikelola oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) menjadi inovasi dalam upaya penurunan prevalansi stunting. Pembuatan kebun gizi dilaksanakan di semua desa yang didampingi oleh YCP di Kecamatan Sengkokang. Pengelolaan kebun gizi di Desa Talongang Baru menjadi salah satu yang paling menonjol.

“Kebun gizi yang ada di Talonang Baru kini berhasil memenuhi kebutuhan sayur mayur untuk PMT yang dibuat oleh kelompok DASHAT desa tersebut. Keberadaan kebun gizi sangat membantu produksi PMT, karena mendapatkan sayur yang segar dengan harga yang lebih murah. Karena desa ini keberadaannya cukup jauh dan terisolir, selama ini bahan baku untuk sayur banyak dipasok dari Kecamatan Lunyuk yang masuk dalam Kabupaten Sumbawa, jadi harganya cukup mahal,” jelasnya.

Ikraman menambahkan, berkat kolaborasi yang baik antara kebun gizi dan kelompok DASHAT, saat ini Talonang Baru mengalami penurunan angka stunting yang cukup signifikan. “Kami melihat dari data Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (EPPBGM) yang dikelola oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sumbawa Barat pada Februari 2023, angka stunting di Talonang Baru sebesar 15,38%, kemudian pada tahun Februari 2025 turun menjadi 6,29%,” jelasnya.

Peran Aktif Pemerintah Desa: Dari Anggaran hingga Regulasi

Menurut Ikraman, seluruh pemerintah desa yang menjadi area program sangat mendukung program percepatan penurunan stunting di wilayahnya masing-masing. Hal ini terbukti melalui peningkatan anggaran untuk kegiatan layanan dasar bidang kesehatan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDES). “Pada tahun 2024, dana untuk kesehatan APBDES pada 16 desa mengalami peningkatan dengan total kenaikan sebanyak 34 persen, yakni menjadi sekitar Rp. 5,5 miliar, dibandingkan pada tahun 2023. Khusus untuk PMT pemulihan, anggaran naik dari Rp520 juta menjadi Rp775 juta,” jelas Ikraman.

Lebih lanjut, Ikraman mengemukakan, dukungan pemerintah desa juga tidak hanya melalui pengalokasian anggaran saja, tetapi juga dengan regulasi. Salah satunya melalui pembentukan Desa Ramah Anak Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) melalui peraturan desa (perdes). “Pembentukan DRPPA bertujuan untuk memastikan kebutuhan hak asuh anak sesuai dengan peratuan perundang-undangan perlindungan anak, sehingga bisa memenuhi hak-hak yang didapatkan anak dalam tumbuh kembangnya,” imbuhnya.

Upaya kolaboratif yang dilakukan di Sumbawa Barat menunjukkan bahwa penanganan stunting perlu dilakukan dengan pendekatan holistik: dari pemenuhan nutrisi, edukasi, partisipasi komunitas, hingga dukungan regulatif. “Dukungan dan kerja bersama dari berbagai pihak seperti masyarakat, pemerintah desa dan daerah setempat, serta dari mitra YCP yakni AMMAN Mineral, menjadikan program percepatan penurunan stunting di KSB bisa menjangkau partisipan luas dan memiliki hasil serta perubahan yang baik,” pungkas Ikraman.

Penulis: Kukuh A. Tohari

Editor: Swiny Adestika

Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) di Kabupaten Nagekeo Mulai Dilaksanakan

Galeri

Yayasan CARE Peduli mulai melaksanakan program pemberian makanan tambahan (PMT) bagi anak 50 orang anak dengan status stunting, underweight, dan wasting di Desa Jawapogo dan Kelurahan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur.  Progrm PMT ini juga menyasar 15 orang ibu hamil yang berstatus Kekurangan Energi Kronis (KEK) dan anemia, serta 10 orang ibu menyusui yang berpotensi atau berisiko kekurangan gizi dari riwayat selama kehamilan.

Program yang didukung oleh BNI Berbagi ini telah dilaksanakan sejak bulan Maret 2025 di Kelurahan Mauponggo dan bulan April 2025 di Desa Jawapogo. Pemerintah kedua desa tersebut mendukung penuh pelaksanaan program PMT ini untuk berjalan dengan baik dalam kurun waktu 90 hari. Menu PMT yang dibuat oleh kelompok Dapur Sehat Atasi Stunting (DASHAT) juga diawasi secara langsung oleh ahli gizi yang bertugas di Puskesmas setempat.

Memperkuat Peran Perempuan dalam Konservasi dan Peningkatan Ekonomi Lokal

Galeri

CEO CARE Indonesia, Dr. Abdul Wahib Situmorang, menjadi salah satu pembicara pada sesi High-level Discussion: Tourism Policy on Circular Economy dalam acara  Joint Commission Meeting untuk Komisi UN Tourism untuk Asia Timur dan Pasifik (CAP) dan Komisi UN Tourism untuk Asia Selatan (CSA) ke-37 (CAP-CSA ke-37)(16/4) di Hotel Mulia, Jakarta. Acara dibuka oleh Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana serta dihadiri anggota UN Tourism, anggota afiliasi UN Tourism, dan organisasi internasional dan regional, serta para pakar pariwisata dunia.

CARE Indonesia membagikan pandangan mengenai pentingnya memastikan circular economy yang mendukung pemberdayaan dan penguatan ketangguhan masyarakat lokal, termasuk kelompok perempuan dan anak-anak, dalam pengembangan investasi pada sektor pariwisata di Indonesia. Sejalan dengan program Pemerintah Indonesia pada 11 Zona Ekonomi Khusus di Indonesia, CARE mendukung dan bekerja bersama, salah satunya melalui program Women Mangrove Warrior yang didukung oleh Traveloka. Pembelajaran baik dari program konservasi ekosistem mangrove melalui pemberdayaan kelompok perempuan ini membagikan salah satu hasil pemberdayaan ekonomi yang dilakukan yakni pembuatan usaha mikro dengan batik ecoprinting yang menggunakan pewarnaan alami dari pohon mangrove. CARE & Traveloka memandang, pelibatan masyarakat lokal termasuk kelompok perempuan sangat krusial untuk memastikan penguatan masyarakat serta berjalannya circular economy yang berkelanjutan.

Sutilah: Perempuan Tangguh Penggerak Pemberdayaan Perempuan dari Sungai Petai

Cerita

Di sebuah dusun terpencil di Kabupaten Musi Banyuasin, bernama Sungai Petai, berdirilah sebuah kelompok ekonomi perempuan yang merupakan cabang dari Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP) Persatuan Kaum Sukses Desa Dawas yang menjadi harapan baru bagi perempuan di sana. Jauh dari akses jalan layak, listrik yang terbatas, dan kehidupan serba sederhana, sekelompok perempuan yang dipimpin oleh Sutilah menunjukkan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk mandiri dan saling menguatkan.

Sutilah memulai cerita, KUEP Desa Dawas membuka cabang di Dusun Sungai Petai sejak awal tahun 2024. Akses yang jauh dan sulit bagi para anggota KUEP yang berdomisili di Dusun Sungai Petai untuk bepergian ke Desa Dawas menjadi faktor utama Sutilah berinisiatif membuka cabang KUEP di dusunnya. Menurut Sutilah, perjalanan dari Sungai Petai ke pusat Desa Dawas bisa memakan waktu dua sampai tiga jam, bahkan bisa sampai empat atau lima jam jika hujan mengguyur area tersebut dan membuat jalanan berlumpur.

“Kami punya 17 anggota di KUEP Dusun Sungai Petai, yang benar-benar aktif dan bisa dipercaya kami seleksi lagi. Saat ini hanya ada empat orang yang juga menjadi anggota KUEP Desa Dawas, karena mayoritas warga tidak memiliki kendaraan ataupun kemampuan untuk mengendarainya dari Sungai Petai ke Desa Dawas. Namun, semangat warga, terutama para perempuan di Sungai Petai, sangat tinggi,” cerita Sutilah, yang kini menjadi penanggung jawab KUEP cabang Sungai Petai.

Empat orang dari Sungai Petai—termasuk Sutilah—menjadi anggota resmi di KUEP Dawas. Mereka dipercaya karena bisa berkendara dan memiliki waktu luang untuk bepergian. Mewakili anggota lain di KUEP Sungai Petai, Sutilah dan 3 orang anggota KUEP Desa Dawas lainnya berinisiatif mengajukan pinjaman total Rp. 20 juta ke KUEP Persatuan Kaum Sukses Dawas. Menurut Sutilah, pinjaman yang mereka dapatkan digunakan untuk mulai mengembangkan usaha simpan pinjam dan tabungan sembako yang bisa dimanfaatkan 17 anggota KUEP Sungai Petai.

“Dari uang modal ini kami memutarnya untuk pinjaman produktif seperti bertanam ubi, potong karet, hingga produksi makanan tradisional seperti tiwul dan eyek-eyek,” jelasnya.

KUEP Sungai Petai memang masih fokus pada simpan pinjam karena kondisi geografis tidak memungkinkan untuk membuat usaha besar. Meski demikian, sistem simpan pinjam tertata baik. Untuk meminjam, anggota harus mendaftar satu bulan sebelumnya, kecuali ada kebutuhan mendesak seperti pengobatan. “Menjual barang dari sini itu sulit, bisa rusak di jalan. Sistem simpan pinjam yang dikelola dengan jujur dan tertib menjadi tulang punggung kegiatan ekonomi di sini,” ujar Sutilah.

Kisah Bu Sutilah bukan hanya soal ekonomi, tapi juga tentang bagaimana perempuan bisa jadi motor penggerak perubahan di sekitarnya. “Kami harus kreatif, perempuan harus kuat. Saya juga turut terdaftar sebagai relawan di Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Dawas dan setiap dapat pelatihan dari Yayasan CARE Peduli, pasti saya sampikan ke ibu-ibu yang lain di kampung,” ujarnya.

Kiprah Sutilah tak berhenti di ekonomi. Ia juga menjadi pendamping KBG (Kekerasan Berbasis Gender) di desanya. Dengan cara yang hati-hati dan pendekatan sosial yang akrab, ia dan tiga pendamping lain menyelipkan edukasi gender saat pengajian, hajatan, hingga obrolan santai antar ibu. “Saya bilang ke bapak-bapak, di rumah saya itu suami yang masak kalau saya sibuk. Mereka awalnya kaget, tapi akhirnya mikir juga,” katanya sambil tertawa kecil. Perubahan kecil seperti ini ternyata berdampak besar. Ia juga mengedukasi warga tentang cara membuka lahan tanpa membakar yang ia pelajari dari pelatihan bersama CARE.

Bu Sutilah juga menjadi penghubung warga dengan pemerintah desa. Urusan kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), akta kelahiran hingga menghadirkan Disdukcapil ke Sungai Petai, semua ia perjuangkan sendiri. Dengan wajah sumringah Sutilah brcerita pernah ditawari oleh Camat Kecamata Keluang untuk menjadi Kepala Dusun. “Pernah saya ditawarkan menjadi kepala dusun (kadus) Sungai Petai, tetapi saya tolak karena merasa tidak bisa menemban tugas tersebut. Jadi urusan seperti itu terlalu berat untuk saya,” katanya rendah hati.

Kini, KUEP Sungai Petai sudah mulai berjalan mandiri. Tabungan sembako saat Ramadan membuat anggota bisa menyambut Lebaran dengan lebih tenang dan berkecukupan. Uang pinjaman dari KUEP Desa Dawas sudah bisa dikembalikan sepenuhnya dan mereka mulai dari nol lagi. Namun semangat tak pernah pudar.
Dengan segala keterbatasan, Bu Sutilah tetap percaya bahwa perubahan dimulai dari langkah kecil. Dari rumah yang jadi tempat mengaji, dari kebun pekarangan yang ditanami cabai, hingga dari pengajian yang bisa juga menjadi tempat berdiskusi membahas pemenuhan ekonomi dan kesetaraan gender. “Kalau diniati ibadah, semua ada pahalanya,” tutupnya sambil tersenyum.

Di Sungai Petai, perempuan tak sekadar bertahan. Mereka melangkah maju, pelan tapi pasti. Dan di barisan terdepan, berdirilah Bu Sutilah—seorang perempuan luar biasa yang menyemai harapan dari tengah hutan.

Penulis: Kukuh A. Tohari
Editor: Swiny Adestika

Beasiswa Jurnalis: Mengarus Utamakan Inisiatif Perlindungan Mangrove dan Peningkatan Ekonomi Bagi Kelompok Perempuan di Desa Berakit

Galeri

Sebanyak lima orang jurnalis yang berasal dari berbagai provinsi di Sumatra dari media lokal dan kontributor media nasional mengikuti program journalist fellowship yang digelar oleh CARE Indonesia yang berkolaborasi dengan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) pada 11-14 Maret 2025. Program ini bertujuan untuk menyebarluaskan peran perempuan di Desa Berakit, Kabupaten Bintan dalam upaya perlindungan mangrove dan peningkatan ekonomi lokal yang memanfaatkan hasil ekosistem mangrove. Harapannya, dengan adanya keterlibatan jurnalis dalam upaya pemberdayaan perempuan di Desa Berakit bisa memberikan inspirasi bagi perempuan di seluruh Indonesia untuk semakin terlibat dalam pelestarian lingkungan.

Perlindungan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Minahasa Utara Melalui Pemberdayaan Kelompok Perempuan

Galeri

CARE Indonesia bersama Yayasan Bumi Tangguh didukung Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dan didanai Asian Venture Philantrophy Network (AVPN) luncurkan program pemberdayaan perempuan pesisir dan restorasi mangrove di Kabupaten Minahasa Utara (18/03). Peluncuran ini dihadiri sekitar 70 tamu undangan.

50.000 bibit akan ditanam di zona penyangga Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Desa Palaes, Desa Sarawet, dan Desa Minaesa. Pemberdayaan kelompok perempuan, termasuk nelayan perempuan, akan dilakukan melalui pembentukan Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP) untuk mengelola potensi usaha berbasis mangrove sekaligus memastikan kelestarian ekosistemnya.

Kelompok Perempuan Desa Berakit Lestarikan dan Manfaatkan Mangrove

Galeri

Sebanyak 50.000 bibit mangrove yang dikembangkan oleh kelompok perempuan penjaga mangrove di Desa Berakit sudah semakin bertumbuh. Bibit yang disemai pada September 2024 ini nantinya akan ditanam pada area seluas lima hektare di zona penyangga kawasan konservasi laut di Desa Berakit. Nantinya jika bibit mangrove sudah memiliki minimal empat lembar daun, tandanya sudah siap untuk ditanam menyusul 1.000 tanaman mangrove yang sebelumnya sudah ditanam.

Selain berperan aktif dalam pelestarian mangrove, kelompok perempuan di Desa Berakit juga telah menghasilkan produk kain batik yang memanfaatkan mangrove sebagai pewarna alaminya melalui pelatihan yang didukung oleh Traveloka, CARE Indonesia. Pelatihan pemanfaatan mangrove sebagai pewarna kain batik ecoprint merupakan upaya pemberdayaan ekonomi kelompok perempuan melalui Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP).

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara Dukung CARE Indonesia dan Yayasan Bumi Tangguh untuk Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Ekosistem Mangrove di 3 Desa

Berita

Likupang Barat, 18 Maret 2025 – Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara mendukung Yayasan CARE Peduli (YCP/CARE Indonesia) dan Yayasan Bumi Tangguh melalui inisiatif pemberdayaan perempuan dan perlindungan ekosistem mangrove untuk penanaman 50,000 bibit mangrove di zona penyangga Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Dengan dukungan pendanaan dari Asian Venture Philanthropy Network (AVPN), tidak hanya pelestarian mangrove, upaya pemberdayaan ekonomi nelayan perempuan melalui Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP) akan dilakukan untuk mengelola beragam potensi usaha atau ekonomi dari komoditas unggulan setempat.

Dr. Tianneke Adam, M.Si, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara menyampaikan dalam sambutannya pada peluncuran program pemberdayaan perempuan pesisir dan restorasi mangrove (18/3), bahwa pelaksanaan program sejalan dengan upaya pencapaian target penambahan KKP baru seluas 326.000 hektar di tahun 2025. “Kawasan hutan mangrove di 3 desa yakni Desa Palaes dan Desa Serawet di Kecamatan Likupang Barat serta di Desa Minaesa di Kecamatan Wori menjadi kawasan krusial di Sulawesi Utara. Tidak hanya mangrove penting sebagai rumah dari berbagai biota yang hidup di dalamnya, namun juga bagi masyarakat sekitar agar terlindungi dari ancaman krisis iklim serta sebagai sumber pendapatan keluarga,” ujarnya.

Peluncuran program turut dihadiri oleh perwakilan dari AVPN di Indonesia, Dewan Pembina Yayasan CARE Peduli, Esti Andayani, CEO Yayasan CARE Peduli, Dr. Abdul Wahib Situmorang, Ketua Yayasan Bumi Tangguh, Dennie Mamonto, aparatur Desa, dan perwakilan masyarakat desa.

Tianneke menambahkan, upaya perlindungan ekosistem penting untuk dibarengi dengan pemberdayaan masyarakatnya, termasuk para nelayan perempuan. Rangkaian pemberdayaan seperti peningkatan pengetahuan, penambahan sumber pendapatan alternatif dan pengelolaan keuangan menurutnya dapat langsung berdampak ke masyarakat untuk penguatan peran perempuan pesisir dalam menjaga ekosistem mangrove. “Pemda pasti selalu berkomitmen memberikanan pelayanan pada masyarakat pesisir untuk peningkatan kesejahteraan mereka secara mandiri. Dengan menjaga ekosistem mangrove, masyarakat termasuk nelayan perempuan bisa menambah pendapatan keluarga. Kami akan memantau dan mengevaluasi program pembinaan yang dilakukan CARE Indonesia dan Yayasan Bumi Tangguh ini untuk keberlanjutannya. Kedepannya ini juga bisa menjadi contoh pembelajaran yang sukses bagi desa lainnya jika mereka menjaga ekosistem pesisir laut mereka tetap lestari,” ungkapnya.

Dr. Abdul Wahib Situmorang, CEO CARE Indonesia menjelaskan, keutamaan program adalah dengan melibatkan dan melakukan pemberdayaan pada perempuan pesisir, termasuk nelayan perempuan sehingga meningkatkan perannya dalam menjaga mangrove. Menurut Abdul, “Pemanfaatan dan perlindungan hutan mangrove sudah menjadi kearifan lokal yang dilakukan masyarakat setempat. Di Desa Palaes, kesadaran masyarakat menjaga mangrove sudah muncul karena mangrove menjadi sumber pendapatan melalui wisata mangrove yang sudah berjalan disini. Maka dari itu, kelompok perempuan tidak hanya dilibatkan aktif dalam upaya konservasi mangrove melalui pembibitan dan penanaman di program ini, tetapi juga dalam penguatan ekonomi seperti literasi digital dan keuangan, serta penguatan usaha yang menjadi pendapatan tambahan keluarga,” jelas Abdul.

Senada dengan Abdul, Dennie Mamonto, Ketua Yayasan Bumi Tangguh menyampaikan potensi ekosistem mangrove dengan luas mencapai 5.562,62 hektare di pesisir Wori, Likupang Barat, dan Likupang Timur sangat kaya yang terlihat dari dijadikannya Likupang sebagai destinasi wisata ‘super prioritas’. Menurutnya, pada tahun 2024, kawasan ini menarik lebih dari 572.000 wisatawan domestik dan 7.400 wisatawan internasional, termasuk wisata mangrove yang semakin berkembang di desa-desa pesisir. “Jika tidak dikelola secara berkelanjutan, perkembangan ini dapat mengancam keseimbangan ekosistem dan penghidupan masyarakat setempat. Kami di Yayasan Bumi Tangguh percaya bahwa melibatkan kelompok perempuan dalam upaya pelestarian mangrove adalah langkah strategis untuk menjaga lingkungan sekaligus menciptakan manfaat ekonomi bagi komunitas pesisir. Dengan peran aktif mereka, kita dapat memastikan bahwa ekosistem mangrove tetap lestari di tengah laju pembangunan dan pertumbuhan wisata di kawasan ini,” ujar Dennie.

Lebih lanjut Abdul menjelaskan terkait pembentukan Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP), yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian finansial perempuan dan pembentukan komunitas. “KUEP akan menjadi wadah bagi kelompok perempuan untuk mengumpulkan tabungan, mengakses pinjaman kecil, dan terlibat dalam pengambilan keputusan kolektif. Melalui pelatihan kewirausahaan, kami berharap kelompok perempuan dapat meraih peluang ekonomi lebih luas di luar konservasi mangrove dan meningkatkan kemandirian finansial, serta dapat mendukung peningkatan ekonomi berbasis lingkungan yang berkelanjutan,” pungkasnya.