Search
Close this search box.

Pelatihan Pengelolaan Usaha dan Pemasaran Dorong Kelompok Perempuan JEKATA Tingkatkan Usaha Komunitas

Galeri

40 anggota Jaringan Pemberdayaan untuk Perempuan Tangguh (JEKATA) di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Sukabumi ikuti penguatan bisnis komunitas (30-31/08 & 6-7/09). Kegiatan yang menjadi bagian dari program kolaborasi CARE Indonesia bersama mitra ini mendorong JEKATA menggali potensi bisnis skala rumah tangga berbasis komunitas.

Pelatihan teoritis dan teknis mengenai pengelolaan usaha kecil, pemasaran melalui media sosial, pengemasan produk dan pembuatan foto produk sederhana menggunakan telepon genggam diterima peserta.

Apresiasi Pemkab Bandung untuk Kerja Kolaborasi bersama CARE Indonesia

Galeri

Dua penghargaan diterima CARE Indonesia dari Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk Kabupaten Bandung pada penyelenggaraan Puncak Perayaan Hari Anak dan Hari Keluarga Nasional se-Kabupaten Bandung (28/8).

CARE Indonesia sangat bersyukur atas penghargaan sebagai Mitra Pembangunan yang Responsif Gender dan Berkelanjutan serta sebagai Penyumbang PMT Terbaik di Kabupaten Bandung. Penghargaan ini tidak terlepas dari dukungan dan kerja bersama semua pihak, termasuk instansi pemerintah, dalam mendorong ruang aman dan setara bagi perempuan serta upaya pemenuhan gizi generasi Indonesia.

Perempuan Penggerak Ketahanan Ekonomi Keluarga

Publikasi

Cerita Nyai Sunarsih: Sebarkan Suara Kecil yang Semakin Membesar di Perkebunan Teh

Cerita

Setiap pagi sebelum langit benar-benar terang, Nyai Sunarsih, perempuan pemetik teh asal Desa Sukaluyu, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung sudah beranjak menuju perkebunan tempatnya bekerja. Satu jam lamanya, kaki tangguh perempuan berusia 51 tahun ini berjalan lincah melintasi medan perkebunan teh Pasir Malang yang tidak rata sembari membopong mesin petik teh dan waring, atau wadah untuk menampung daun teh yang berhasil dipetik.

Menyusuri gelap dan dinginnya pagi perkebunan teh Pasir Malang dengan jarak yang mencapai sekitar enam kilometer dengan medan yang terjal dan tidak rata, membuat perempuan yang akrab disapa Narsih ini memilih berangkat lebih awal agar tidak tertinggal dari rombongan. Menurutnya jika ia terlambat, ia bisa tidak kebagian lahan petik yang layak.

“Saya menjadi pemetik teh sudah lebih dari sepuluh tahun. Meski hujan, saya tetap jalan ke kebun di waktu yang sama, kalau terlambat ya nanti akan dapat blok teh yang medannya susah, seperti di lereng atau bagian bawah,” katanya saat ditemui di sela-sela istirahatnya di kebun teh.

Penggerak Perubahan di Lingkungan Kerja

Narsih bercerita, meski pekerjaan itu telah lama digelutinya, baru dalam dua tahun terakhir, ia merasa benar-benar menjadi bagian dari sistem kerja yang adil. Katanya, dulu pembagian lahan panen cenderung tak merata. Para pekerja laki-laki sering mendapat bagian yang dekat dan mudah dijangkau, sementara perempuan harus berjalan lebih jauh, ke daerah yang lebih sulit.

“Dulu saya dan pemetik perempuan yang lain cuma manut saja kalau diberikan jatah lokasi yang susah oleh atasan. Saat itu kami cuma saling curhat ke sesama pemetik saja, tidak berani untuk sampaikan ke atasan (mandor),” ujarnya.

Tetapi segalanya berubah sejak ia mengikuti program Community Development Forum (CDF), sebuah inisiatif program yang didampingi oleh CARE Indonesia bersama mitra, mengajarkannya tentang kesetaraan gender, komunikasi di dalam forum, dan pengelolaan keuangan keluarga. Bahkan, saat ini Narsih aktif tergabung sebagai anggota forum yang di dalamnya juga terdapat manajemen perusahaan, pemerintah desa, dan pekerja lapangan di perkebunan. Meski banyak pihak yang tergabung dalam kelompok itu, Narsih sama sekali tidak merasa rendah diri, justru ia mampu bekerja sama dengan penuh percaya diri.

“Awalnya saya ikut kegiatan CDF karena disuruh mandor, karena di situ saya mendapatkan banyak pelajaran, makanya saya bertahan sampai sekarang. Di CDF juga membuat saya mengerti kalau kami, para pemetik sama seperti reka di bagian yang lain berhak diperlakukan adil dan harus bersuara supaya dapat hak yang sama dengan orang lain. Makanya sekarang saya berani untuk menyuarakan pendapat ke mandor,” katanya sembari tersenyum.

Narsih menjelaskan, ia memberikan usul agar sistem pembagian lahan panen yang berbasis kelompok dikaji ulang, agar tiap kelompok mendapatkan hasil yang setara. Usulan ini membuat beberapa kelompok pemetik tidak mendapatkan lokasi yang terjal melulu, karena telah diberi jadwal dan lokasi yang cukup landai secara bergiliran.

“Saya sempat takut dan gugup untuk menyampaikan usulan, takutnya saya dianggap melawan dan tidak sopan. Tapi ini demi kebaikan saya dan teman-teman, makainya saya berani. Ternyata, usulan saya diterima sama mandor dan atasan yang lain, bahkan disambut baik. Jadi sekarang hasil daun yang saya petik jadi meningkat dan penghasilan saya dan teman-teman juga ikut bertambah juga,” ujarnya sambil tersipu.

Sebelum menyampaikan usulannya kepada mandor, Narsih terlebih dahulu berbicara dengan rekan-rekan kerjanya tentang kendala yang ada. Setelah berhasil menghimpun usulan, barulah Narsih menyampaikannya kepada mandor tempatnya bekerja. “Yang saya sampaikan ini adalah masalah kami semua. Jadinya saya pastikan dulu ke teman-teman kalo kita harus satu suara supaya apa yang kita keluhkan ini dirasakan oleh semuanya,” ujarnya.

Suara yang Berdampak Positif

Perubahan yang dialami oleh Narsih ini juga disadari oleh Saeful Hidayat yang merupakan mandor perkebunan Malabar, Unit Pasir Malang, PT Perkebunan Nasional (PTPN) 1 Regional 2 yang merupakan atasan dari Nyai Sunarsih. “Saya melihat sekarang pemetik teh di sini sudah ada perubahan yang baik. Kalau dulu mereka cenderung tertutup dan kalau mau bicara cenderung mengandalkan orang lain. Tetapi sekarang mulai percaya diri untuk ngobrol ke mandor dan rekan-rekan yang lain. Saya rasa, Ibu Narsih itu yang paling menonjol perubahannya,” kata Saeful.

Menurut Saeful, keberanian para pemetik teh dalam menyampaikan pendapat sama sekali tidak membuatnya tersinggung atau pun marah. Justru ia merasa senang dengan perubahan itu, karena para pemetik teh bisa langsung berdiskusi tentang kendala yang sedang terjadi. “Saya semakin senang ketika mereka (pemetik teh), terutama pekerja perempuan, berani berbicara ke saya atau atasan yang lain. Misalnya kalau ada masalah di mesin petik teh, bisa langsung diselesaikan lebih cepat karena disampaikan ke atasan. Masalah yang cepat selesai ini juga berpengaruh positif dengan daun teh yang berhasil dipetik tiap harinya,” jelasnya.

Lebih lanjut, menurut Saeful, perubahan ini dimotori oleh Narsih yang berhasil mengajak pemetik teh perempuan lainnya untuk lebih berani menyampaikan pendapat dan usulan. “Saya melihat sekarang Bu Narsih seperti “penyambung lidah” para pekerja lainnya untuk menyampaikan usulan dan masukan ke atasan. Selain itu, dia juga berhasil untuk mengajak ibu-ibu pemetik teh untuk lebih berani bersuara. Mungkin sekarang masih beberapa, tetapi saya yakin hal ini akan terus berkembang dan semakin banyak orang yang menjadi lebih berani,” ujarnya dengan tegas.

Makin Terlibat Aktif di Masyarakat

Perubahan itu tidak hanya terjadi di tempat kerja. Narsih juga mulai aktif menyampaikan ide-ide di lingkungan tempatnya tinggal, seperti sistem pengelolaan sampah bersama Karang Taruna. Meski usulannya belum terlaksana dan memerlukan musyawarah lebih lanjut, tetapi ia merasa senang bisa ikut memberikan usulan. Ia turut menyampaikan, jika dirinya semakin percaya diri dengan kemampuan komunikasi yang dimilikinya. Berbekal itu, ia sering menjadi pembawa acara pada berbagai acara pertemuan seperti pengajian kampung, kegiatan forum, dan agenda perkumpulan lainnya.

“Dulu saya kalau ngomong tidak beraturan, bikin orang susah paham. Tetapi sekarang karena ikut CDF, saya lebih tertata dan terstruktur saat menyampaikan pendapat. Jadinya sekarang saya sedikit-sedikit mulai berani jadi MC (pembawa acara) kalau ada pertemuan. Pokoknya sekarang saya akan terus belajar supaya bisa memperjuangkan hak-hak saya dan perempuan lainnya agar mendapatkan perlakuan yang adil,” ujar Narsih.

Di akhir perbincangan, Narsih menyampaikan jika partisipasinya dalam CDF juga membuatnya semakin yakin dengan keputusan dan pemikirannya yang ia lakukan dulu, bahwa perempuan harus bisa maju. Karena itu dulu ia selalu berusaha semaksimal mungkin mengatur keuangan keluarga agar bisa menyekolahkan anak perempuannya hingga perguruan tinggi, agar bisa maju dan dapat kesempatan lebih. Pasalnya menurut Narsih, perempuan yang menempuh pendidikan tinggi merupakan hal yang jarang terjadi, bahkan terkesan tidak wajar di lingkungan tempatnya tinggal. Sehingga dulu ia dipandang sebagai orang yang aneh karena mengambil keputusan itu oleh sekitarnya.

Alhamdulillah anak saya bisa lulus kuliah meski kondisi saya seperti ini. Saya itu cuma pingin anak perempuan saya dapat kehidupan yang lebih baik dari orang tuanya. Karena ikut CDF juga saya sadar kalau keputusan yang saya ambil ini sudah benar,” pungkasnya sembari tersenyum lebar.

 

Penulis: Kukuh Akhfad
Editor: Swiny Adestika

Mendorong Ketangguhan Perempuan di Kondisi Krisis Melalui Pemberdayaan Ekonomi

Cerita

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, perempuan memiliki potensi besar untuk terlibat dalam penanggulangan krisis, mulai dari tahap prabencana, saat bencana, hingga pascabencana. Bahkan, menurut UNDRR (United Nations Office for Disaster Risk Reduction), pelibatan perempuan dalam perencanaan kebencanaan dapat meningkatkan efektivitas respons hingga 30 persen. Nahasnya, realitas di lapangan masih timpang. BNPB mencatat pada 2022, hanya sekitar 20 perempuan yang aktif dalam struktur relawan kebencanaan di tingkat desa. Minimnya pengalaman dan kapasitas seringkali membuat perempuan tidak mendapat ruang partisipasi yang memadai.

Penguatan kapasitas perempuan dalam penanganan bencana menjadi kebutuhan mendesak. Selain sebagai langkah perlindungan, hal ini juga strategis untuk menekan potensi kekerasan berbasis gender yang kerap meningkat di tengah krisis. Laporan UNFPA (2019) mengungkapkan, saat bencana Palu, Sigi, dan Donggala, kasus KDRT, pelecehan, hingga percobaan perkosaan ikut meningkat. Pelibatan perempuan secara aktif adalah kunci untuk memastikan keamanan dan ketangguhan komunitas.

Perempuan di Garda Depan Ketangguhan

CARE Indonesia (Yayasan CARE Peduli/YCP) berkolaborasi bersama berbagai mitra dan dengan dukungan dari pemerintah daerah setempat berupaya memperkuat ketangguhan kelompok perempuan di berbagai daerah.

Di Kabupaten Sigi, melalui pembentukan Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP) di enam desa, para perempuan mendapat pelatihan, dukungan usaha, hingga ruang untuk meningkatkan kapasitas. Pembentukan dan penguatan KUEP bagi para kelompok perempuan tidak hanya memberi tambahan pendapatan keluarga, tetapi juga membekali mereka dengan kemandirian ekonomi yang terbukti menjadi penopang ketika krisis melanda.

Upaya serupa juga hadir di Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, serta di Likupang, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Di sana, perempuan terlibat langsung dalam rehabilitasi kawasan mangrove mencari bibit, menyemai, menanam, hingga memantau pertumbuhan. Lebih dari 100 ribu pohon mangrove kini telah berdiri, melindungi pesisir sekaligus membuka peluang ekonomi baru. Dari hasil laut, kelompok perempuan mengolah ikan menjadi kerupuk. Di Berakit, kelompok perempuan memanfaatkan mangrove, untuk menciptakan batik dengan pewarna alami membuktikan konservasi bisa berjalan seiring dengan pemberdayaan ekonomi.

Di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, terdapat 13 KUEP yang menjalankan lebih dari 190 jenis usaha, mulai dari simpan pinjam, kerajinan lidi sawit, hingga kuliner. Program ini menyasar komunitas pekerja perkebunan sawit, termasuk pekerja perempuan, yang berpotensi menurun pendapatannya saat proses peremajaan sawit berlangsung. Pemberdayaan khususnya pada pekerja perempuan yang berdomisili di sekitar perkebunan sawit dilakukan agar ketangguhan ekonomi terbentuk meski dalam masa itu. Melalui usaha yang dijalankan oleh kelompok perempuan, total keuntungan usaha kelompok mencapai Rp88,2 juta, dengan pengelolaan simpan-pinjam yang berhasil mengumpulkan modal hingga Rp1,2 miliar.

Pemberdayaan ekonomi kelompok perempuan di Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat melalui 16 Kelompok Usaha Mandiri Perempuan (KUMP), memanfaatkan sumber daya lokal seperti kerang dan ikan untuk membentuk usaha kuliner yang menopang perekonomian keluarga. Kelompok usaha ini berdiri sebagai salah satu upaya dalam menurunkan prevalensi stunting di daerah itu. Dengan perempuan sebagai aktor utama dalam menggerakkan ekonomi keluarga dan komunitas, sejalan dengan peningkatan gizi anak, kemandirian rumah tangga, serta penguatan jejaring sosial di tingkat masyarakat.

Lebih dari Sekadar Ekonomi

Pemberdayaan ekonomi hanyalah satu sisi dari upaya ini. Di berbagai KUEP dan KUMP, perempuan juga mendapat pelatihan tentang kesetaraan gender, kepemimpinan, serta mitigasi risiko bencana. Tujuannya jelas, membangun ketangguhan yang menyeluruh. Dengan kapasitas yang lebih kuat, perempuan tidak hanya bisa menghidupi keluarga, tetapi juga memimpin komunitas dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan risiko bencana.

Laporan World Bank (2021) menekankan, perempuan dengan kondisi ekonomi rentan memiliki risiko kematian lebih tinggi saat bencana karena keterbatasan akses informasi, sumber daya, dan dukungan sosial. Sebaliknya, ketika perempuan memiliki kemandirian ekonomi dan suara dalam pengambilan keputusan, daya tahan komunitas meningkat signifikan. Mereka bisa membangun jejaring usaha mikro tangguh bencana, mengelola dana darurat, bahkan menjadi pelatih atau pendamping komunitas lain.

Kolaborasi untuk Masa Depan yang Tangguh

Semua inisiatif ini tidak mungkin berjalan tanpa kerja bersama. Program-program CARE Indonesia terlaksana berkat dukungan pemerintah daerah, lembaga mitra, dan masyarakat setempat. Kolaborasi lintas sektor menjadi fondasi agar perempuan mendapat akses setara, perlindungan, dan ruang kepemimpinan dalam setiap situasi, termasuk di tengah krisis.

Ketika perempuan diberi kesempatan, mereka bukan hanya bertahan, tetapi juga memimpin perubahan. Dengan semangat #ActForHumanity dalam peringatan Hari Kemanusiaan Sedunia kali ini, perempuan kini berdiri di garda depan, membangun sistem kebencanaan yang lebih inklusif, adil, dan bebas kekerasan sekaligus meneguhkan harapan bahwa komunitas tangguh berawal dari ketangguhan perempuan.

 

Penulis: Kukuh Akhfad

Editor: Swiny Adestika

Perempuan Punya Suara: Peran Setara Mengubah Keluarga

Cerita

Hujan gerimis sore itu menyelimuti kawasan dataran tinggi Kecamatan Pangalengan, menghadirkan hawa dingin yang meresap ke bawah kulit. Di tengah rintik hujan dan kabut tipis yang menyelimuti sekitar, sebuah rumah menjadi tempat berlangsungnya percakapan hangat penuh makna. Di sanalah Wiwi Dewi, perempuan berusia 43 tahun yang akrab disapa Wiwi, bercerita tentang perjalanan sunyinya menuju keberanian.

“Mungkin karena sudah jadi seperti kebiasaan ya, saya sebagai istri cenderung lebih banyak diam meski saya tidak suka dengan perilaku suami. Saya dulu takut untuk bicara dan bertukar pikiran dengan suami. Jadi lebih banyak nangis dan di rumah jadi terasa sepi,” katanya sembari menghela napas.

Wiwi merupakan seorang istri dan ibu pekerja. Lebih dari 10 tahun Wiwi berprofesi sebagai pemetik teh di perkebunan milik PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) I Regional II yang ada di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Selama menjalani peran sebagai istri, ibu dan pekerja, Wiwi merasa ia lebih baik diam agar tidak terjadi konflik meski ia merasa tidak nyaman dengan situasi tertentu, termasuk dalam hubungannya dengan suami. Namun, Wiwi merasa ada perubahan pada dirinya setelah mengikuti pelatihan dalam program Community Development Forum (CDF) yang didampingi CARE Indonesia bersama mitra.

“Yang paling terkesan itu saat ada pelatihan tentang kesetaraan gender dan komunikasi. Di pelatihan itu saya baru tahu kalau perempuan itu punya suara dan berhak untuk diperlakukan setara, termasuk oleh pasangan,” tuturnya.

Wiwi bercerita, sebelum tergabung di CDF dan mendapatkan pelatihan, ia sering diam jika ada masalah dalam keluarga. Ketakutan membungkam keberaniannya untuk berkomunikasi dengan suaminya. “Takut salah, takut dimarahi. Kalau pun suami salah, saya juga gak berani untuk tegur. Setelah ikut program di CDF hampir dua tahun, saya belajar kalau komunikasi itu adalah hal yang penting. Saya juga jadi tahu kalau suami dan istri harus berbagi tugas dalam rumah tangga. Makanya saya pelan-pelan berani bilang ke bapak (suami),” tuturnya.

Sembari tersenyum, Wiwi menuturkan, perubahan pada suaminya tidak terjadi dalam semalam. Saat pertama kali ia mencoba berbicara lebih terbuka, sang suami, Saefullah hanya terdiam dan cemberut. “Awalnya memang suami saya diam saja waktu saya kasih penjelasan. Tapi lama-lama bapak mulai mendengarkan dan sekarang juga ikut bantu saya mengerjakan tugas-tugas rumah tangga seperti cuci baju, memasak, dan beberes rumah,” katanya.

Pada momen yang berbeda, Saefullah mengangguk mantap untuk berbagi tugas dengan istrinya. “Kalau saya gak bantu, saya gak tega lihat istri saya kerjakan sendiri. Jadi saya harus bantu, beban itu harus dibagi,” ujarnya. Baginya, keputusan untuk terlibat dalam pekerjaan domestik bukan karena disuruh, tapi karena ia sadar setelah isterinya berani berkomunikasi dengannya, bahwa pekerjaan rumah tidak dibebankan hanya pada istri, tetapi dibagi dengannya.

Lebih lanjut, Saefullah juga mendukung penuh keputusan istrinya untuk mengikuti berbagai agenda di CDF. Menurutnya program itu memberikan dampak positif bagi perkembangan istri dan keluarganya. “Saya senang istri saya semakin pintar. Jadi kalau dia sedang ikut kegiatan, saya yang antar dan jemput, terus kalau di rumah belum ada makanan, saya yang masak. Sekarang saya juga bantu istri untuk petik teh di kebun supaya kerjanya jadi lebih ringan dan dapat hasil yang lebih banyak,” katanya dengan bangga.

Perubahan ini tak hanya terasa dalam keseharian mereka berdua, tapi juga merambat ke anak-anak mereka. Anak laki-lakinya yang sedang menduduki bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) mulai belajar mencuci pakaiannya sendiri. Anak perempuan yang telah menikah diajari untuk berani berdiskusi dengan suami, menyelesaikan masalah dengan komunikasi, bukan diam.

Perubahan yang terjadi pada keluarga Wiwi membuktikan, pemahaman gender mampu mengubah wajah rumah tangga. Bukan untuk membalikkan peran atau memecah belah, melainkan untuk menciptakan keseimbangan, keadilan, dan penghargaan satu sama lain.

Di akhir obrolan, Wiwi dengan yakin menyampaikan, perempuan bisa berubah dan menjadi poros kehidupan rumah tangga jika mendapatkan hak dan akses untuk belajar. “Saya enggak menyesal ikut CDF walaupun capek karena pekerjaan. Karena di situ saya bisa belajar. Dulu pulang kerja cuma ngurus rumah. Sekarang saya punya suara,” pungkasnya.

 

Penulis: Kukuh Akhfad

Editor: Swiny Adestika

Kelompok Perempuan JEKATA Gelar Diskusi Kesetaraan Gender dan Keamanan Digital Perempuan

Galeri

Jaringan Pemberdayaan untuk Perempuan Tangguh (JEKATA) Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Sukabumi menggelar diskusi tentang perempuan dan kerentanan di ranah digital (18 & 24/8), bertepatan dengan HUT RI ke-80.

Diskusi yang diiniasi oleh CARE Indonesia (Yayasan CARE Peduli/YCP) dengan dukungan Traveloka ini sekaligus ajang silaturahmi tersebut membahas isu penipuan melalui media sosial, grooming daring, serta penyalahgunaan data pribadi. Pada kesempatan yang sama, kepada 100 peserta yang hadir, ajakan penghentian kerentanan perempuan dalam ruang digital turut disuarakan.

Keterlibatan laki-laki dari tokoh masyarakat setempat dalam kegiatan ini menunjukkan dukungan terhadap prinsip kesetaraan, yaitu berbagi peran secara adil. Turut disampaikan jika konstruksi gender tidak hanya membatasi perempuan, tetapi juga laki-laki untuk turut memahami tentang pembagian peran dan kesetaraan.

Keseruan kegiatan dilanjutkan dengan berbagai perlombaan yang menambah keakraban dan semangat kebersamaan seluruh anggota.

Sosialisasi KBG-KS Dorong Literasi Digital dan Lingkungan Kerja Aman bagi Pekerja

Galeri

Tim Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit dan tim Satuan Tugas Penanganan Kekerasan Berbasis Gender dan Kekerasan Seksual (Satgas KBG-KS) di PT Dasan Pan Pacific Indonesia melakukan sosialisasi kepada 200 pekerja terkait perlindungan perempuan di dunia maya hingga kesehatan pekerja memperingati HUT RI ke-80 (23/8).

Kegiatan ini merupakan inisiasi CARE Indonesia dengan dukungan Traveloka untuk mendukung literasi digital di lingkungan pekerja dan terwujudnya lingkungan kerja yang aman dan nyaman. Melalui lomba, kuis, dan pembagian flyer kepada pekerja, tim LKS-Bipartit dan tim Satgas KBG-KS mengajak seluruh peserta yang hadir untuk berani melaporkan kasus kekerasan yang terjadi pada pekerja baik di lingkungan kerja bahkan di dunia maya.

Panduan Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) Kabupaten Sumbawa Barat

Publikasi