Search
Close this search box.
Campaign

Kampanye Suarakan Tolak Kekerasan Terhadap Perempuan

Galeri

Memperingati Hari Pergerakan Perempuan Indonesia yang jatuh pada 22 Desember, Komunitas Pejuang Resiliensi Solidaritas Anti Kekerasan (Perisai) bersama Jaringan Pemberdayaan untuk Perempuan Tangguh (Jekata) Sukabumi dan Purwakarta didampingi CARE Indonesia melakukan jalan santai di Car Free Day Sudirman-Thamrin, Jakarta yang diikuti 40 peserta.

Asprasi juga disampaikan dengan pembacaan puisi, teatrikal, dan yel-yel yang bertema anti kekerasan terhadap perempuan. Lebih dari 100 aspirasi dan dukungan dari masyarakat ditulis di pohon harapan. Pada kesempatan ini, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi pun turut menyampaikan dukungannya.

YCP

Mengenang 20 Tahun Setelah Tsunami Asia: Kehancuran, Pemulihan, dan Ketangguhan

Cerita

[26 Desember 2024 – Bangkok, Thailand] – Dua puluh tahun yang lalu, dunia menyaksikan salah satu bencana paling dahsyat dalam sejarah modern. Pada 26 Desember 2004, gempa bumi dahsyat berkekuatan 9,1 skala Richter mengguncang lepas pantai Indonesia, memicu tsunami besar dengan gelombang setinggi 30 meter yang menghancurkan jutaan jiwa di 14 negara. Tsunami Samudra Hindia menyebabkan lebih dari 227.000 jiwa melayang, dengan Indonesia, Sri Lanka, dan Thailand sebagai wilayah yang paling parah terdampak.

Aceh, Indonesia

Aceh, Indonesia, mengalami kerugian terbesar, dengan sekitar 170.000 jiwa hilang. “Saya tiba di Aceh pada pertengahan Januari 2005, dan apa yang saya saksikan benar-benar di luar imajinasi,” kata Renee Picasso Manoppo, Manajer Kemanusiaan dan Tanggap Darurat di CARE Indonesia. “Seluruh bangunan rata dengan tanah, ladang menggantikan tempat yang dulunya rumah, dan tubuh manusia berserakan di mana-mana. Rasanya seperti semua harapan telah hilang.”

Tanggap darurat tsunami menghadapi tantangan besar. Ribuan orang kehilangan tempat tinggal, komunikasi hanya mengandalkan telepon satelit, dan koordinasi bantuan sangat sulit, dengan ratusan penerbangan tiba setiap hari di Banda Aceh. Meskipun menghadapi berbagai hambatan, CARE Indonesia menyediakan air bersih, sanitasi, perumahan, layanan kesehatan, dan dukungan mata pencaharian kepada lebih dari 350.000 orang di Banda Aceh, Aceh Besar, dan Pulau Simeulue, membuka jalan untuk pemulihan jangka panjang. Program terkait tsunami ini selesai pada tahun 2009, meninggalkan dampak yang bertahan lama di wilayah tersebut. “Hari ini, terutama Banda Aceh, telah mengalami kemajuan yang luar biasa,” kenang Renee. “Kesiapsiagaan bencana kini menjadi bagian dari kehidupan. Sekolah mengajarkan anak-anak cara merespons krisis, dan masyarakat lebih siap menghadapi tantangan di masa depan.”

Mullaitivu, Sri Lanka

Di Sri Lanka, tsunami merenggut 30.500 jiwa dan menyebabkan kehancuran besar-besaran. Mullaitivu, sebuah wilayah pesisir, adalah salah satu yang paling parah terdampak. “Ketika laut surut, kami pikir airnya mengering, tidak tahu apa yang akan datang. Ayah mertua saya menyelamatkan saya dan anak saya dengan berpegangan pada pohon, tetapi dia kehilangan nyawanya karena gelombang,” kata Vasthiampillai Jeyarani, seorang penyintas. Dia adalah salah satu dari banyak orang yang bekerja sama dengan CARE untuk membangun kembali rumah dan mendukung pemulihan jangka panjang di komunitasnya. Selain bantuan langsung, sebuah Pusat Manajemen Bencana tingkat distrik didirikan untuk mempersiapkan krisis di masa depan. Hal ini menjadi sangat penting selama Siklon Fengal, ketika peringatan dini menyelamatkan nyawa dan properti.

Hari ini, perempuan di Sri Lanka Utara berada di garis depan upaya pemulihan. Banyak dari mereka telah memulai usaha kecil, seperti produksi makanan dan kerajinan tangan, yang membantu menghidupi keluarga mereka dan meningkatkan ekonomi lokal.

Pantai Andaman, Thailand

Di Thailand, tsunami merenggut lebih dari 5.000 jiwa, menghancurkan pantai Andaman, sebuah tujuan wisata populer. Meskipun sebagian besar perhatian media selama tsunami difokuskan pada turis internasional yang berlibur di Thailand, keluarga nelayan lokal menghadapi dampak jangka panjang. Lebih dari 500 perahu nelayan, sepuluh kapal trawl, dan infrastruktur penting hancur, membuat banyak orang kehilangan rumah dan mata pencaharian.

Raks Thai Foundation (CARE Thailand) memfokuskan bantuan di daerah non-wisata seperti Krabi, Phang Nga bagian utara, dan Ranong, di mana bantuan terbatas, untuk mendukung komunitas rentan, termasuk masyarakat Moken; komunitas adat, dan pekerja migran. Untuk menghindari duplikasi dan inefisiensi dalam upaya bantuan, tim memperkenalkan dana bergulir milik komunitas. “Prinsipnya sederhana – memberikan uang tunai langsung kepada orang-orang terdampak, bukan barang bantuan yang telah dipilih sebelumnya,” kata Promboon Panitchpakdi, Direktur Eksekutif Raks Thai Foundation. Komunitas mengelola dana tersebut, menetapkan syarat pengembalian untuk memastikan keberlanjutan.

Bagi masyarakat Moken, komunitas pelaut adat, dana ini sangat transformatif, memungkinkan mereka memperbaiki perahu dan memulihkan cara hidup tradisional mereka. Inisiatif ini tidak hanya mendukung pemulihan langsung tetapi juga membangun dasar untuk ketahanan jangka panjang.

20 Tahun Setelah Tsunami Samudra Hindia

“Saat kita memperingati 20 tahun sejak tsunami dahsyat di Samudra Hindia, kita merefleksikan tragedi yang mengubah lanskap kemanusiaan global. Tsunami 2004 menjadi titik balik tidak hanya bagi CARE, tetapi juga bagi seluruh komunitas kemanusiaan. Kita belajar pentingnya koordinasi dan ketangguhan semangat manusia. Saat ini, kita menghadapi krisis yang semakin sering dan kompleks, diperburuk oleh perubahan iklim, yang secara tidak proporsional memengaruhi orang miskin dan rentan, terutama perempuan dan anak perempuan.

Di CARE, kami telah belajar bahwa menangani krisis kemanusiaan membutuhkan lebih dari sekadar bantuan langsung. Ini memerlukan dukungan pemulihan, membangun ketahanan, dan secara proaktif mempersiapkan guncangan di masa depan. Kami berkomitmen pada sistem peringatan dini berbasis komunitas, kesiapsiagaan bencana, dan perlindungan mata pencaharian. Seiring bertambahnya tantangan, tekad kami untuk membantu mereka yang paling terdampak oleh perubahan iklim untuk beradaptasi dan berkembang juga semakin kuat,” tutup Ramesh Singh, Direktur Regional Asia.

Gambar Tsunami

Tsunami di Indonesia – klik di sini
Tsunami di Thailand – klik di sini dan Pemulihan Thailand klik di sini
Untuk pertanyaan media, silakan hubungi:

Sarita Suwannarat, Penasihat Komunikasi Regional Asia
Email: Sarita.Suwannarat@care.org

 

20 years of Tsunami – Aceh, I

20 Tahun Tsunami – Aceh, Indonesia

Cerita

Pada 26 Desember 2004, dunia menyaksikan salah satu krisis kemanusiaan terburuk dalam sejarah—Tsunami Samudra Hindia. Aceh, Indonesia, adalah daerah yang paling parah terdampak. Di Indonesia saja, jumlah korban diperkirakan mencapai 170.000 orang, meninggalkan dampak yang mendalam bagi wilayah dan masyarakatnya. Di sini, kami membagikan percakapan dan refleksi dengan rekan-rekan kami di Indonesia saat mereka mengenang peristiwa 20 tahun yang lalu.

Menghadapi Dampak Langsung

“Saya tiba di Aceh pada pertengahan Januari 2005, dan apa yang saya saksikan sungguh di luar apa yang bisa saya bayangkan. Kehancuran terlihat sejauh mata memandang—bangunan-bangunan rata dengan tanah, ladang terbuka di tempat rumah dan bangunan sebelumnya berdiri, serta tubuh-tubuh berserakan. Skala kehancuran itu terasa seperti harapan untuk hidup telah hilang,” kata Renee Picasso Manoppo, Manajer Kemanusiaan dan Respons Darurat di Yayasan CARE Peduli (CARE Indonesia).

Meskipun ia tidak berada di CARE saat tsunami melanda, Renee bekerja di sektor kemanusiaan dan berkontribusi dalam upaya global untuk menyelamatkan nyawa di Indonesia. “Pekerjaan saya fokus pada distribusi bantuan untuk memenuhi kebutuhan mendesak, terutama pasokan air dan makanan, dengan air yang sangat dibutuhkan. Sebagian besar upaya kami terkonsentrasi di Banda Aceh, Calang, dan Meulaboh.”

Proses respons menghadapi tantangan besar, terutama terkait dengan tempat penampungan. Relokasi orang ke area baru sangat sulit, dan aspek hukum dalam membangun kembali rumah juga sulit, karena banyak rumah yang hancur total. Infrastruktur hancur, dan komunikasi hanya bergantung pada telepon satelit atau teknologi Code Division Multiple Access (CDMA), karena semua sinyal lainnya terputus. Hal ini membuat koordinasi sangat sulit, terutama karena ini adalah pengalaman pertama Indonesia dengan bencana sebesar ini. Permintaan logistik sangat besar, dengan ratusan penerbangan bantuan yang tiba setiap hari di Banda Aceh, menciptakan kemacetan dan semakin mempersulit upaya distribusi,” kenang Renee.

Tantangan dan Pemulihan

Pada 2006, selama fase pemulihan, kehancuran masih terlihat. “Kapal-kapal terdampar di atas rumah, dan kapal-kapal besar terjebak di tengah kota,” kata Awalia Murtiana, Manajer Program di Yayasan CARE Peduli (CARE Indonesia). “Selama saya berada di sana, gempa sering terjadi dan tidak dapat diprediksi—terjadi saat makan siang, tidur, atau bahkan saat rapat. Meskipun gempa itu tidak berlangsung lama, banyak warga yang masih trauma mendalam setiap kali tanah bergetar,” kenangnya.

Meskipun Awalia tidak berada di CARE pada saat itu, pekerjaannya fokus pada penanganan masalah kesehatan reproduksi di daerah yang terdampak tsunami, termasuk memperkuat kapasitas distrik lokal untuk mengelola sistem data kesehatan reproduksi, dan mendistribusikan kit kesehatan reproduksi yang penting kepada komunitas yang terdampak.

“Selama proses pembangunan kembali, warga setempat awalnya kesulitan beradaptasi dengan masuknya relawan dan pekerja dari seluruh dunia. Namun, kebutuhan besar akan tenaga kerja lokal mendorong ketahanan di antara komunitas. Banyak perempuan yang mengambil peran sebagai penjaga keamanan dan pekerjaan lainnya. Saya sangat terkesan melihat perempuan, yang biasanya bekerja di ladang, mulai merangkul peran-peran non-tradisional ini,” kenang Awalia.

Aceh Saat Ini – Warisan Ketahanan

“Perkembangan di Aceh sungguh luar biasa,” kata Renee. “Pengurangan risiko bencana berbasis komunitas telah berkembang pesat, dan kesiapsiagaan bencana kini tertanam dalam masyarakat. Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) sangat aktif, dengan fasilitas evakuasi, jalur, dan tanda-tanda yang tersebar di seluruh wilayah. Sekolah-sekolah bahkan telah memasukkan respons bencana ke dalam kurikulumnya, memastikan anak-anak lebih siap menghadapi krisis di masa depan,” tambahnya.

Museum Tsunami Aceh berfungsi sebagai pengingat yang mendalam akan masa lalu, sebuah tempat di mana pengunjung dapat menghadapi besarnya tragedi dan memetik pelajaran darinya. “Aceh telah melalui perjalanan panjang. Aceh kini lebih kuat dan lebih siap menghadapi tantangan di masa depan,” tambah Awalia.

CARE Indonesia merespons segera Tsunami Samudra Hindia 2004, memberikan bantuan yang menyelamatkan nyawa dan mendorong upaya pemulihan jangka panjang untuk komunitas yang terdampak. Program ini menjangkau lebih dari 350.000 orang di Aceh, menyediakan air bersih, sanitasi, tempat tinggal, dukungan mata pencaharian, dan layanan kesehatan. Program tsunami ini selesai pada 2009 dan menjadi landasan bagi upaya yang berkelanjutan, dengan CARE Indonesia terus mendukung komunitas yang rentan dan memperkuat ketahanan mereka terhadap bencana di masa depan.

Foto dari Indonesia: Klik di sini

Kredit foto: Renee Picasso Manoppo / Mei 2005