[26 Desember 2024 – Bangkok, Thailand] – Dua puluh tahun yang lalu, dunia menyaksikan salah satu bencana paling dahsyat dalam sejarah modern. Pada 26 Desember 2004, gempa bumi dahsyat berkekuatan 9,1 skala Richter mengguncang lepas pantai Indonesia, memicu tsunami besar dengan gelombang setinggi 30 meter yang menghancurkan jutaan jiwa di 14 negara. Tsunami Samudra Hindia menyebabkan lebih dari 227.000 jiwa melayang, dengan Indonesia, Sri Lanka, dan Thailand sebagai wilayah yang paling parah terdampak.
Aceh, Indonesia
Aceh, Indonesia, mengalami kerugian terbesar, dengan sekitar 170.000 jiwa hilang. “Saya tiba di Aceh pada pertengahan Januari 2005, dan apa yang saya saksikan benar-benar di luar imajinasi,” kata Renee Picasso Manoppo, Manajer Kemanusiaan dan Tanggap Darurat di CARE Indonesia. “Seluruh bangunan rata dengan tanah, ladang menggantikan tempat yang dulunya rumah, dan tubuh manusia berserakan di mana-mana. Rasanya seperti semua harapan telah hilang.”
Tanggap darurat tsunami menghadapi tantangan besar. Ribuan orang kehilangan tempat tinggal, komunikasi hanya mengandalkan telepon satelit, dan koordinasi bantuan sangat sulit, dengan ratusan penerbangan tiba setiap hari di Banda Aceh. Meskipun menghadapi berbagai hambatan, CARE Indonesia menyediakan air bersih, sanitasi, perumahan, layanan kesehatan, dan dukungan mata pencaharian kepada lebih dari 350.000 orang di Banda Aceh, Aceh Besar, dan Pulau Simeulue, membuka jalan untuk pemulihan jangka panjang. Program terkait tsunami ini selesai pada tahun 2009, meninggalkan dampak yang bertahan lama di wilayah tersebut. “Hari ini, terutama Banda Aceh, telah mengalami kemajuan yang luar biasa,” kenang Renee. “Kesiapsiagaan bencana kini menjadi bagian dari kehidupan. Sekolah mengajarkan anak-anak cara merespons krisis, dan masyarakat lebih siap menghadapi tantangan di masa depan.”
Mullaitivu, Sri Lanka
Di Sri Lanka, tsunami merenggut 30.500 jiwa dan menyebabkan kehancuran besar-besaran. Mullaitivu, sebuah wilayah pesisir, adalah salah satu yang paling parah terdampak. “Ketika laut surut, kami pikir airnya mengering, tidak tahu apa yang akan datang. Ayah mertua saya menyelamatkan saya dan anak saya dengan berpegangan pada pohon, tetapi dia kehilangan nyawanya karena gelombang,” kata Vasthiampillai Jeyarani, seorang penyintas. Dia adalah salah satu dari banyak orang yang bekerja sama dengan CARE untuk membangun kembali rumah dan mendukung pemulihan jangka panjang di komunitasnya. Selain bantuan langsung, sebuah Pusat Manajemen Bencana tingkat distrik didirikan untuk mempersiapkan krisis di masa depan. Hal ini menjadi sangat penting selama Siklon Fengal, ketika peringatan dini menyelamatkan nyawa dan properti.
Hari ini, perempuan di Sri Lanka Utara berada di garis depan upaya pemulihan. Banyak dari mereka telah memulai usaha kecil, seperti produksi makanan dan kerajinan tangan, yang membantu menghidupi keluarga mereka dan meningkatkan ekonomi lokal.
Pantai Andaman, Thailand
Di Thailand, tsunami merenggut lebih dari 5.000 jiwa, menghancurkan pantai Andaman, sebuah tujuan wisata populer. Meskipun sebagian besar perhatian media selama tsunami difokuskan pada turis internasional yang berlibur di Thailand, keluarga nelayan lokal menghadapi dampak jangka panjang. Lebih dari 500 perahu nelayan, sepuluh kapal trawl, dan infrastruktur penting hancur, membuat banyak orang kehilangan rumah dan mata pencaharian.
Raks Thai Foundation (CARE Thailand) memfokuskan bantuan di daerah non-wisata seperti Krabi, Phang Nga bagian utara, dan Ranong, di mana bantuan terbatas, untuk mendukung komunitas rentan, termasuk masyarakat Moken; komunitas adat, dan pekerja migran. Untuk menghindari duplikasi dan inefisiensi dalam upaya bantuan, tim memperkenalkan dana bergulir milik komunitas. “Prinsipnya sederhana – memberikan uang tunai langsung kepada orang-orang terdampak, bukan barang bantuan yang telah dipilih sebelumnya,” kata Promboon Panitchpakdi, Direktur Eksekutif Raks Thai Foundation. Komunitas mengelola dana tersebut, menetapkan syarat pengembalian untuk memastikan keberlanjutan.
Bagi masyarakat Moken, komunitas pelaut adat, dana ini sangat transformatif, memungkinkan mereka memperbaiki perahu dan memulihkan cara hidup tradisional mereka. Inisiatif ini tidak hanya mendukung pemulihan langsung tetapi juga membangun dasar untuk ketahanan jangka panjang.
20 Tahun Setelah Tsunami Samudra Hindia
“Saat kita memperingati 20 tahun sejak tsunami dahsyat di Samudra Hindia, kita merefleksikan tragedi yang mengubah lanskap kemanusiaan global. Tsunami 2004 menjadi titik balik tidak hanya bagi CARE, tetapi juga bagi seluruh komunitas kemanusiaan. Kita belajar pentingnya koordinasi dan ketangguhan semangat manusia. Saat ini, kita menghadapi krisis yang semakin sering dan kompleks, diperburuk oleh perubahan iklim, yang secara tidak proporsional memengaruhi orang miskin dan rentan, terutama perempuan dan anak perempuan.
Di CARE, kami telah belajar bahwa menangani krisis kemanusiaan membutuhkan lebih dari sekadar bantuan langsung. Ini memerlukan dukungan pemulihan, membangun ketahanan, dan secara proaktif mempersiapkan guncangan di masa depan. Kami berkomitmen pada sistem peringatan dini berbasis komunitas, kesiapsiagaan bencana, dan perlindungan mata pencaharian. Seiring bertambahnya tantangan, tekad kami untuk membantu mereka yang paling terdampak oleh perubahan iklim untuk beradaptasi dan berkembang juga semakin kuat,” tutup Ramesh Singh, Direktur Regional Asia.
Gambar Tsunami
Tsunami di Indonesia – klik di sini
Tsunami di Thailand – klik di sini dan Pemulihan Thailand klik di sini
Untuk pertanyaan media, silakan hubungi:
Sarita Suwannarat, Penasihat Komunikasi Regional Asia
Email: Sarita.Suwannarat@care.org