Pada 26 Desember 2004, dunia menyaksikan salah satu krisis kemanusiaan terburuk dalam sejarah—Tsunami Samudra Hindia. Aceh, Indonesia, adalah daerah yang paling parah terdampak. Di Indonesia saja, jumlah korban diperkirakan mencapai 170.000 orang, meninggalkan dampak yang mendalam bagi wilayah dan masyarakatnya. Di sini, kami membagikan percakapan dan refleksi dengan rekan-rekan kami di Indonesia saat mereka mengenang peristiwa 20 tahun yang lalu.
Menghadapi Dampak Langsung
“Saya tiba di Aceh pada pertengahan Januari 2005, dan apa yang saya saksikan sungguh di luar apa yang bisa saya bayangkan. Kehancuran terlihat sejauh mata memandang—bangunan-bangunan rata dengan tanah, ladang terbuka di tempat rumah dan bangunan sebelumnya berdiri, serta tubuh-tubuh berserakan. Skala kehancuran itu terasa seperti harapan untuk hidup telah hilang,” kata Renee Picasso Manoppo, Manajer Kemanusiaan dan Respons Darurat di Yayasan CARE Peduli (CARE Indonesia).
Meskipun ia tidak berada di CARE saat tsunami melanda, Renee bekerja di sektor kemanusiaan dan berkontribusi dalam upaya global untuk menyelamatkan nyawa di Indonesia. “Pekerjaan saya fokus pada distribusi bantuan untuk memenuhi kebutuhan mendesak, terutama pasokan air dan makanan, dengan air yang sangat dibutuhkan. Sebagian besar upaya kami terkonsentrasi di Banda Aceh, Calang, dan Meulaboh.”
Proses respons menghadapi tantangan besar, terutama terkait dengan tempat penampungan. Relokasi orang ke area baru sangat sulit, dan aspek hukum dalam membangun kembali rumah juga sulit, karena banyak rumah yang hancur total. Infrastruktur hancur, dan komunikasi hanya bergantung pada telepon satelit atau teknologi Code Division Multiple Access (CDMA), karena semua sinyal lainnya terputus. Hal ini membuat koordinasi sangat sulit, terutama karena ini adalah pengalaman pertama Indonesia dengan bencana sebesar ini. Permintaan logistik sangat besar, dengan ratusan penerbangan bantuan yang tiba setiap hari di Banda Aceh, menciptakan kemacetan dan semakin mempersulit upaya distribusi,” kenang Renee.
Tantangan dan Pemulihan
Pada 2006, selama fase pemulihan, kehancuran masih terlihat. “Kapal-kapal terdampar di atas rumah, dan kapal-kapal besar terjebak di tengah kota,” kata Awalia Murtiana, Manajer Program di Yayasan CARE Peduli (CARE Indonesia). “Selama saya berada di sana, gempa sering terjadi dan tidak dapat diprediksi—terjadi saat makan siang, tidur, atau bahkan saat rapat. Meskipun gempa itu tidak berlangsung lama, banyak warga yang masih trauma mendalam setiap kali tanah bergetar,” kenangnya.
Meskipun Awalia tidak berada di CARE pada saat itu, pekerjaannya fokus pada penanganan masalah kesehatan reproduksi di daerah yang terdampak tsunami, termasuk memperkuat kapasitas distrik lokal untuk mengelola sistem data kesehatan reproduksi, dan mendistribusikan kit kesehatan reproduksi yang penting kepada komunitas yang terdampak.
“Selama proses pembangunan kembali, warga setempat awalnya kesulitan beradaptasi dengan masuknya relawan dan pekerja dari seluruh dunia. Namun, kebutuhan besar akan tenaga kerja lokal mendorong ketahanan di antara komunitas. Banyak perempuan yang mengambil peran sebagai penjaga keamanan dan pekerjaan lainnya. Saya sangat terkesan melihat perempuan, yang biasanya bekerja di ladang, mulai merangkul peran-peran non-tradisional ini,” kenang Awalia.
Aceh Saat Ini – Warisan Ketahanan
“Perkembangan di Aceh sungguh luar biasa,” kata Renee. “Pengurangan risiko bencana berbasis komunitas telah berkembang pesat, dan kesiapsiagaan bencana kini tertanam dalam masyarakat. Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) sangat aktif, dengan fasilitas evakuasi, jalur, dan tanda-tanda yang tersebar di seluruh wilayah. Sekolah-sekolah bahkan telah memasukkan respons bencana ke dalam kurikulumnya, memastikan anak-anak lebih siap menghadapi krisis di masa depan,” tambahnya.
Museum Tsunami Aceh berfungsi sebagai pengingat yang mendalam akan masa lalu, sebuah tempat di mana pengunjung dapat menghadapi besarnya tragedi dan memetik pelajaran darinya. “Aceh telah melalui perjalanan panjang. Aceh kini lebih kuat dan lebih siap menghadapi tantangan di masa depan,” tambah Awalia.
CARE Indonesia merespons segera Tsunami Samudra Hindia 2004, memberikan bantuan yang menyelamatkan nyawa dan mendorong upaya pemulihan jangka panjang untuk komunitas yang terdampak. Program ini menjangkau lebih dari 350.000 orang di Aceh, menyediakan air bersih, sanitasi, tempat tinggal, dukungan mata pencaharian, dan layanan kesehatan. Program tsunami ini selesai pada 2009 dan menjadi landasan bagi upaya yang berkelanjutan, dengan CARE Indonesia terus mendukung komunitas yang rentan dan memperkuat ketahanan mereka terhadap bencana di masa depan.
Foto dari Indonesia: Klik di sini
Kredit foto: Renee Picasso Manoppo / Mei 2005