Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi masalah serius di Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis oleh Komnas Perempuan pada tahun 2024, terdapat 34.682 perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan. Kekerasan seksual mencatatkan angka tertinggi, yaitu 15.621 kasus. Sementara kekerasan psikis tercatat sebanyak 12.878 kasus, dan kekerasan fisik sebanyak 11.099 kasus. Di samping itu, terdapat juga jenis kekerasan lainnya yang mencapai 6.897 kasus. Tindak kekerasan ini tidak hanya terjadi di dalam rumah tangga, tetapi juga di ranah publik seperti tempat kerja. Pada tahun 2019, Komnas Perempuan melaporkan 2.988 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di lingkungan rumah tangga, sementara 2.521 kasus lainnya terjadi di lingkungan komunitas, termasuk di tempat kerja.
Salah satu bentuk kekerasan yang kerap terjadi adalah Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender (KPBG) di industri garmen, yang merupakan ancaman serius bagi para pekerjanya. Berdasarkan data dari Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), pada tahun 2016, pelecehan seksual banyak terjadi di pabrik garmen, dengan 99% pekerjanya adalah perempuan.
Ima Trisnawati, anggota Lembaga Kerja Sama Bipartit (LKS Bipartit) yang juga merupakan tim penanganan kasus KPBG di PT Dasan Pan Pasific Indonesia, menyampaikan, kesadaran dan partisipasi dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk menciptakan ruang dan tempat kerja yang aman bagi pekerja, khususnya pekerja perempuan. Menurut Ima, tantangan yang dihadapi adalah rendahnya laporan dari korban terhadap tindak kekerasan yang dialami. “Korban sering merasa tidak percaya diri dan takut disalahkan. Oleh karena itu, keberadaan LKS Bipartit dan tim penanganan kasus KPBG sangat penting untuk melindungi korban,” ujarnya.
Senada dengan Ima, Maksimus Takake, Manajer HRD PT Dasan Pan Pasific Indonesia, menyampaikan, tindakan Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender (KPBG) harus ditindak tegas. Menurutnya, LKS Bipartit, yang terdiri dari pengusaha, pekerja, dan pengurus LKS Bipartit, dapat menjadi solusi untuk menciptakan tempat kerja yang aman bagi perempuan. “LKS Bipartit harus dapat menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi di perusahaan. Proses penyelesaian kasus juga perlu disampaikan kepada manajemen untuk mencari solusi yang tepat. Kami mendukung kesetaraan gender dengan menciptakan tempat kerja yang nyaman, bebas dari kekerasan seksual,” jelasnya.
Tidak hanya kekerasan yang dialami di tempat kerja, rendahnya laporan dari korban terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami juga menjadi masalah yang cukup tinggi di Indonesia. Penelitian Universitas Muhammadiyah Palembang tahun 2023 menyebutkan, banyak korban KDRT yang enggan melapor karena tidak memahami undang-undang yang ada, merasa malu, atau menganggap kekerasan tersebut sebagai hal yang wajar dalam rumah tangga. Banyak pula yang memilih untuk tidak melapor demi kepentingan anak-anak mereka.
Melihat fakta ini, Badriah, Anggota Jaringan Pemberdayaan Untuk Perempuan Tangguh (JEKATA) di Desa Bojonglongok, Kabupaten Sukabumi, meyampaikan kesadaran dan dukungan dari masyarakat sangat diperlukan untuk melawan kasus KDRT. “Sangat penting sekali, karena bisa menolong korban dari kekerasan berikutnya dan juga bisa mencegah agar tidak ada lagi kekerasan yang serupa di lingkungannya. Kami juga mendampingi dua orang korban kasus KDRT untuk melaporkan kejadian yang dialaminya ke kepolisian,” ujarnya.
JEKATA seperti disampaikan Badriah menjadi support system dari dan untuk masyarakat. Dibentuk dari dampingan CARE Indonesia, kelompok perempuan di JEKATA fokus pada pada pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Awalia Murtiana, Program Manager Yayasan CARE Peduli (YCP), menjelaskan, “JEKATA terlibat dalam pendampingan dan penanganan kasus secara terpadu, baik di level keluarga, komunitas, maupun di tempat kerja terkait KPBG,” jelasnya.
Saat ini ujar Awalia, JEKATA telah hadir di Kabupaten Sukabumi dan Purwakarta, dengan total anggota mencapai 520 orang. Keanggotaan JEKATA terbuka untuk perempuan pekerja formal, informal, maupun ibu rumah tangga. JEKATA juga aktif dalam berbagai kegiatan pemberdayaan perempuan, seperti sekolah perempuan, pelatihan memasak, pelatihan pemberdayaan hukum, serta advokasi dan penanganan kasus. “JEKATA juga terlibat dalam tindak lanjut kasus KPBG ke pihak kepolisian atau pihak berwenang lainnya. Harapannya, perempuan yang menjadi korban KDRT atau kekerasan lainnya bisa mendapatkan keadilan dan keamanan,” ujarnya.
Kasus kekerasan terhadap perempuan, baik di dalam rumah tangga maupun di tempat kerja, memerlukan perhatian dan aksi nyata dari berbagai pihak. Melalui kesadaran bersama di momentum peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ini pendampingan yang tepat serta pemberdayaan perempuan, dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung kesetaraan gender. Yuk berani bersuara, melawan kekerasan, dan memberikan dukungan kepada korban kekerasan, khususnya kekerasan terhadap perempuan agar memperoleh keadilan yang seharusnya diterima.
Penulis: Kukuh A. Tohari
Editor: Swiny Adestika