Keterlibatan perempuan di ruang pengambilan keputusan di Indonesia masih memerlukan perjuangan yang cukup panjang. Menurut data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia tahun 2023, jumlah perempuan yang menjabat pada posisi manajerial sebanyak 35,02 persen. Kecilnya keterwakilan perempuan juga terjadi pada susunan kabinet Merah Putih 2024 yang berjumlah 10,42 persen, dari 48 menteri yang ada, hanya memiliki lima orang menteri perempuan. Sehingga ketelibatan dan keterwakilan perempuan untuk menjadi pemimpin harus didorong ke arah yang lebih baik melalui kebijakan pemerintah dan juga perubahan cara berpikir masyarakat.
Novita Anggraeni, Gender and Social Inclusion Specialist Yayasan CARE Peduli (YCP) menjelaskan, rendahnya jumlah partisipasi perempuan dalam ruang pengambil keputusan dipengaruhi oleh faktor sosial dan kultural masyarakat yang masih sangat kental dengan dominasi laki-laki. “Pandangan ini juga masih melekat serta memengaruhi pengambilan keputusan di ruang publik seperti di masyarakat, tempat kerja, bahkan di politik. Laki-laki masih diberi ruang dan kewenangan lebih besar sedangkan perempuan seringkali harus berusaha lebih keras untuk bisa mengambil peran strategis atau mengambil peran dalam pengambilan keputusan di semua ruang tadi,” katanya.
Lebih lanjut, Novi menyampaikan pandangan masyarakat tentang terwujudnya pemimpin perempuan terus terjadi serta menuju ke arah yang baik. “Meski belum ideal, tetapi sekarang pola pikir masyarakat tentang kepemimpinan perempuan sudah mulai berubah. Demokrasi di Indonesia adalah sebuah ruang pertempuran besar bagi kepemimpinan perempuan. Perempuan memiliki potensi dan ruang untuk menunjukan kualitasnya sebagai pemimpin di ruang publik,” lanjutnya.
Novi juga menyampaikan, upaya untuk mengubah pola pikir dan membangun persepsi baru tentang kepemimpinan perempuan membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan harus melibatkan generasi muda. “Mendorong perspektif perempuan dan laki laki sebagai mitra setara dan menghargai serta mengapresiasi berdasar kualitas manusia tersebut bukan berdasar jenis kelamin serta label-label tradisional yang bias gender,” imbuhnya.
Dukungan terhadap perempuan sebagai pengambil keputusan juga tertuang melalui kebijakan pemerintah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 yang mengamanatkan kepada partai politik peserta Pemilu untuk memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya sebanyak 30 persen. Menurut data yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), keterwakilan perempuan di parlemen terus mengalami pertumbuhan. Pada tahun 1977 perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berjumlah 8,04 persen, lalu pada tahun 2024 berubah menjadi 21,9 persen.
Jalan Pemimpin Perempuan di Akar Rumput
Sejalan dengan gagasan pemerintah, Rifa Zunatin anggota Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP) Perempuan Tangguh Peduli di Kabupaten Musi Banyuasin menegaskan, perempuan memang seharunya ikut dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, mulai dari lingkungan tempatnya tinggal. “Contohnya dalam pembangunan di desa, itu harus mengakomodir kebutuhan perempuan. Maka dari itu perempuan harus diberikan ruang untuk menyampaikannya,” tegas Rifa.
Menurut Rifa, perempuan juga memiliki kualitas dan kemampuan yang sama dengan laki-laki untuk menjadi pemimpin seperti ketegasan, empati, logika, dan manajemen. Sehingga ia mendorong dirinya dan perempuan di sekitarnya untuk mengambil peran di masyarakat. “Perempuan itu harus berani untuk menyuarakan pendapatnya. Bahkan tidak masalah jika perempuan menjabat sebagai kepala dusun (kadus), ketua rukun tetangga (RT), dan sebagainya. Bagi saya, kemampuan untuk melihat suatu hal secara detail menjadi keunggulan perempuan dibandingkan laki-laki.
Lebih lanjut, Rifa menjelaskan, untuk membangun kesadaran kolektif tentang kepemimpinan perempuan dibutuhkan sosialisasi yang rutih dan diterima oleh banyak orang. Sehingga, ia aktif mengikuti berbagai kelompok serta mengajak perempuan untuk berpartisipasi di dalamnya. “Saya masuk ke banyak perkumpulan seperti pengajian, perkumpulan pemudi, kelompok wanita tani (KWT), dan kelompok usaha ekonomi peremuan (KUEP). Saya juga mendorong perempuan untuk mengikuti berbagai kegiatan, caranya dengan menyampaikan hal apa yang akan dipelajari dan didapat jika mengikuti organisasi itu,” imbuhnya.
Rifa juga menyadari jika seorang perempuan ingin menjadi pemimpin atau masuk ke ruang pengambil keputusan memerlukan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Pasalnya, ia pernah mendapatkan mendapatkan selentingan miring karena sering berkegiatan di luar rumah terlalu lama. “Sebagai seorang ibu dan istri, dukungan dari suami dan anak menjadi sangat penting. Jika tidak ada dukungan dari mereka, tentu saja saya tidak bisa beraktivitas di luar rumah. Bagi saya keterbukaan pikiran dan dukungan dari tetangga juga penting bagi aktivitas saya,” pungkas Rifa.
Penulis: Kukuh A. Tohari
Editor: Swiny Adestika