Search
Close this search box.

Upaya Percepatan Penurunan Stunting: 132 Remaja KSB Belajar tentang Kesehatan Reproduksi untuk Mencegah Perkawinan Anak

Share it with others

Wadah Edukasi Melalui Kelas Lingkar Remaja

Studi menunjukkan bahwa kondisi perempuan selama kehamilan dan persalinan adalah faktor yang penting untuk dipantau karena dapat berkontribusi pada stunting, seperti dikutip dari laman Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Namun kondisi kehamilan perempuan akan lebih rentan apabila terjadi di usia remaja, terutama apabila terjadi kekurangsiapan secara fisik dan psikis dalam pola asuh. Edukasi ke kelompok remaja menjadi strategis sebagai peer-to-peer sebagai pembentukan platform atau wadah remaja bisa bercerita banyak hal untuk ruang aman terutama untuk pencegahan perkawinan usia anak. Lebih lanjut ditegaskan oleh Hasto Wardoyo, Ketua BKKBN menyatakan bahwa pelibatkan remaja dalam upaya mengatasi stunting menjadi krusial karena remaja merupakan pelopor inovasi dan agen perubahan untuk Indonesia salah satunya di Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.

“Upaya untuk mempercepat penurunan stunting, terutama di Nusa Tenggara Barat yang memiliki tingkat risiko tinggi perlu menggunakan pendekatan holistik, tidak hanya penanganan tetapi juga termasuk melakukan pencegahan. Salah satunya dengan pencegahan perkawinan anak pada usia remaja, khususnya mereka yang berusia antara 12 hingga 18 tahun,” ujar Muhammad Ikraman, Project Manager Yayasan CARE Peduli yang disampaikan pada kegiatan Lingkar Remaja di Kecamatan Maluk, Kabupaten Sumbawa Barat (1-3/2). Edukasi pada remaja SMP dan SMA ini menjadi bagian dari rangkaian Program Penurunan Stunting untuk Generasi Sehat, Cerdas, dan Tangguh, yang menjadi program kolaborasi antara PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMMAN), Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) dan Yayasan CARE Peduli (YCP).

132 remaja dari SMP Negeri 1 Maluk, SMP dan SMA IT Binaul Ummah Maluk, antusias mengikuti edukasi terutama seputar kesehatan reproduksi. Tidak hanya itu, penjelasan mengenal tubuh mereka sendiri, hubungan antar gender, pemahaman gender itu sendiri, relasi kuasa, kekerasan berbasis gender, pengenalan alat kontrasepsi, serta hak-hak yang harus dihormati sebagai individu juga disampaikan. Selain itu, pemahaman tentang dampak perilaku seks beresiko seks bebas, penyakit menular seksual seperti Infeksi Menular Seksual, HIV dan AIDS, serta masalah perundungan/bullying, pelecehan seksual dan kekerasan dalam pacaran misalnya atau apa yang terjadi dalam keluarga di bahas secara interaktif, topik-topik tersebut mendapat respon positif dari peserta.

“Kami bisa saling berbagi cerita sebagai remaja, sehingga saya merasa lebih nyaman untuk mengungkapkan pendapat saya dan memberikan masukan terhadap topik yang dibahas,” ungkap Mulyana, siswi kelas 8 di SMP Negeri 1 Maluk. Mulyana menambahkan dirinya lebih memahami dampak perkawinan usia anak dari berbagai sisi seperti sosial dan ekonomi setelah mengikuti kegiatan tersebut.

Sebagai referensi, Indonesia menduduki peringkat empat di tingkat global dalam hal perkawinan anak, dengan jumlah kasus mencapai 25,53 juta pada tahun 2023, dilansir dari UNICEF. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi Provinsi dengan angka kasus perkawinan anak paling tinggi, yaitu 16,23 persen, pada perempuan sebelum usia 18 tahun. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, menyatakan perkawinan anak tidak hanya melanggar hak asasi manusia dan hak anak, tetapi juga memiliki dampak serius terhadap kesehatan dan perkembangan anak, salah satunya adalah risiko stunting.

“Kegiatan ini sangat membantu dalam pencegahan perkawinan usia anak di kalangan siswa kami. Banyak di antara mereka yang sebelumnya terlibat dalam perkawinan saat masih berstatus pelajar SMP, hal ini karena minimnya pemahaman mengenai risiko yang terkait dengan perkawinan usia anak. Selain itu, kami juga memperoleh pencerahan tentang strategi mengatasi kasus bullying dan pencegahan kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah,” ungkap Jamhuri, Guru Bimbingan Konseling (BK) di SMP Negeri 1 Maluk.

Penyampaian materi secara interaktif pada Lingkar Remaja menurut Awalia Murtiana, Program Manager YCP, berhasil meningkatkan partisipasi aktif peserta remaja. “Para peserta remaja tidak hanya mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam, tetapi juga merasa lebih termotivasi dan bersemangat untuk aktif dalam sesi-sesi pembahasan topik yang berkaitan dengan kehidupannya dimasa remaja. Harapannya dari kelas ini, para remaja di KSB dapat lebih memahami pentingnya menjaga kesehatan seksual dan reproduksi mereka, lebih bisa memahami kesetaraan gender, serta menghargai hak-hak sebagai individu. Dengan memahamkan hal-hal tersebut diharapkan sikap dan perilaku remaja berubah. Tentunya, tujuan utamanya adalah menjadikan teman-teman remaja menjadi agent of change yang gender responif untuk terlibat dalam partisipasi bermakna dalam pencegahan terjadinya perkawinan anak sehingga dapat berkontribusi dalam menurunkan angka stunting di Indonesia,” tegas Awalia.

Upaya penurunan stunting sudah menjadi komitmen pemerintah, sekolah, dan masyarakat di Kabupaten Sumbawa Barat. Dengan disahkannya Peraturan Desa (Perdes) tentang Perlindungan dan Pencegahan Perkawinan Anak pada bulan Agustus dan September 2023 di Desa Maluk dan Desa Pasir Putih yang di juga difasilitasi dan didampingi oleh YCP, menegaskan komitmen melindungi hakanak dan remaja dalam mencegah terjadinya perkawinan usia anak, yang menjadi salah satu faktor risiko dalam stunting. “Kami sangat mendukung terbentuknya Forum Anak Desa dan terbitnya Perdes Perlindungan anak ini, sehingga anak-anak terlindungi hak-haknya dan mereka mempunyai peran aktif sebagai Pelopor dan Pelapor. Perdes ini juga akan kami sebarkan dan replikasi ke desa-desa lain sehingga dapat menjadi contoh dan pembelajaran bagi desa lainnya,” tutur Kalsum, Kepala Bidang Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak KSB kepada tim YCP.

Penulis: Nurainy Darono, Editor: Swiny Adestika

Berita Terkait Lainnya