Pendapatan daerah dan negara lebih banyak disokong dari pekerja di sektor informal di Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 menunjukkan hingga 68% pekerja di sektor informal adalah pekerja perempuan, seperti disampaikan Mike Verawati Tangka, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia dalam diskusi daring bertajuk #GenerasiInspiraSHe: Menjadi Perempuan Mandiri Ekonomi (13/3). Sekitar 100 peserta antusias mengikuti diskusi yang diselenggarakan oleh Yayasan CARE Peduli (YCP) untuk memeriahkan Hari Perempuan Internasional pada tanggal 8 Maret lalu. Hadir pula sebagai narasumber, Irene Komala, Content Creator @Pinktravelogue dan Nora Erika, Anggota Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP) dari Desa Sri Mulyo, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Lebih lanjut Mike menjelaskan bahwa pekerja perempuan di Indonesia juga mendominasi di industri kreatif. “Sebenarnya perempuan kalau mau dilihat secara ekonomi ini sebenarnya memberikan bukti bahwa perempuan Indonesia itu geliat ekonominya sudah sangat baik dan sangat dinamis. Bahkan sebagian besar ekonomi yang ditunjang dari sektor informal tersebut ada di pedesaan,” ujarnya. Pekerja perempuan di Indonesia, di katakan Mike juga mendominasi sebagai pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Menurut Mike, berbagai dukungan diberikan oleh banyak pihak seperti pelatihan serta akses permodalan kepada pekerja di UMKM.
Senada dengan Mike, Nora Erika menyampaikan, kelompok usahanya berkembang setelah mendapatkan dukungan perusahaan dan pendampingan dari YCP. Berbagai pelatihan dikatakan Nora diterima oleh anggota kelompok usahanya, termasuk pengembangan usaha simpan pinjam serta pembuatan kebun nutrisi yang ditanami berbagai sayuran di pekarangan rumah. “Usaha-usaha ini adalah sebagai langkah sumber pendapatan bagi keluarga dengan manfaatkan limbah lidi sawit ya. Dengan adanya kelompok ini dan pendampingan yang diberikan, secara pribadi saya merasakan dari sisi sumber daya manusia ada peningkatan. Awalnya saya sedikit gugup berbicara di depan umum. Tapi Alhamdulillah, dengan pelatihan dari YCP saya mulai percaya diri, berani tampil dan menyuarakan pendapat di depan umum,” ujar Nora. Rasa percaya diri yang muncul di dalam diri Nora membuatnya yang semula hanya menjadi peserta, kini telah menjadi pelatih yang turut menularkan keahlian yang dimilikinya ke kelompok usaha di desa lain.
Tidak hanya peningkatan pada kepercayaan dirinya, menurut Nora keberhasilannya mengembangkan usaha bersama kelompoknya juga karena sudah adanya dukungan dari pasangan dan keluarganya. “Alhamdulillah semua anggota dan pengurus juga pasangan, suami kami masing-masing sudah dibekali dari YCP dengan pemahaman terkait kesetaraan gender dan kekerasan berbasis gender. Sudah mulai diterapkan di masing-masing keluarga, jadi Alhamdulillah sekali pasangan kami masing-masing sudah memahami itu semua jadi pekerjaan rumah cukup terbantu,” ungkapnya.
Meski demikian Nora mengaku tantangan dari lingkungan sekitar masih ia rasakan. Stigma yang melekat di desanya bahwa perempuan lebih baik di rumah membuat dirinya pernah menerima cemoohan tetangga. “Pasti ada tetangga yang bilang, terlalu banyak kesibukan. Tapi karena suami mendukung dan selagi kita masih di rel sebagai ibu, masih bisa membedakan pekerjaan rumah dan pekrjaan luar, Insya Allah semuanya aman. Karena kita tidak bisa menutup orang lain berkomentar,” ujarnya.
Tantangan menerima cemoohan juga dirasakan Irene Komala. Sebagai content creator travel, Irene mengaku kerap mendapat komentar negatif baik dari netizen di dalam konten yang ia buat, dan di dunia nyata ketika ia melakukan perjalanan. “Di era digital ini kita tuh enggak bisa menahan komen-komen negatif dan persepsi orang tuh pasti akan selalu ada. Yang penting bagaimana kita menanggapi dan kita tahu apa yang kita lakukan ini benar. Harus berani speak up kalau kita tidak salah,” ujarnya. Irene menambahkan di kanal digital saat ini sudah ada fitur dalam aplikasi media sosial yang otomatis menghapus atau mem-blokir komentar dengan kata-kata negatif, sehingga bisa mencegah terjadinya pelecehan di ranah digital.
Upaya mencegah terjadinya pelecehan dan kekerasan berbasis gender di tempat kerja bagi pekerja perempuan menurut Mike perlu dilakukan bersama oleh banyak pihak. Para pekerja perempuan dikatakan perlu membentuk jejaring dan membangun kapasitas diri sendiri untuk berani bersuara jika mengalami pelecehan atau kekerasan. Mike menambahkan, adanya mekanisme maupun sistem yang mendukung pencegahan kekerasan dan pelecehan di tempat kerja menjadi penting. “Banyak sekali organisasi masyarakat yang fokus ke isu perempuan yang juga bisa menjadi corong utama atau menjadi lapisan pertama ketika misalnya ada pekerja perempuan yang mengalami kekerasan. Sambil juga memperkuat komunitasnya, termasuk mekanisme penanganan dilingkup yang paling dekat dengan pekerja perempuan tersebut,” jelas Mike.
Menurut Mike membangun kemandirian ekonomi bagi perempuan juga perlu memperhatikan faktor pendukung seperti adanya infrastruktur memadai serta akses dukungan pendanaan yang inklusif. “Pertumbuhan ekonomi kita jika tidak disokong oleh landasan-landasan yang kuat akan tetap mengalami ketimpangan bagi pekerja perempuan dan mungkin kelompok kelompok rentan lainnya misalnya kelompok disabilitas. Tidak boleh hanya dilihat dari sisi makronya saja tetapi dilihat juga bagaimana infrastruktur atau pilar-pilar penonggak. Termasuk bagaimana memastikan ekonomi yang ramah terhadap perempuan, lalu sistem keuangan dan permodalan yang juga inklusif,” papar Mike.
Kendala permodalan juga dirasakan Nora di kelompok usahanya. Meski kelompok usahanya tetap aktif memproduksi kerajian anyaman piring dari lidi sawit, tapi produksi dilakukan dengan alat tradisional seadanya. “Tantangan juga bagi kami yaitu pengelolaan produksi bahan baku masih menggunakan alat tradisional yaitu dengan pisau serut dapur. Jadi jika ada dukungan modal untuk alat yang lebih praktis, kita bisa lebih cepat untuk produksi,” ujarnya.
Di sisi lain, menurut Irene kesempatan bagi perempuan untuk menjadi mandiri ekonomi di era digital lebih besar karena bisa lebih mengekspresikan diri dan sudah ada peraturan yang melindungi untuk beraktivitas di ruang digital. “Sekarang banyak banget content creator. Macam-macam banget konten zaman sekarang. Menurut aku tipsnya adalah kamu temuin dulu apa yang memang jadi kesukaan kamu. Lalu di buat mind mapping atau list konten yang mau dibikin. Jadi kita bisa punya bank content. Selain itu peting banget juga untuk membangun personal branding di ranah digital. Kita harus percaya sama diri kita dan kapasitas kita. Karena hanya kita yang bisa memotivasi dan menghargai diri kita. Aku tidak memikirkan kekurangan aku pada saat liputan atau membuat konten, aku hanya fokus memberikan yang terbaik dan fokus pada kelebihan kita,” papar Irene.
Besarnya peran perempuan dalam membangun ekonomi tidak dapat dipungkiri. Adanya rasa percaya diri pada perempuan dan dukungan keluarga dan pasangan menjadi modal untuk membangun kemandirian ekonomi seperti yang dialami oleh Nora. Tidak hanya berperan untuk menggerakan ekonomi, Irene bercerita bahwa perempuan juga berperan penting melestarikan alam dan lingkungan yang menjadi faktor pendukung perekonomian. Mike menambahkan, negara yang kuat harus diawali dengan memperkuat perempuan karena perempuan. “Negara harus hadir memperkuat perempuan. Ekonomi yang maju itu ditopang oleh perempuan yang sejahtera perempuan yang berkualitas dan perempuan yang berdaya,” pungkas Mike.
Writer: Swiny Adestika