Edukasi Kesetaraan Gender bagi Pekerja Perempuan Perkebunan Teh
Data FAO tahun 2022 menyebutkan bahwa Indonesia adalah produsen teh terbesar ke-7 di dunia. Luas area perkebunan teh terbesar ada di Jawa Barat yakni sebanyak 88 persen, seperti dilansir dari data Badan Pusat Statistik tahun 2020. Sebagian besar pekerja di perkebunan teh adalah perempuan, terutama sebagai pemetik teh. Representasi perempuan pada tingkat manajemen di dalam perkebunan teh masih minim serta teridentifikasi adanya diskriminasi dalam penghasilan pekerja, dimana pekerja laki-laki menerima gaji lebih tinggi untuk pekerjaan yang sama, sehingga menunjukan masih adanya ketidaksetaraan gender yang terjadi, seperti dilansir dari Jurnal THIRST tahun 2020.
“Manajemen sudah membuka kesempatan bagi para pekerja perempuan untuk menduduki posisi-posisi yang sama dengan laki-laki baik sebagai mandor, pengawas, maupun manager. Namun para pekerja perempuan masih merasa kurang percaya diri untuk bersaing dengan laki-laki. Kami harap, momentum adanya Program Pemberdayaan Perempuan Komunitas Teh Bersama Yayasan CARE Peduli bisa membuat para pekerja perempuan memiliki kepercayaan diri dan kapasitas yang lebih baik sehingga dapat bersaing lebih baik juga,” ujar Heru Supriadi, Manager Perkebunan Unit Malabar PTTPN 1 Region 2 dalam sambutannya saat pembukaan Workshop Kesetaraan Gender dan Kekerasan Berbasis Gender (23/1) di Perkebunan Pasirmalang, Desa Margaluyu, Kecamatan Pangalengan, Jawa Barat.
Pelatihan yang dilakukan di dua desa, yakni Desa Margaluyu dan Desa Banjarsari memfokuskan pada pengenalan terhadap konsep gender serta kekerasan berbasis gender. Dilansir dari laman kekerasan.kemenppa.go.id, kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia sejak 1 Januari 2024 tercatat sebanyak 1.124 kasus. Provinsi Jawa Barat menjadi salah satu provinsi dengan jumlah kasus kekerasan yang tertinggi tercatat di laman tersebut, yakni sebanyak 106 kasus. Perempuan dan anak menjadi korban tindak kekerasan yang tercatat terjadi di Jawa Barat.
Kanny Destana, isteri Kepala Desa Banjarsari yang hadir dalam pelatihan mewakili perangkat Desa menyampaikan bahwa perempuan dan laki-laki punya kerentanan yang sama untuk menjadi korban kekerasan, termasuk kekerasan berbasis gender. “Pengetahuan mengenai kekerasan, dampak, dan upaya-upaya pencegahan dan penanganan kekerasan harus disebarluaskan secara masif dan berkelanjutan agar terwujud lingkungan yang jauh dari kekerasan. Desa Banjarsari yang sudah memiliki unit Komisi Perempuan Indonesia atau KPI dapat menjadi salah satu wadah mencegah dan menangani tindak kekerasan, terutama kekerasan berbasis gender,” ujar Kanny yang juga menjadi guru SMK di desanya.
Lebih dari 44 peserta dari Desa Margaluyu dan Desa Banjarsari terlihat antusias mengikuti pelatihan. Tidak hanya pekerja perempuan pemetik teh, pekerja laki-laki, organisasi perempuan perkebunan juga perwakilan serikat pekerja perkebunan turut mengikuti rangkaian pelatihan. Ketua Serikat Pekerja Perkebunan unit Pasirmalang, Acep, mengapresiasi jalannya pelatihan yang melibatkan peserta laki-laki dan memberikan penjelasan pentingnya peran laki-laki agar kesetaraan dan keadilan gender dapat terwujud. Bagi Acep, pelatihan ini memberikan pemahaman baru baginya, termasuk pentingnya mencegah kekerasan berbasi gender yang salah satunya bisa dilakukan dengan mencegah pernikahan anak. “Jika laki-laki memiliki pemahaman yang baik serta terlibat sebagai supporter, kesetaraan gender bisa terwujud,” ungkapnya.
Upaya penguatan para pekerja pemetik teh perempuan di Jawa Barat dilakukan Yayasan CARE Peduli (YCP), salah satunya melalui pelatihan gender, yang menjadi rangkaian Program Pemberdayaan Perempuan Komunitas Teh. Agus Tri Wahyuono, Program Manager YCP menjelaskan bahwa pelaksanaan program tidak hanya pada penguatan kesetaraan gender di tempat kerja dan komunitas, tetapi juga kemampuan leadership khususnya pada pekerja perempuan, penguatan ekonomi lokal serta penguatan kesiapsiagaan komunitas di sekitar perkebunan teh terhadap akses ke kesehatan, pemenuhan nutrisi dan air bersih. “Kegiatan ini menjadi langkah awal dalam rangkaian program yang akan berjalan selama 3 tahun di 3 desa. Harapannya, jika rangkaian program dapat meningkatkan pemberdayaan pekerja perempuan di perkebunan teh area Jawa Barat, kedepannya dapat direplikasi pada industri lain di lokasi berbeda,” pungkas Agus.
Penulis: Swiny Adestika