Search
Close this search box.

Perubahan Iklim Jadi Tantangan Pekerja Perempuan di Pabrik Garmen

Cerita

Penelitian yang dikeluarkan Global Labor Institute, Cornell University tahun 2024 menjelaskan, perubahan iklim mendorong kenaikan suhu yang menyebabkan cuaca panas ekstrem. Penelitian tersebut menyebutkan Bangladesh, Vietnam, dan Pakistan mengalami suhu panas terik di atas 30,5 derajat Celsius, melonjak hingga 42% pada tahun 2020–2024 dibandingkan dengan tahun 2005–2009. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyatakan, lebih dari 2,4 miliar pekerja terpapar panas berlebih secara global. Akibatnya, lebih dari 22,85 juta orang mengalami cedera seperti kelelahan, dehidrasi, pingsan, dan lainnya setiap tahun.

Kondisi serupa juga membayangi para pekerja perempuan di pabrik garmen di Indonesia. Menyadari tantangan ini, CARE Indonesia (Yayasan CARE Peduli/YCP) bersama dengan CARE USA dan CARE Impact Partners (CIP) mengembangkan Gather, Exchange & Navigate (GEN) Network untuk mempertemukan perusahaan garmen di Indonesia guna membahas dan mencari jalan keluar bersama mengenai dampak perubahan iklim bagi pekerja perempuan.

Yohana Tantria, Project Manager CARE Indonesia, mengatakan bahwa perubahan iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem, banjir, hujan yang tidak menentu, dan kelangkaan air menjadi tantangan perempuan yang bekerja di industri garmen.

“Industri garmen di Indonesia mempekerjakan sekitar 3,5 juta orang dengan mayoritas pekerjanya adalah perempuan, yakni sebanyak 80 persen. Oleh karena itu, penerapan langkah adaptasi perubahan iklim menjadi penting dilakukan agar pekerja perempuan mendapatkan ruang aman,” katanya.

Yohana menambahkan, sembilan perusahaan anggota GEN yang menghadiri pertemuan, menyebutkan, panas ekstrem menjadi permasalahan yang paling mendesak. Dijelaskan, pada beberapa area produksi, suhu sering kali melebihi 30 derajat Celsius, bahkan ada laporan yang mengatakan suhu di departemen pengepakan pernah mencapai 38 derajat Celsius. Bagi para pekerja, terutama yang bertugas menjahit, finishing, dan menyetrika, panas ini menyebabkan pusing, sakit kepala, kelelahan, dan mual.

“Gejala ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu tetapi juga mengurangi konsentrasi, memperlambat produksi, dan meningkatkan ketidakhadiran. Ketika kehadiran dan target pekerja tidak terpenuhi, bisa saja terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Bagi perempuan yang sudah menikah dan tidak memiliki kemandirian ekonomi, hal ini semakin meningkatkan risiko terjadinya kekerasan berbasis gender dalam rumah tangga,” imbuh Yohana.

Yohana juga menjelaskan dari pertemuan, sebagai langkah adaptasi perubahan iklim bagi pekerja di pabrik garmen, jaringan GEN akan berupaya secara bertahap meningkatkan ventilasi sebagai saluran udara, mengganti seragam pekerja dengan bahan yang lebih sejuk, menyampaikan peringatan dehidrasi bagi pekerja, dan menyediakan wadah minum gratis. Beberapa perusahaan menurut Yohana juga telah memperkenalkan protokol di tempat kerja untuk mengatasi stres panas, lengkap dengan pelatihan bagi tim pertolongan pertama dan hotline darurat.

“Inisiatif untuk menggunakan ‘water man’ yang bertugas berkeliling memberikan air minum bagi para pekerja satu per satu juga telah dilakukan oleh beberapa perusahaan. Upaya ini bisa mengurangi risiko dehidrasi bagi pekerja dan mengurangi waktu pekerja meninggalkan meja kerja, sehingga produktivitas meningkat sekaligus memperkuat budaya kepedulian terhadap kesejahteraan pekerja,” ujarnya.

Yohana menambahkan, agar upaya adaptasi perubahan iklim bagi pekerja pabrik garmen berjalan dengan baik, CARE Indonesia bersama dengan perusahaan garmen yang menjadi anggota GEN Network secara rutin mengadakan diskusi sebulan sekali. Diharapkan progres dan kendala yang sedang terjadi dapat tersampaikan dan dimonitor. Pada bulan Agustus 2025 lalu, para perusahaan anggota GEN Network mengadakan kampanye tentang perubahan iklim dan pencegahan kekerasan berbasis gender di lingkungan pabriknya masing-masing.

 

Penulis: Kukuh A. Tohari
Editor: Swiny Adestika

KUEP Diapresiasi dapat Meningkatkan Ekonomi dan Keluar dari Kemiskinan Ekstrem

Cerita

Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP) di Kabupaten Musi Banyuasin mendapatkan apresiasi dari Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) karena dinilai mampu menjadi solusi dalam pemberdayaan ekonomi perempuan di desa. KUEP dinilai menjadi contoh program pengentasan kemiskinan di berbagai daerah di Indonesia.

Dikutip dari insight.kontan.co.id, Pemerintah Republik Indonesia melalui BP Taskin menargetkan penurunan kemiskinan dari 9,03% di tahun 2024, menjadi 4,5% – 5% di tahun 2029. Pemberdayaan menjadi salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Upaya pemberdayaan dilakukan CARE Indonesia (Yayasan CARE Peduli/YCP) berkolaborasi dengan PT. Cargill yang didukung oleh Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin, melalui penguatan ekonomi bagi perempuan, termasuk petani perempuan yang tinggal disekitar wilayah perkebunan sawit. Pendampingan dan pembentukan kelompok ekonomi berbasis perempuan dan masyarakat di tingkat desa dilakukan untuk meningkatkan pendapatan keluarga ditengah tantangan masa peremajaan perkebunan sawit.

Novrizal Tahar, Deputi 2 Deputi Bidang Percepatan Pemberdayaan Kapasitas dan Penyediaan Akses BP Taskin menyebutkan, pemberdayaan ekonomi perempuan yang mendorong terbentuknya usaha-usaha dilakukan secara kolektif mampu membuat ekonomi masyarakat naik kelas. Hal ini disampaikan Novrizal setelah mengunjungi dua KUEP yang ada di Desa Cipta Praja dan Tegal Mulyo di Kecamatan Keluang, Musi Banyuasin, Sabtu (20/9).

“Konsep pemberdayan ekonomi yang diterapkan di KUEP ini menjadi salah satu cara untuk keluar dari kategori kemiskinan ekstrem, dengan mendorong munculnya usaha-usaha yang dijalankan oleh anggotanya. Sehingga konsep ini sangat bagus untuk diterapkan di daerah lain,” katanya.

Saat berdiskusi dengan anggota KUEP Perempuan Tangguh Peduli di Desa Tegal Mulyo, Novrizal mengatakan konsep melalui simpan pinjam yang dijalankan terbukti menjadi instrument efektif dalam memperkuat ketahanan ekonomi perempuan di desa itu. Hal ini bisa terjadi karena anggota KUEP menggunakan uang pinjaman tanpa bunga dari KUEP untuk digunakan mengembangkan usaha yang telah dibangun.

Seperti yang dilakukan KUEP Perempuan Mandiri Sejahtera di Desa Cipta Praja dalam mengembangkan usaha kerajinan anyaman lidi sawit. Dalam kunjungan Novrizal ke Sekretariat KUEP Perempuan Mandiri Sejahtera, ia menyampaikan bahwa usaha yang dijalankan kelompok ini bisa menjadi salah satu upaya untuk menambah penghasilan, karena produk yang dibuat sangat beragam dan memiliki motif serta bentuk yang menarik.

“Usaha simpan pinjam yang dilakukan oleh ibu-ibu ini sangat luar biasa, karena dengan bantuan dana awal 50 juta rupiah, hanya dalam tiga tahun, dana bergulir itu tumbuh menjadi lebih dari 220 juta rupiah. Demikian juga dengan usaha kerajinan lidi sawit yang bisa menjadi alternatif tambahan pemasukan. Bahkan kerajinan anyaman lidi sawit sudah masuk e-katalog pemerintah daerah,” jelas Novrizal.

Menyebarluaskan Konsep KUEP

Tidak hanyak mengunjungi KUEP di Musi Banyuasin, Novrizal bersama CEO CARE Indonesia, Dr. Abdul Wahib Situmorang menghadiri sesi diskusi dengan enam orang jurnalis sebagai upaya mengamplifikasi hasil baik dari pemberdayaan ekonomi perempuan melalui KUEP, pada Minggu (21/9) di Roemah Demang, Kota Palembang. Novrizal menyampaikan, upaya pengentasan tidak cukup dengan memberikan bantuan sosial berupa uang tunai. Tetapi juga harus diiringi dengan upaya pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan dan disesuaikan dengan kondisi sosial serta potensi lokal.

“Kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan anggaran pemerintah. Saya menyaksikan langsung bagaimana program CSR dari PT Cargill ini berdampak nyata dan berkelanjutan. Ini adalah praktik baik yang layak dijadikan role model secara nasional,” ujarnya kepada jurnalis.

Abdul menyampaikan, KUEP mampu membuat ekonomi rumah tangga menjadi naik kelas dengan perempuan sebagai aktor utamanya. Di Musi Banyuasin, terdapat 13 KUEP yang mengembangkan usaha skala rumahan berupa pengrajin lidi sawit, toko sembako, kuliner, hingga usaha berbasis daring.

“Melalui KUEP, perempuan diberi ruang untuk mengorganisir diri, memperoleh modal usaha tanpa bunga, hingga belajar mengelola simpanan, tabungan, dan laporan keuangan. Berkat usaha yang dijalankan, kini mereka bisa mendapatkan rata-rata pendapatan anggota mencapai Rp8,84 juta dari berbagai jenis usaha,” ujarnya.

Lebih lanjut, Abdul juga mendorong sektor privat untuk turut berperan dalam upaya pemberdayaan ekonomi perempuan melalui program CSR yang berkelanjutan. “Kita siap berbagi pengalaman dan desain program. Jadi tidak perlu memulai dari nol. Tinggal ada kemauan dan keterbukaan dari pelaku usaha di daerah lain. Kami turut mendorong sejumlah pelaku usaha, di Sumsel dengan menjelaskan apa yang telah kami dilakukan di Musi Banyuasin mengenai program dan konsep yang telah berjalan di KUEP. Harapannya, para pelaku usaha bisa berkolaborasi untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dan mengentaskan kemiskinan,” pungkasnya.

 

Penulis: Kukuh Akhfad
Editor: Swiny Adestika