Sekitar pukul 07:58 WIB, gempa sekuat 9,1 skala richter mengguncang Samudra Hindia yang berada di bagian barat Pulau Sumatra yang diikuti gelombang tsunami yang menewaskan ratusan ribu jiwa. Provinsi Nangro Aceh Darusallam menjadi daerah yang paling banyak menelan korban jiwa, diperkirakan sebanyak 170.000 orang meninggal dunia. Tak ayal, peristiwa ini meninggalkan luka mendalam bagi korban yang berhasil selamat.
Meski telah kehilangan banyak hal, namun masyarakat Aceh tidak pernah kehalangan semangat untuk kembali bangkit. Yayasan CARE Peduli (CARE Indonesia) yang pada waktu itu bernama CARE International Indonesia turut membantu para korban tsunami dengan program Beudoh yang dalam bahasa lokal berarti “bangkit”. Di sana, CARE Indonesia bersama masyarakat setempat bahu membahu untuk memperbaiki kondisi yang ada, salah satunya untuk program rekonstruksi rumah tinggal yang hingga hari ini masih tegap berdiri dan ditinggali warga.
Bertugas di Tanah yang Luluh Lantak
Marthen Malo, menjadi salah seorang staf CARE Indonesia yang terlibat dalam penanganan bencana tsunami Aceh pada tahun 2004. “Setelah bencana tsunami melanda Aceh, sekitar bulan Februari 2005 saya ditugaskan ke Pulau Simeuleu yang ada di barat Sumatra. Pulau ini lokasinya sangat jauh dengan Kota Banda Aceh, tapi salah satu yang terdampak,” katanya.
Ia mengatakan, program Beudoh yang dilakukan CARE Indonesia di Aceh berfokus pada pemenuhan nutrisi, rekonstruksi, keperluan air bersih, sanitasi, dan juga kesehatan. “Gelombang tsunami turut menghancurkan berbagai bangunan, sehingga korban yang berhasil selamat membutuhkan suplai berbagai hal untuk menunjang kesehatannya. Sehingga CARE Indonesia di awal kedatangannya berfokus untuk menyalurkan persediaan air bersih, fasilitas sanitasi, dan nutrisi untuk menunjang kesehatan masyarakat pada waktu itu,” katanya.
“Awalnya saya ditugasnya di Pulau Simeuleu untuk melakukan implementasi program pasca bencana. Tapi berselang beberapa bulan kemudian saya ditugaskan ke Aceh Besar untuk melaksanakan program rekonstruksi yakni membangun rumah bagi sekitar 1,500 kepala keluarga (KK) yang kehilangan rumah akibat gelombang tsunami. Program pembangunan rumah untuk korban tsunami tersebar di lima lokasi yang ada di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar,” jelas Marthen.
“Program bantuan untuk korban bencana yang dilakukan oleh CARE Indonesia pada waktu itu mendapatkan dukungan dari CARE International Member seperti CARE Australia, CARE United Kingdom, CARE Amerika Serikat, CARE Canada, CARE Belanda, CARE Jerman. Ada juga pihak swasta yang turut membantu, seperti The Boeing Company,” jelas Marthen.
Usaha untuk Bangkit
Marthen bercerita, ia menyaksikan masyarakat yang terdampak tsunami hidup dengan keterbatasan. Banyak yang kehilangan anggota keluarga dan tidak sedikit yang kehilangan tempat tinggalnya. “Yang membuat saya kagum kepada orang-orang Aceh adalah semangat mereka untuk kembali bangkit. Saya ingat, orang Aceh itu pekerja keras. Kami bersama-sama berupaya memulihkan keadaan. Bergotong royong dan saling membantu, semuanya kooperatif. Orang Aceh kuat dan mau berjuang,” tegasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Wiwik Widyastuti, staf CARE Indonesia yang bertugas di Aceh pada tahun 2005. Ia pun terkesima dengan semangat yang dimiliki oleh masyarakat Aceh. “Saya melihat ketangguhan masyarakat Aceh kembali bangkit setelah kehilangan banyak hal. Masyarakat di sana saling membantu untuk tegar dan melanjutkan hidup,” imbuh Wiwik.
Wiwik mengatakan, program konstruksi rumah tinggal yang dilakukan CARE Indonesia salah satunya berada di Kecamatan Kota Jantho, Aceh Besar. “Lokasi itu dipilih karena minim risiko bencana seperti gempa bumi dan tsunami, serta masih banyak lahan yang kosong untuk dipakai sebagai pemukiman. Lokasi tersebut merupakan milik pemerintah, sehingga memudahkan untuk melakukan kerja sama dan perizinan kepada lembaga-lembaga terkait,” jelasnya.
Ia menjelaskan, prosedur pemberian bantuan rumah tersebut memiliki tantangan tersendiri akibat hilangnya dokumen-dokumen penting warga saat gelombang menerjang. “Pada waktu itu kami bekerja sama dengan berbagai lembaga negara dan organisasi kemanusiaan lain yang bertugas di Aceh untuk melakukan verifikasi data agar bantuan jatuh ke tangan yang tepat. Banyak korban tsunami yang tidak lagi memiliki dokumen-dokumen penting karena telah tersapu ombak. Sehingga kami berkoordinasi dan bertanya dengan tetangga atau kerabat calon penerima bantuan,” jelasnya.
Berhasil Bangkit
Tsunami terjadi 20 tahun yang lalu. Menurut Wiwik kini masyarakat Aceh sudah berhasil bangkit dan menjadi lebih baik lagi. “Sekarang pembangunan fisik dan kualitas masyarakatnya menjadi semakin baik. Perempuan di Aceh saat ini juga sudah bisa mendapatkan kesempatan yang lebih baik. Sehingga mereka bisa mengakses pendidikan dan memiliki karir yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya,” katanya.
Marthen mengingat 20 tahun yang lalu, penerima bantuan rumah yang didominasi oleh masyarakat pesisir harus berjuang di tempat yang baru dan jauh dari lautan. “Perumahan diberikan kepada orang yang sudah berkomitmen untuk menjadi penerima manfaat dan mau bertani. Jadi ini menjadi tantangan tersendiri bagi mereka untuk beradaptasi di tempat yang baru,” jelasnya.
Dilansir dari laman acehprov.go.id, saat ini lokasi yang terdapat pemukiman yang bernama Perumahan Care di Kecamatan Kota Jantho, Aceh Besar yang dulunya merupakan salah satu lokasi relokasi korban tsunami dari CARE Indonesia. Saat ini Perumahan Care dihuni oleh 189 KK yang yang 70 persen masyarakatnya berprofesi sebagai petani dan sisanya menjadi PNS, TNI, Polisi, dan profesi lainnya. “Jika ada kesempatan, saya ingin menginjakkan kaki lagi di Aceh. Saya ingin melihat masyarakat yang telah bangkit,” pungkas Marthen.
Penulis: Kukuh A. Tohari
Editor: Swiny Adestika
Foto: Renee Picasso Manoppo/May 2005