Hujan gerimis sore itu menyelimuti kawasan dataran tinggi Kecamatan Pangalengan, menghadirkan hawa dingin yang meresap ke bawah kulit. Di tengah rintik hujan dan kabut tipis yang menyelimuti sekitar, sebuah rumah menjadi tempat berlangsungnya percakapan hangat penuh makna. Di sanalah Wiwi Dewi, perempuan berusia 43 tahun yang akrab disapa Wiwi, bercerita tentang perjalanan sunyinya menuju keberanian.
“Mungkin karena sudah jadi seperti kebiasaan ya, saya sebagai istri cenderung lebih banyak diam meski saya tidak suka dengan perilaku suami. Saya dulu takut untuk bicara dan bertukar pikiran dengan suami. Jadi lebih banyak nangis dan di rumah jadi terasa sepi,” katanya sembari menghela napas.
Wiwi merupakan seorang istri dan ibu pekerja. Lebih dari 10 tahun Wiwi berprofesi sebagai pemetik teh di perkebunan milik PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) I Regional II yang ada di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Selama menjalani peran sebagai istri, ibu dan pekerja, Wiwi merasa ia lebih baik diam agar tidak terjadi konflik meski ia merasa tidak nyaman dengan situasi tertentu, termasuk dalam hubungannya dengan suami. Namun, Wiwi merasa ada perubahan pada dirinya setelah mengikuti pelatihan dalam program Community Development Forum (CDF) yang didampingi CARE Indonesia bersama mitra.
“Yang paling terkesan itu saat ada pelatihan tentang kesetaraan gender dan komunikasi. Di pelatihan itu saya baru tahu kalau perempuan itu punya suara dan berhak untuk diperlakukan setara, termasuk oleh pasangan,” tuturnya.
Wiwi bercerita, sebelum tergabung di CDF dan mendapatkan pelatihan, ia sering diam jika ada masalah dalam keluarga. Ketakutan membungkam keberaniannya untuk berkomunikasi dengan suaminya. “Takut salah, takut dimarahi. Kalau pun suami salah, saya juga gak berani untuk tegur. Setelah ikut program di CDF hampir dua tahun, saya belajar kalau komunikasi itu adalah hal yang penting. Saya juga jadi tahu kalau suami dan istri harus berbagi tugas dalam rumah tangga. Makanya saya pelan-pelan berani bilang ke bapak (suami),” tuturnya.
Sembari tersenyum, Wiwi menuturkan, perubahan pada suaminya tidak terjadi dalam semalam. Saat pertama kali ia mencoba berbicara lebih terbuka, sang suami, Saefullah hanya terdiam dan cemberut. “Awalnya memang suami saya diam saja waktu saya kasih penjelasan. Tapi lama-lama bapak mulai mendengarkan dan sekarang juga ikut bantu saya mengerjakan tugas-tugas rumah tangga seperti cuci baju, memasak, dan beberes rumah,” katanya.
Pada momen yang berbeda, Saefullah mengangguk mantap untuk berbagi tugas dengan istrinya. “Kalau saya gak bantu, saya gak tega lihat istri saya kerjakan sendiri. Jadi saya harus bantu, beban itu harus dibagi,” ujarnya. Baginya, keputusan untuk terlibat dalam pekerjaan domestik bukan karena disuruh, tapi karena ia sadar setelah isterinya berani berkomunikasi dengannya, bahwa pekerjaan rumah tidak dibebankan hanya pada istri, tetapi dibagi dengannya.
Lebih lanjut, Saefullah juga mendukung penuh keputusan istrinya untuk mengikuti berbagai agenda di CDF. Menurutnya program itu memberikan dampak positif bagi perkembangan istri dan keluarganya. “Saya senang istri saya semakin pintar. Jadi kalau dia sedang ikut kegiatan, saya yang antar dan jemput, terus kalau di rumah belum ada makanan, saya yang masak. Sekarang saya juga bantu istri untuk petik teh di kebun supaya kerjanya jadi lebih ringan dan dapat hasil yang lebih banyak,” katanya dengan bangga.
Perubahan ini tak hanya terasa dalam keseharian mereka berdua, tapi juga merambat ke anak-anak mereka. Anak laki-lakinya yang sedang menduduki bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) mulai belajar mencuci pakaiannya sendiri. Anak perempuan yang telah menikah diajari untuk berani berdiskusi dengan suami, menyelesaikan masalah dengan komunikasi, bukan diam.
Perubahan yang terjadi pada keluarga Wiwi membuktikan, pemahaman gender mampu mengubah wajah rumah tangga. Bukan untuk membalikkan peran atau memecah belah, melainkan untuk menciptakan keseimbangan, keadilan, dan penghargaan satu sama lain.
Di akhir obrolan, Wiwi dengan yakin menyampaikan, perempuan bisa berubah dan menjadi poros kehidupan rumah tangga jika mendapatkan hak dan akses untuk belajar. “Saya enggak menyesal ikut CDF walaupun capek karena pekerjaan. Karena di situ saya bisa belajar. Dulu pulang kerja cuma ngurus rumah. Sekarang saya punya suara,” pungkasnya.
Penulis: Kukuh Akhfad
Editor: Swiny Adestika