Lebih dari dua minggu pasca banjir dan longsor yang terjadi di 3 provinsi di Sumatera, kebutuhan air bersih, peralatan kebersihan dan obat-obatan semakin mendesak. Perjalanan tim respon kedaruratan CARE Indonesia saat melakukan Rapid Needs Assessment (RNA) dan Rapid Gender Assessment (RGA) di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh memperlihatkan akses jalan yang masih sulit dilewati bahkan jalanan terputus. Kerusakan rumah dan fasilitas umum, listrik yang masih padam, sisa puing, kayu-kayu besar dan sampah yang terserak terlihat disepanjang perjalanan. Masih tidak beroperasinya saluran air minum ke rumah-rumah membuat para penyintas, termasuk perempuan dan anak, sulit melakukan aktivitas sehari-hari.

Renee Manoppo, Humanitarian & Emergency Response Manager, CARE Indonesia menggambarkan, jalanan yang ia lalui dari Medan menuju Kabupaten Aceh Tamiang (10/12) masih terdapat sisa lumpur di jalan-jalan utama, seperti di jalanan Kuala Simpang, yang mempersulit akses ke banyak desa. “Batas lumpur akibat banjir bandang kemarin bisa mencapai 5 meter disini. Terlihat dari tanda di pohon-pohon besar sepanjang jalan,” ujar Renee. Ia menambahkan, masih padamnya listrik di Aceh Tamiang mempersulit aktivitas penilaian dan dokumentasi yang sedang ia lakukan.

Dusun Teluang, Desa Sungai Liput, Kabupaten Aceh Tamiang menjadi lokasi pertama yang dikunjungi tim respon di Provinsi Aceh. Renee berkesempatan berdisuksi dengan Kepala Dusun Teluang, Bapak Sayuti. Kepada Renee, Sayuti menceritakan saat banjir melanda dusunnya, ia mengevakuasi 50 Kepala Keluarga yang ada di dusunnya selama 12 jam. “Kita evakuasi dengan peralatan seadanya. Ada sampan kayu dan drum besi untuk membawa warga keluar dusun. Rumah semua rusak berat dan sampai saat ini tidak ada air bersih,” ujar Sayuti.
Hasil pengamatan Renee di Dusun Teluang, warga desa sudah kembali ke dusun. Sejalan dengan penjelasan Sayuti, warga Dusun Teluang saat ini tinggal di tenda karena 30 Kepala Keluarga mengalami kerusakan berat dari bangunan rumahnya sehingga tidak layak huni. Kekurangan air bersih juga menjadi kendala utama. Warga menyimpan air dari sungai dan mengendapkannya untuk dipakai kebutuhan keseharian seperti MCK, masak dan mencuci.

Mendesaknya kebutuhan peralatan higenitas dan air bersih juga disampaikan Abdullah, relawan dari lembaga sosial masyarakat, Yayasan Bale Jurong yang juga menjadi penyintas bencana banjir bandang. Kepada tim CARE, Abdullah menceritakan masyarakat di desa nya sangat memerlukan air bersih serta obat-obatan. Jumlah pengungsi menurutnya diperkirakan mencapai ratusan orang, termasuk ia dan keluarga karena rumahnya hanyut terbawa arus banjir bandang. Menurut Abdullah, para penyintas di desanya sementara ini menempati rumah-rumah warga lain atau keluarga yang tidak mengalami kerusakan serta membangun tenda-tenda seadanya.
“Untuk saat ini warga butuh rumah bagi yang rumahnya hancur. Serendahnya tenda pun bisa. Saat ini listrik mati di sebagian wilayah,” ujar Abdullah melalui pesan singkat yang ia kirimkan ke tim CARE Indonesia (7/12).
Abdullah menambahkan, tempat penampungan sementara sudah ada, namun para pengungsi masih tercampur antara anak-anak, orang dewasa perempuan dan laki-laki serta lansia. Bantuan yang berasal dari wilayah lain di Sumatera sudah mulai berdatangan seperti beras, mi instan dan air bersih, tetapi jumlahnya masih sangat terbatas. “Kalau masalah obat-obatan masih minim kali. Semuanya masih minim kali, pak,” ungkap Abdullah.

Terbatasnya air bersih, sarana sanitasi dan peralatan rumah tangga juga disampaikan Ibu Sufika (46), penyintas di Dusun Citra, Desa Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang. Kepada tim CARE, Sufika menceritakan kejadian banjir bandang yang menghanyutkan rumah nya terjadi pukul 04.00 dini hari tanggal 26 November 2025. Menurutnya, air datang dan naik dengan cepat sampai rumahnya terbawa arus.
Ia bersama suami dan anak laki-lakinya kini tinggal di area pengungsian di Jembatan Baru Kuala Simpang. Suami nya pun membuat tenda dari terpal di dekat lokasi rumah lamanya untuk area beristirahat dan menghindari debu dari lumpur yang sudah mengering di area pengungsian.
“Ada lebih dari 10 rumah di dekat rumah saya, sekarang sudah tidak ada lagi. Harapan saya bisa ada bantuan bangunan rumah untuk kami. Air bersih disini juga payah. Kami menggunakan air mineral dari bantuan yang ada untuk minum. Kebutuhan seperti tilam juga perlu. Banyak anak kecil dan orang tua disini,” ujar Sufika.
Sufika menjelaskan keterbatasan sarana sanitasi seperti toilet juga dirasakan. Menurutnya, toilet hanya ada di area pengungsian namun tidak ada air yang cukup. Jumlah yang terbatas membuat ia harus mengantri bisa lebih dari 1 jam jika ingin menggunakan toilet.
Meski dalam keterbatasan harapan Sufika untuk bangkit kembali tetap ada. Ia berharap bisa kembali berjualan seperti sebelum bencana terjadi dan kembali ke kondisi seperti sediakala. “Mudah-mudahan bisa jualan seperti dulu lagi. Meskipun keadaan bencana begini, kita harus tetap semangat dan selalu untuk berjuang dari awal sampai akhir. Allah selalu mendukung kita semua. Kita sebagai perempuan harus kuat dan tegar hadapi cobaan yang datang ini,” kata Sufika.

Sama seperti Sufika, Irma di Desa Dalam, Kab. Aceh Tamiang, menceritakan, meski belakang rumahnya jebol diterjang banjir bandang hingga membuat lokasi rumah bergeser hingga 30 meter, ia tetap merasa bersyukur peralatan yang ia pakai untuk membuat kripik sebagai jualan masih ada dan banyak tetangga yang saling membantu. “Alhamdulillah, mesin buat cari uang masih ada. Tetangga juga banyak bantu kasih alat masak, meski kondisi seadanya. Ada juga yang kasih baju dan pakaian dalam sampai pembalut, walaupun tidak banyak,” ujarnya. Keterbatasan air bersih, toilet serta tidak adanya tempat tinggal yang layak yang menjadi tantangan bagi Irma. Ia berharap bantuan terutama akses air bersih dan adanya toilet yang terpisah antara laki-laki dan perempuan bisa segera tersedia untuk kebutuhan sehari-hari.
Urgensitas kebutuhan air bersih, peralatan kebersihan, ketersediaan toilet, serta peralatan rumah tangga yang merata dari hasil penilaian cepat kebutuhan berbasis gender di Kabupaten Aceh Tamiang menurut Renee akan menjadi landasan pendistribusian bantuan dari CARE. Bersama mitra lembaga sosial masyarakat lokal, CARE akan mendistribusikan bantuan yang responsif gender ke lebih dari 1,200 Kepala Keluarga di 2 kecamatan meliputi peralatan rumah seperti matras, sarung, hygiene kit, pasokan air bersih dengan truk, toilet sementara yang terpisah untuk perempuan dan laki-laki, dukungan konseling serta edukasi pencegahan kekerasan berbasis gender sebagai respon jangka pendek hingga 6 bulan paska bencana.
Penulis: Swiny Adestika
Sumber Foto: Renee P. Manoppo