Di tengah genangan banjir yang melanda Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, satu kebutuhan paling mendasar tiba-tiba menghilang dari kehidupan warga, yakni air bersih. Dalam situasi bencana, penyediaan air bersih menjadi prioritas utama karena berhubungan langsung dengan keselamatan dan kesehatan masyarakat. Jumlah dan mutu air yang tidak memadai merupakan penyebab utama berbagai masalah kesehatan masyarakat dalam situasi krisis.

Banjir tidak hanya merendam rumah dan jalan, tetapi juga mencemari hampir seluruh sumber air warga. Sumur-sumur yang selama ini menjadi tumpuan kehidupan berubah menjadi kubangan lumpur bercampur limbah dan tak lagi layak digunakan, apalagi diminum. Kondisi ini disaksikan langsung oleh Renee Manoppo, Humanitarian & Emergency Response Manager CARE Indonesia, saat melakukan penilaian kebutuhan cepat dalam respons banjir di Aceh Tamiang (10-18/12).

“Sebanyak 76 persen warga mengalami kesulitan akses air bersih. Masyarakat kesulitan mendapatkan air karena sumur-sumur mereka tertutup lumpur yang terbawa banjir. Dalam kondisi bencana, air itu bukan sekadar kebutuhan, tetapi sumber kehidupan,” ujar Renee menceritakan perjalanannya  dari Aceh Tamiang.

Ia menjelaskan, bahkan pada banjir dengan skala yang tidak terlalu besar, sumber air warga hampir pasti tercemar. Namun kondisi di Kuala Simpang jauh lebih parah. Hampir 100 persen sumur warga tercemar lumpur, kotoran, dan limbah dari saluran pembuangan yang tercampur menjadi satu.

“Kondisi inilah yang membuat bantuan pompa lumpur menjadi sangat krusial. Bukan untuk mengambil air minum secara instan, melainkan sebagai langkah awal menyelamatkan sumur-sumur warga agar kembali layak digunakan,” jelasnya.

Kesadaran akan urgensi air bersih membuat persiapan dilakukan bahkan sebelum tim berangkat ke lokasi. Renee menuturkan, sebelum keberangkatannya ke Kuala Simpang pada 10 Desember 2025, ia berkoordinasi dengan berbagai pihak, salah satunya Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada (KAGAMA Care). Renee mendapat informasi bahwa KAGAMA Care berenana memberikan bantuan penyediaan akses air bersih dengan membawa water treatment unit (WTU). Namun menuurt Renee, pihak KAGAMA Care masih kekurangan alat untuk menyedot lumpur dari sumur.

“Karena ada kekurangan alat pompa penyedot itu, kita sediakan dua unit pompa khusus untuk lumpur. Prosesnya tidak sederhana. Air kotor dan lumpur harus dikeluarkan sepenuhnya dari sumur. Setelah itu, sumur direhabilitasi menggunakan tawas dan klorin agar kotoran mengendap dan bakteri mati. Barulah air yang mulai jernih bisa diproses lebih lanjut,” paparnya.

Renee menceritakan, setelah sumur dibersihkan, barulah alat penyedot air dan sistem penyaringan bisa digunakan. Air dari sumur yang telah direhabilitasi kemudian disaring dan melewati proses sterilisasi ultraviolet (UV) untuk membunuh mikroorganisme. Serangkaian pengujian pun dilakukan, mulai dari uji visual, bau, rasa, hingga pengukuran pH dan total dissolved solids (TDS). Uji coba ini dilakukan di Pondok Pesantren Ibnu Hasan, Kecamatan Rantau, Kabupaten Aceh Tamiang yang menjadi posko dari KAGAMA Care.

“Pada saat pengujian, tidak ada yang bersedia meminum langsung air yang telah diolah. Saya memahami kekhawatiran mereka untuk tidak mengambil risiko terkena penyakit. Maka dari itu, berbekal hasil uji yang positif, saya memberanikan diri mencoba air tersebut. Hasilnya, saya tidak merasakan gangguan pencernaan sama sekali,” ujar Renee sembari tersenyum.

Lebih lanjut, Renee menjelaskan, pompa penyedot lumpur ini dapat digunakan secara bergantian dari satu sumur ke sumur lainnya. Setelah satu sumur selesai dibersihkan, pompa dipindahkan ke titik berikutnya di berbagai wilayah di Kabupaten Aceh Tamiang, seperti Kampung Lando di Kecamatan Rantau, Kampung Sukajadi di Kecamatan Karang Baru, dan Kampung Kuala Simpang di Kecamatan Kota Kuala Simpang. Proses rehabilitasi satu sumur membutuhkan waktu sekitar dua hingga tiga jam, tergantung kedalaman sumur dan tingkat pencemarannya.

Renee turut menjelaskan, jumlah air bersih yang dihasilkan mencapai 24.000 liter setiap harinya. Menurut perhitungan standar Sphere, jumlah air bersih yang dihasilkan ini bisa mencukupi kebutuhan minimum air bersih sekitar 1.600 orang.

“Hingga Kamis, 18 Desember 2025, mesin ini telah digunakan untuk merehabilitasi empat sumur yang akhirnya bisa dimanfaatkan oleh sekitar 450 orang di berbagai wilayah Aceh Tamiang. Saat ini, pompa penyedot lumpur tersebut kami serahkan kepada tim KAGAMA Care agar proses pembersihan sumur warga dapat terus berlanjut. Kami berharap kedepannya semakin banyak masyarakat yang mendapatkan air bersih dengan akses yang lebih mudah,” pungkasnya.

 

Penulis: Kukuh A. Tohari
Editor: Swiny Adestika