Mewujudkan ruang aman bagi perempuan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, baik di ranah keluarga, komunitas, ruang publik, maupun tempat kerja. Kekerasan berbasis gender kerap muncul dalam berbagai bentuk dan situasi, dipengaruhi oleh relasi kuasa yang timpang, norma sosial yang diskriminatif, serta keterbatasan akses terhadap perlindungan dan keadilan. Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) tahun 2025 menjadi momentum penting untuk menyuarakan upaya mengembalikan ruang aman yang bebas dari kekerasan bagi perempuan di Indonesia. Melalui kampanye ini, CARE Indonesia bersama mitra dan kelompok masyarakat, termasuk kelompok perempuan, menyampaikan praktik baik dan hasil kerja bersama dalam menciptakan ruang aman bebas kekerasan berbasis gender mulai dari lingkup keluarga, komunitas, hingga ruang publik dan tempat kerja.

Urgensi upaya ini tercermin dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024 yang mencatat peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 14 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dengan total 330.097 kasus. Kekerasan yang dialami perempuan, baik di rumah, lingkungan sosial, maupun dunia kerja, berdampak luas terhadap kualitas hidup, rasa aman, serta partisipasi perempuan dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Di tempat kerja, kekerasan dan pelecehan yang dialami pekerja perempuan juga berdampak pada produktivitas. Studi ILO (2021) menunjukkan kekerasan di tempat kerja dapat menurunkan produktivitas hingga 11 persen, sementara peningkatan kesejahteraan pekerja terbukti mampu meningkatkan produktivitas sebesar 6 hingga 9 persen (INDEF, 2022).

Melalui kampanye #SayaBerani, CARE Indonesia mengajak semua pihak untuk terlibat dalam mengembalikan ruang aman dan meningkatkan kualitas hidup perempuan, termasuk pekerja perempuan, agar dapat hidup tanpa rasa takut, berdaya secara ekonomi, dan bebas dari kekerasan. Pesan utama kampanye ini menegaskan setiap perempuan Indonesia berhak atas rasa aman, kesempatan yang setara, serta lingkungan yang menghormati martabatnya baik di rumah, di komunitas, maupun di tempat kerja yang inklusif. Dengan memastikan perempuan didengar, dihargai, dan dilindungi, kita membuka jalan bagi generasi mendatang untuk tumbuh dalam masyarakat yang adil, setara, dan penuh peluang.

Tantangan Mengembalikan Ruang Aman Bagi Perempuan

Upaya mengembalikan ruang aman bagi perempuan terkadang menemui kendala. Hal inilah yang juga dialami oleh komunitas Jaringan Pemberdayaan untuk Perempuan Tangguh (JEKATA) selaku paralegal di Kabupaten Purwakarta dan Sukabumi.  Sehingga, momen diskusi bersama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas Perempuan, dan Kementerian PPPA pada Minggu (30/11) dimanfaatkan dengan baik untuk menjelaskan kondisi yang dialami oleh JEKATA.

Ketua JEKATA, Misrawati menyampaikan kesulitan yang dialami oleh kelompoknya saat mendampingi kasus kekerasan terhadap perempuan pada acara Fun Walk di Sudirman-Thamrin, Jakarta kepada perwakilan lembaga yang hadir.

“Kami dari desa dan tidak tahu harus melapor kemana dan ke siapa untuk mendapatkan perlindungan terhadap korban dan saksi kasus kekerasan. Diskusi ini juga membuka ruang bagi kami sebagai paralegal untuk mendapatkan akses dalam menghadapi kasus kekerasan,” tuturnya.

 

Sementara itu Ketua JEKATA Sukabumi, Malasari menyebutkan ketidaktahuan masyarakat di sekitarnya tentang tentang hak-hak perempuan dan bentuk kekerasan terhadap perempuan membuat upaya penyadartahuan dan kolaborasi dengan berbagai pihak terus dilakukan.

“Sejak saat itu saya terus mendalami serta memahami jika perempuan harus bisa mencegah dan melaporkan apapun itu tindak kejahatan terhadap perempuan. Kami juga membangun kolaborasi dengan pemerintah desa, perusahaan, dan lembaga terkait lainnya untuk mengkampanyekan anti kekerasan terhadap perempuan,” ujarnya.

Menanggapi statmen dua Ketua JEKATA, Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati sangat mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh kedua komunitas itu. Menurutnya, keberadaan JEKATA memberikan akses pendampingan untuk saksi dan korban, bahkan memberikan akses keadilan untuk mendekatkan pada persoalan mengenai bagaimana saksi dan korban ini mendapatkan perlindungan dan keadilan.

“JEKATA memiliki potensi untuk mewujudkan ruang aman karena sesama perempuan bisa saling memberikan dukungan. Kemudian, pelibatan peran masyarakat yang lebih luas termasuk kepada laki-laki untuk bisa turut melakukan kampanye aksi hentikan kekerasan terhadap perempuan. Saya kira LPSK mempunyai peluang untuk bekerja sama dengan JEKATA untuk dapat memberikan perlindungan kepada saksi dan korban, terutama untuk kasus kekerasan terhadap perempuan,” tegasnya.

Komisioner Komnas Perempuan, Daden Sukendar juga menjelaskan jika pencegahan kekerasan terhadap perempuan sehingga terwujudnya ruang aman bukan tanggung jawab satu pihak saja, melainkan langkah bersama. “Gerakan ini memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari kelompok tingkat desa, mulai dari pemerintah, masyarakat, dunia usaha, media massa, dan akademisi. Ini menjadi harapan ke depannya, agar penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan akan tercapai dengan kolaborasi semua pihak,” jelasnya.

Dengan terwujudnya ruang aman bagi perempuan sejatinya bisa menumbuhkan keberanian bagi perempuan untuk semakin berdaya secara ekonomi dan meningkatkan keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di masyarakat.

Hal ini juga yang disampaikan oleh Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan Tindak Pidana Perdagangan Orang Kemen PPPA, Priyadi Santosa menyampaikan, perempuan sudah seharusnya mendapatkan ruang aman untuk berekspresi dan berkembang. Hal inilah yang terus diupayakan olehnya selaku bagian dari pemerintah.

“Perempuan harus dipastikan untuk mendapatkan ruang aman. Sehingga itu menjadi tugas kami untuk mewujudkan itu. Kami juga akan selalu mengajak berbagai pihak serta instansi terkait untuk bekerja sama dalam menciptakan ruang aman bagi perempuan. Kami juga sangat setuju dan kami sangat mendukung upaya yang dilakukan oleh JEKATA,” imbuhnya.

Masyarakat turut menyampaikan harapan dan suara melalui statmen daring di website CARE Indonesia serta pohon harapan yang ada pada kegiatan Fun Walk. Sekitar 200 harapan disampaikan oleh masyarakat, mereka juga berharap bisa terlibat aktif dan mendapatkan ruang aman untuk berekspresi dan beraktivitas.

Mengembalikan Ruang Aman Menjadi Investasi Penting Meningkatkan Produktivitas Pekerja Perempuan

Ruang aman bebas kekerasan tidak kalah penting adanya di lingkungan kerja, terutama bagi pekerja perempuan. Penulis dan Aktivis Perempuan, Kalis Mardiasih menyampaikan dalam sesi webinar, jika budaya patriarki yang ada di dunia kerja sudah cukup mengakar. Hal ini menjadi salah satu penyebab terjadinya kasus kekerasan berbasis gender di tempat kerja. Sehingga keterlibatan laki-laki untuk terlibat aktif di pelatihan gender menjadi hal yang penting.

“Relasi kuasa yang timpang sering dimanfaatkan oleh atasan untuk melakukan kekerasan seksual, sementara stigma terhadap perempuan justru membuat kondisi ini semakin subur. Kultur seksisme yang masih lestari juga menempatkan pekerja perempuan pada posisi yang jauh lebih rentan. Karena itu, pelibatan laki-laki dalam pelatihan kesetaraan gender menjadi sangat penting, agar perubahan budaya dan perlindungan di tempat kerja dapat terwujud secara menyeluruh,” ujar Kalis pada webinar #SayaBerani Turut Andil Mengembalikan Ruang Aman Bagi Perempuan Pekerja Sebagai Wujud Perlindungan Hak Asasi Manusia, (10/12), yang diselenggarakan CARE Indonesia dan Diajeng Tirto.

Menanggapi hal itu, Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Kemnaker, Rinaldi Umar menyampaikan, pemerintah telah menetapkan mandat kepada perusahaan untuk membentuk Tim Satuan Tugas (satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di tempat kerja melalui Kepmenaker No. 88 Tahun 2023.

“Sejak regulasi ini diterapkan, sudah ada 44 perusahaan yang membentuk Satgas. Iya, kalau melihat angkanya memang masih minim. Namun, kita juga harus melihat fungsi-fungsi kementerian lain yang berjalan beriringan, seperti pembentukan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3). Keduanya saling melengkapi, ada perusahaan yang sudah membentuk Satgas meski belum memiliki RP3, dan ada pula yang mulai membangun RP3 meski Satgas belum terbentuk,” ujarnya.

CEO CARE Indonesia, Dr. Abdul Wahib Situmorang menjelaskan, upaya untuk mewujudkan ruang aman bagi perempuan terus dilakukan, bukan hanya sebagai pemenuhan aspek sosial, tetapi juga menjadi investasi penting bagi korporasi untuk memastikan produktivitas dan kualitas hidup para pekerja, termasuk pekerja perempuan. Menurut Abdul, upaya mengembalikan ruang aman dengan mencegah dan menangani kasus kekerasan berbasis gender di tempat kerja, dilakukan pada salah satunya program bersama pabrik garmen serta pada perkebunan teh (Community Development Forum (CDF)).

“Pada industri garmen, CARE Indonesia mendampingi mitra pabrik garmen, yakni PT. Glory Industrial Semarang dan PT. Dasan Pan Pasifik. Bersama, kami memperkuat satgas pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender, yang melibatkan manajemen dan pekerja untuk membangun tempat kerja yang aman bagi perempuan. Kemudian pada perkebunan teh di Jawa Barat, kami menghadirkan kolaborasi multi pihak melalui pembentukan dan penguatan Community Development Forum. Forum ini menjadi wadah bagi pemetik teh, pemerintah desa dan kecamatan, serta perusahaan perkebunan teh untuk memperkuat kolaborasi, pembentukan lingkungan kerja yang aman bebas kekerasan, kesetaraan akses, pemberdayaan sekaligus meningkatkan pendapatan perempuan melalui pembentukan kelompok usaha,” ujar Abdul.

Komitmen untuk memberikan ruang aman bagi pekerja perempuan juga disampaikan oleh Anggota Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender-Kekerasan Seksual dari PT Dasan Pan Pasific Sukabumi, Ima Trisnawati yang berkomitmen untuk selalu berpihak pada korban. “Hentikan normalisasi kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual di tempat kerja. Kami, Satgas Bipartit, siap menerima, menindaklanjuti, dan menangani setiap pengaduan dengan serius, aman, dan berpihak pada korban,” tegasnya.

Senada dengan itu, Asisten Afdeling Perkebunan PTPN I, Unit Malabar, Yadi Hariyadi mewakili perusahaan juga menyampaikan komitmennya untuk memberikan ruang aman bagi para pemetik teh perempuan. Menurutnya, komitmen perusahaan untuk memberikan kesempatan yang antara pekerja perempuan dan laki-laki harus terus dilaksanakan.

“Kami akan terus menjunjung nilai-nilai kesetaraan, rasa aman, dan kehormatan kepada setiap hak pekerja, terkhusus kepada pekerja perempuan. Kami juga menyampaikan komitmen perusahaan untuk menguatkan dan mendorong untuk pencegahan kekerasan berbasis gender,” tegasnya.

Pemetik teh dan anggota CDF Perkebunan Malabar, Entin turut menyampaikan harapannya saat mengikuti rangkaian kampanye 16 HAKTP, agar komitmen yang disampaikan oleh perusahaan bisa terlaksana dengan baik dan menjadikan tempat yang aman bagi perempuan untuk bekerja. “Saya sangat senang bisa belajar banyak tentang gender dan semakin mengerti kalau perempuan juga bisa melakukan apa yang laki-laki kerjakan. Saya juga berharap perempuan bisa mendapatkan perlindungan dari kasus kekerasan berbasis gender baik di tempat kerja, rumah tangga, dan lingkungan,” harapnya.

Penulis: Kukuh A. Tohari
Editor: Swiny Adestika