Setiap pagi sebelum langit benar-benar terang, Nyai Sunarsih, perempuan pemetik teh asal Desa Sukaluyu, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung sudah beranjak menuju perkebunan tempatnya bekerja. Satu jam lamanya, kaki tangguh perempuan berusia 51 tahun ini berjalan lincah melintasi medan perkebunan teh Pasir Malang yang tidak rata sembari membopong mesin petik teh dan waring, atau wadah untuk menampung daun teh yang berhasil dipetik.

Menyusuri gelap dan dinginnya pagi perkebunan teh Pasir Malang dengan jarak yang mencapai sekitar enam kilometer dengan medan yang terjal dan tidak rata, membuat perempuan yang akrab disapa Narsih ini memilih berangkat lebih awal agar tidak tertinggal dari rombongan. Menurutnya jika ia terlambat, ia bisa tidak kebagian lahan petik yang layak.

“Saya menjadi pemetik teh sudah lebih dari sepuluh tahun. Meski hujan, saya tetap jalan ke kebun di waktu yang sama, kalau terlambat ya nanti akan dapat blok teh yang medannya susah, seperti di lereng atau bagian bawah,” katanya saat ditemui di sela-sela istirahatnya di kebun teh.

Penggerak Perubahan di Lingkungan Kerja

Narsih bercerita, meski pekerjaan itu telah lama digelutinya, baru dalam dua tahun terakhir, ia merasa benar-benar menjadi bagian dari sistem kerja yang adil. Katanya, dulu pembagian lahan panen cenderung tak merata. Para pekerja laki-laki sering mendapat bagian yang dekat dan mudah dijangkau, sementara perempuan harus berjalan lebih jauh, ke daerah yang lebih sulit.

“Dulu saya dan pemetik perempuan yang lain cuma manut saja kalau diberikan jatah lokasi yang susah oleh atasan. Saat itu kami cuma saling curhat ke sesama pemetik saja, tidak berani untuk sampaikan ke atasan (mandor),” ujarnya.

Tetapi segalanya berubah sejak ia mengikuti program Community Development Forum (CDF), sebuah inisiatif program yang didampingi oleh CARE Indonesia bersama mitra, mengajarkannya tentang kesetaraan gender, komunikasi di dalam forum, dan pengelolaan keuangan keluarga. Bahkan, saat ini Narsih aktif tergabung sebagai anggota forum yang di dalamnya juga terdapat manajemen perusahaan, pemerintah desa, dan pekerja lapangan di perkebunan. Meski banyak pihak yang tergabung dalam kelompok itu, Narsih sama sekali tidak merasa rendah diri, justru ia mampu bekerja sama dengan penuh percaya diri.

“Awalnya saya ikut kegiatan CDF karena disuruh mandor, karena di situ saya mendapatkan banyak pelajaran, makanya saya bertahan sampai sekarang. Di CDF juga membuat saya mengerti kalau kami, para pemetik sama seperti reka di bagian yang lain berhak diperlakukan adil dan harus bersuara supaya dapat hak yang sama dengan orang lain. Makanya sekarang saya berani untuk menyuarakan pendapat ke mandor,” katanya sembari tersenyum.

Narsih menjelaskan, ia memberikan usul agar sistem pembagian lahan panen yang berbasis kelompok dikaji ulang, agar tiap kelompok mendapatkan hasil yang setara. Usulan ini membuat beberapa kelompok pemetik tidak mendapatkan lokasi yang terjal melulu, karena telah diberi jadwal dan lokasi yang cukup landai secara bergiliran.

“Saya sempat takut dan gugup untuk menyampaikan usulan, takutnya saya dianggap melawan dan tidak sopan. Tapi ini demi kebaikan saya dan teman-teman, makainya saya berani. Ternyata, usulan saya diterima sama mandor dan atasan yang lain, bahkan disambut baik. Jadi sekarang hasil daun yang saya petik jadi meningkat dan penghasilan saya dan teman-teman juga ikut bertambah juga,” ujarnya sambil tersipu.

Sebelum menyampaikan usulannya kepada mandor, Narsih terlebih dahulu berbicara dengan rekan-rekan kerjanya tentang kendala yang ada. Setelah berhasil menghimpun usulan, barulah Narsih menyampaikannya kepada mandor tempatnya bekerja. “Yang saya sampaikan ini adalah masalah kami semua. Jadinya saya pastikan dulu ke teman-teman kalo kita harus satu suara supaya apa yang kita keluhkan ini dirasakan oleh semuanya,” ujarnya.

Suara yang Berdampak Positif

Perubahan yang dialami oleh Narsih ini juga disadari oleh Saeful Hidayat yang merupakan mandor perkebunan Malabar, Unit Pasir Malang, PT Perkebunan Nasional (PTPN) 1 Regional 2 yang merupakan atasan dari Nyai Sunarsih. “Saya melihat sekarang pemetik teh di sini sudah ada perubahan yang baik. Kalau dulu mereka cenderung tertutup dan kalau mau bicara cenderung mengandalkan orang lain. Tetapi sekarang mulai percaya diri untuk ngobrol ke mandor dan rekan-rekan yang lain. Saya rasa, Ibu Narsih itu yang paling menonjol perubahannya,” kata Saeful.

Menurut Saeful, keberanian para pemetik teh dalam menyampaikan pendapat sama sekali tidak membuatnya tersinggung atau pun marah. Justru ia merasa senang dengan perubahan itu, karena para pemetik teh bisa langsung berdiskusi tentang kendala yang sedang terjadi. “Saya semakin senang ketika mereka (pemetik teh), terutama pekerja perempuan, berani berbicara ke saya atau atasan yang lain. Misalnya kalau ada masalah di mesin petik teh, bisa langsung diselesaikan lebih cepat karena disampaikan ke atasan. Masalah yang cepat selesai ini juga berpengaruh positif dengan daun teh yang berhasil dipetik tiap harinya,” jelasnya.

Lebih lanjut, menurut Saeful, perubahan ini dimotori oleh Narsih yang berhasil mengajak pemetik teh perempuan lainnya untuk lebih berani menyampaikan pendapat dan usulan. “Saya melihat sekarang Bu Narsih seperti “penyambung lidah” para pekerja lainnya untuk menyampaikan usulan dan masukan ke atasan. Selain itu, dia juga berhasil untuk mengajak ibu-ibu pemetik teh untuk lebih berani bersuara. Mungkin sekarang masih beberapa, tetapi saya yakin hal ini akan terus berkembang dan semakin banyak orang yang menjadi lebih berani,” ujarnya dengan tegas.

Makin Terlibat Aktif di Masyarakat

Perubahan itu tidak hanya terjadi di tempat kerja. Narsih juga mulai aktif menyampaikan ide-ide di lingkungan tempatnya tinggal, seperti sistem pengelolaan sampah bersama Karang Taruna. Meski usulannya belum terlaksana dan memerlukan musyawarah lebih lanjut, tetapi ia merasa senang bisa ikut memberikan usulan. Ia turut menyampaikan, jika dirinya semakin percaya diri dengan kemampuan komunikasi yang dimilikinya. Berbekal itu, ia sering menjadi pembawa acara pada berbagai acara pertemuan seperti pengajian kampung, kegiatan forum, dan agenda perkumpulan lainnya.

“Dulu saya kalau ngomong tidak beraturan, bikin orang susah paham. Tetapi sekarang karena ikut CDF, saya lebih tertata dan terstruktur saat menyampaikan pendapat. Jadinya sekarang saya sedikit-sedikit mulai berani jadi MC (pembawa acara) kalau ada pertemuan. Pokoknya sekarang saya akan terus belajar supaya bisa memperjuangkan hak-hak saya dan perempuan lainnya agar mendapatkan perlakuan yang adil,” ujar Narsih.

Di akhir perbincangan, Narsih menyampaikan jika partisipasinya dalam CDF juga membuatnya semakin yakin dengan keputusan dan pemikirannya yang ia lakukan dulu, bahwa perempuan harus bisa maju. Karena itu dulu ia selalu berusaha semaksimal mungkin mengatur keuangan keluarga agar bisa menyekolahkan anak perempuannya hingga perguruan tinggi, agar bisa maju dan dapat kesempatan lebih. Pasalnya menurut Narsih, perempuan yang menempuh pendidikan tinggi merupakan hal yang jarang terjadi, bahkan terkesan tidak wajar di lingkungan tempatnya tinggal. Sehingga dulu ia dipandang sebagai orang yang aneh karena mengambil keputusan itu oleh sekitarnya.

Alhamdulillah anak saya bisa lulus kuliah meski kondisi saya seperti ini. Saya itu cuma pingin anak perempuan saya dapat kehidupan yang lebih baik dari orang tuanya. Karena ikut CDF juga saya sadar kalau keputusan yang saya ambil ini sudah benar,” pungkasnya sembari tersenyum lebar.

 

Penulis: Kukuh Akhfad
Editor: Swiny Adestika