Search
Close this search box.

Mendorong Ketangguhan Perempuan di Kondisi Krisis Melalui Pemberdayaan Ekonomi

Cerita

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, perempuan memiliki potensi besar untuk terlibat dalam penanggulangan krisis, mulai dari tahap prabencana, saat bencana, hingga pascabencana. Bahkan, menurut UNDRR (United Nations Office for Disaster Risk Reduction), pelibatan perempuan dalam perencanaan kebencanaan dapat meningkatkan efektivitas respons hingga 30 persen. Nahasnya, realitas di lapangan masih timpang. BNPB mencatat pada 2022, hanya sekitar 20 perempuan yang aktif dalam struktur relawan kebencanaan di tingkat desa. Minimnya pengalaman dan kapasitas seringkali membuat perempuan tidak mendapat ruang partisipasi yang memadai.

Penguatan kapasitas perempuan dalam penanganan bencana menjadi kebutuhan mendesak. Selain sebagai langkah perlindungan, hal ini juga strategis untuk menekan potensi kekerasan berbasis gender yang kerap meningkat di tengah krisis. Laporan UNFPA (2019) mengungkapkan, saat bencana Palu, Sigi, dan Donggala, kasus KDRT, pelecehan, hingga percobaan perkosaan ikut meningkat. Pelibatan perempuan secara aktif adalah kunci untuk memastikan keamanan dan ketangguhan komunitas.

Perempuan di Garda Depan Ketangguhan

CARE Indonesia (Yayasan CARE Peduli/YCP) berkolaborasi bersama berbagai mitra dan dengan dukungan dari pemerintah daerah setempat berupaya memperkuat ketangguhan kelompok perempuan di berbagai daerah.

Di Kabupaten Sigi, melalui pembentukan Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP) di enam desa, para perempuan mendapat pelatihan, dukungan usaha, hingga ruang untuk meningkatkan kapasitas. Pembentukan dan penguatan KUEP bagi para kelompok perempuan tidak hanya memberi tambahan pendapatan keluarga, tetapi juga membekali mereka dengan kemandirian ekonomi yang terbukti menjadi penopang ketika krisis melanda.

Upaya serupa juga hadir di Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, serta di Likupang, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Di sana, perempuan terlibat langsung dalam rehabilitasi kawasan mangrove mencari bibit, menyemai, menanam, hingga memantau pertumbuhan. Lebih dari 100 ribu pohon mangrove kini telah berdiri, melindungi pesisir sekaligus membuka peluang ekonomi baru. Dari hasil laut, kelompok perempuan mengolah ikan menjadi kerupuk. Di Berakit, kelompok perempuan memanfaatkan mangrove, untuk menciptakan batik dengan pewarna alami membuktikan konservasi bisa berjalan seiring dengan pemberdayaan ekonomi.

Di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, terdapat 13 KUEP yang menjalankan lebih dari 190 jenis usaha, mulai dari simpan pinjam, kerajinan lidi sawit, hingga kuliner. Program ini menyasar komunitas pekerja perkebunan sawit, termasuk pekerja perempuan, yang berpotensi menurun pendapatannya saat proses peremajaan sawit berlangsung. Pemberdayaan khususnya pada pekerja perempuan yang berdomisili di sekitar perkebunan sawit dilakukan agar ketangguhan ekonomi terbentuk meski dalam masa itu. Melalui usaha yang dijalankan oleh kelompok perempuan, total keuntungan usaha kelompok mencapai Rp88,2 juta, dengan pengelolaan simpan-pinjam yang berhasil mengumpulkan modal hingga Rp1,2 miliar.

Pemberdayaan ekonomi kelompok perempuan di Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat melalui 16 Kelompok Usaha Mandiri Perempuan (KUMP), memanfaatkan sumber daya lokal seperti kerang dan ikan untuk membentuk usaha kuliner yang menopang perekonomian keluarga. Kelompok usaha ini berdiri sebagai salah satu upaya dalam menurunkan prevalensi stunting di daerah itu. Dengan perempuan sebagai aktor utama dalam menggerakkan ekonomi keluarga dan komunitas, sejalan dengan peningkatan gizi anak, kemandirian rumah tangga, serta penguatan jejaring sosial di tingkat masyarakat.

Lebih dari Sekadar Ekonomi

Pemberdayaan ekonomi hanyalah satu sisi dari upaya ini. Di berbagai KUEP dan KUMP, perempuan juga mendapat pelatihan tentang kesetaraan gender, kepemimpinan, serta mitigasi risiko bencana. Tujuannya jelas, membangun ketangguhan yang menyeluruh. Dengan kapasitas yang lebih kuat, perempuan tidak hanya bisa menghidupi keluarga, tetapi juga memimpin komunitas dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan risiko bencana.

Laporan World Bank (2021) menekankan, perempuan dengan kondisi ekonomi rentan memiliki risiko kematian lebih tinggi saat bencana karena keterbatasan akses informasi, sumber daya, dan dukungan sosial. Sebaliknya, ketika perempuan memiliki kemandirian ekonomi dan suara dalam pengambilan keputusan, daya tahan komunitas meningkat signifikan. Mereka bisa membangun jejaring usaha mikro tangguh bencana, mengelola dana darurat, bahkan menjadi pelatih atau pendamping komunitas lain.

Kolaborasi untuk Masa Depan yang Tangguh

Semua inisiatif ini tidak mungkin berjalan tanpa kerja bersama. Program-program CARE Indonesia terlaksana berkat dukungan pemerintah daerah, lembaga mitra, dan masyarakat setempat. Kolaborasi lintas sektor menjadi fondasi agar perempuan mendapat akses setara, perlindungan, dan ruang kepemimpinan dalam setiap situasi, termasuk di tengah krisis.

Ketika perempuan diberi kesempatan, mereka bukan hanya bertahan, tetapi juga memimpin perubahan. Dengan semangat #ActForHumanity dalam peringatan Hari Kemanusiaan Sedunia kali ini, perempuan kini berdiri di garda depan, membangun sistem kebencanaan yang lebih inklusif, adil, dan bebas kekerasan sekaligus meneguhkan harapan bahwa komunitas tangguh berawal dari ketangguhan perempuan.

 

Penulis: Kukuh Akhfad

Editor: Swiny Adestika

Perempuan Punya Suara: Peran Setara Mengubah Keluarga

Cerita

Hujan gerimis sore itu menyelimuti kawasan dataran tinggi Kecamatan Pangalengan, menghadirkan hawa dingin yang meresap ke bawah kulit. Di tengah rintik hujan dan kabut tipis yang menyelimuti sekitar, sebuah rumah menjadi tempat berlangsungnya percakapan hangat penuh makna. Di sanalah Wiwi Dewi, perempuan berusia 43 tahun yang akrab disapa Wiwi, bercerita tentang perjalanan sunyinya menuju keberanian.

“Mungkin karena sudah jadi seperti kebiasaan ya, saya sebagai istri cenderung lebih banyak diam meski saya tidak suka dengan perilaku suami. Saya dulu takut untuk bicara dan bertukar pikiran dengan suami. Jadi lebih banyak nangis dan di rumah jadi terasa sepi,” katanya sembari menghela napas.

Wiwi merupakan seorang istri dan ibu pekerja. Lebih dari 10 tahun Wiwi berprofesi sebagai pemetik teh di perkebunan milik PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) I Regional II yang ada di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Selama menjalani peran sebagai istri, ibu dan pekerja, Wiwi merasa ia lebih baik diam agar tidak terjadi konflik meski ia merasa tidak nyaman dengan situasi tertentu, termasuk dalam hubungannya dengan suami. Namun, Wiwi merasa ada perubahan pada dirinya setelah mengikuti pelatihan dalam program Community Development Forum (CDF) yang didampingi CARE Indonesia bersama mitra.

“Yang paling terkesan itu saat ada pelatihan tentang kesetaraan gender dan komunikasi. Di pelatihan itu saya baru tahu kalau perempuan itu punya suara dan berhak untuk diperlakukan setara, termasuk oleh pasangan,” tuturnya.

Wiwi bercerita, sebelum tergabung di CDF dan mendapatkan pelatihan, ia sering diam jika ada masalah dalam keluarga. Ketakutan membungkam keberaniannya untuk berkomunikasi dengan suaminya. “Takut salah, takut dimarahi. Kalau pun suami salah, saya juga gak berani untuk tegur. Setelah ikut program di CDF hampir dua tahun, saya belajar kalau komunikasi itu adalah hal yang penting. Saya juga jadi tahu kalau suami dan istri harus berbagi tugas dalam rumah tangga. Makanya saya pelan-pelan berani bilang ke bapak (suami),” tuturnya.

Sembari tersenyum, Wiwi menuturkan, perubahan pada suaminya tidak terjadi dalam semalam. Saat pertama kali ia mencoba berbicara lebih terbuka, sang suami, Saefullah hanya terdiam dan cemberut. “Awalnya memang suami saya diam saja waktu saya kasih penjelasan. Tapi lama-lama bapak mulai mendengarkan dan sekarang juga ikut bantu saya mengerjakan tugas-tugas rumah tangga seperti cuci baju, memasak, dan beberes rumah,” katanya.

Pada momen yang berbeda, Saefullah mengangguk mantap untuk berbagi tugas dengan istrinya. “Kalau saya gak bantu, saya gak tega lihat istri saya kerjakan sendiri. Jadi saya harus bantu, beban itu harus dibagi,” ujarnya. Baginya, keputusan untuk terlibat dalam pekerjaan domestik bukan karena disuruh, tapi karena ia sadar setelah isterinya berani berkomunikasi dengannya, bahwa pekerjaan rumah tidak dibebankan hanya pada istri, tetapi dibagi dengannya.

Lebih lanjut, Saefullah juga mendukung penuh keputusan istrinya untuk mengikuti berbagai agenda di CDF. Menurutnya program itu memberikan dampak positif bagi perkembangan istri dan keluarganya. “Saya senang istri saya semakin pintar. Jadi kalau dia sedang ikut kegiatan, saya yang antar dan jemput, terus kalau di rumah belum ada makanan, saya yang masak. Sekarang saya juga bantu istri untuk petik teh di kebun supaya kerjanya jadi lebih ringan dan dapat hasil yang lebih banyak,” katanya dengan bangga.

Perubahan ini tak hanya terasa dalam keseharian mereka berdua, tapi juga merambat ke anak-anak mereka. Anak laki-lakinya yang sedang menduduki bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) mulai belajar mencuci pakaiannya sendiri. Anak perempuan yang telah menikah diajari untuk berani berdiskusi dengan suami, menyelesaikan masalah dengan komunikasi, bukan diam.

Perubahan yang terjadi pada keluarga Wiwi membuktikan, pemahaman gender mampu mengubah wajah rumah tangga. Bukan untuk membalikkan peran atau memecah belah, melainkan untuk menciptakan keseimbangan, keadilan, dan penghargaan satu sama lain.

Di akhir obrolan, Wiwi dengan yakin menyampaikan, perempuan bisa berubah dan menjadi poros kehidupan rumah tangga jika mendapatkan hak dan akses untuk belajar. “Saya enggak menyesal ikut CDF walaupun capek karena pekerjaan. Karena di situ saya bisa belajar. Dulu pulang kerja cuma ngurus rumah. Sekarang saya punya suara,” pungkasnya.

 

Penulis: Kukuh Akhfad

Editor: Swiny Adestika